Mardiyah Chamim
Great Influenza. Saya membaca buku 550 halaman ini dengan berdebar. Ada begitu banyak kemiripan antara pandemi Covid-19 saat ini dengan Flu Spanyol, 1918, seratus dua belas tahun lampau. Tentu saja, kemajuan teknologi di berbagai bidang membuat situasi saat ini jauh lebih baik. Namun, secara umum, kegagapan dan kebebalan yang sama kita alami hari ini.
John M. Barry, sejarahwan, menulis buku ini dengan sangat bagus. Caranya berkisah amat menawan, naratif dan puitik, sebuah pendekatan yang asyik untuk sebuah buku bertema sejarah sains. Butuh tujuh tahun proses, pengumpulan data yang luar biasa detil, hingga akhirnya buku ini bisa rampung. Buku yang pertama kali terbit di tahun 2004 ini, setelah Wabah SARS yang menelan 750 jiwa, harusnya menjadi rujukan wajib bagi semua tenaga medis dan praktisi kesehatan masyarakat.
Influenza. Ya, hanya influenza. Tidak lebih. Tak ada yang perlu ditakutkan.
Rupanya nada meremehkan kedatangan wabah sudah menjadi karakter utama manusia. Sikap meremehkan, menutup-nutupi fakta, adalah ramuan penting yang menjadikan Flu Spanyol menyebar begitu parah hingga menelan korban hingga 50-100 juta jiwa. Jika dihitung perbandingan dengan populasi dunia saat ini, korban pandemi kala itu setara dengan 150-425 juta jiwa dalam setahun (awal 1918 – awal 1919). Sebuah pelajaran yang teramat mahal.
John M. Barry mengawali buku dengan agak lamban. Lapis demi lapis konteks masyarakat dunia dan Amerika pada saat itu diceritakan pada bab-bab pertama. Butuh kesabaran untuk benar-benar sampai pada bab ke-6, saat kisah infeksi influenza yang mematikan benar-benar dimulai. Namun, konteks masyarakat Amerika dan dunia saat itu memang penting dan membingkai pemahaman tentang keseluruhan pandemi yang mengerikan itu.
Barry membuka dengan Bab 1: The Warriors. Para pejuang. Inilah para saintis, figur-figur gigantis di dunia ilmu pengetahuan, yang pernah saya baca di buku teks kuliah, inilah yang kelak berjibaku menaklukkan pandemi 1918. Mereka, antara lain, William Henry Welch, sosok yang sangat berpengaruh dalam dunia kedokteran dan menjadikan John Hopkins University disegani. Sebelum Welch turun tangan, pendidikan kedokteran di Amerika tertinggal jauh dari Eropa. Calon dokter tak perlu langsung menangani pasien, cukup hadir di kelas kuliah. William Welch membuat revolusi pengajaran, didukung Rockefeller Institute —lembaga yang di kemudian hari sangat penting dalam pandemi 1918.
Sosok lain, warrior yang juga sangat berkesan adalah Oswald Avery. Dialah yang membuat landasan hingga membuat duet James Watson dan Francis Crick mengurai rantai DNA, pada 1944, yang kemudian menjadi dasar kedokteran modern saat ini. Ada juga sosok Simon Flexner, yang di tahun 1910 berhasil menekan angka kematian meningitis di level 10 persen tanpa antibiotik —sebuah capaian yang sulit ditandingi bahkan hingga kini.
Bab-bab pertama ini juga menyajikan kegigihan para ilmuwan mencari vaksin bagi penyakit-penyakit mematikan kala itu. Difteria, campak, meningitis, adalah hantu yang menakutkan dan para ilmuwan bekerja keras menaklukkannya. Barry menyuguhkan perjuangan para pejuang ini, sosok-sosok ilmuwan yang digerakkan semangat mencari penyembuh di tengah tantangan mematikan.
Selain sejarah dunia sains dan kedokteran, berikut para pejuangnya, Barry juga mengulas konteks politik Amerika saat itu. Presiden Amerika Woodrow Wilson dihadapkan pada palagan Perang Dunia I, yang mulai memanas pada 1914. Awalnya Wilson tak ingin terjun berperang, tapi desakan konstituen tak bisa dihindari. Amerika pun terjun ke medan perang, dengan episentrum di Perancis, pada 1917.
Persiapan menuju medan perang ini cukup kompleks. Wilson terlebih dulu menciptakan kondisi yang memungkinkan konsentrasi dan mobilisasi masyarakat. Kalau di sini, mungkin semacam menggaungkan jargon-jargon NKRI harga mati. Serangkaian peraturan dibuat, termasuk ancaman penjara bagi siapa pun yang mengkritik pemerintah dan menolak membeli surat utang (government bond) untuk pembiayaan perang. Aktivis, jurnalis, dan tokoh-tokoh yang menolak perang ditangkapi dan dipenjara.
Mimpi buruk dimulai pada Februari-Maret 1918. Inilah bibit pertama pandemi bermula. Uniknya, berdasar penelusuran John Barry, pandemi ini bukan bermula di Spanyol seperti namanya tetapi di sebuah kota kecil, yakni Haskel, Kansas. Beberapa warga Haskell sakit influenza yang aneh, lebih parah dari influenza biasa. Hanya dalam beberapa pekan, awal Maret 1918, penyakit serupa menyebar di kompleks pertanian di area sekitar, antara lain Santa Fe, Jean, Copeland. Puluhan orang meninggal.
Loring Miner, dokter di Haskell, mengabarkan adanya penyakit aneh ini ke media. Tapi, hanya sedikit berita yang muncul. Perlu diingat, Presiden Wilson ketika itu memastikan bahwa semua media harus menyebarkan berita yang menyemangati perang.
Influenza, ya, hanya influenza biasa saja. Tak usah khawatir.
Beberapa pemuda Haskell, yang menjadi prajurit, pun berangkat ke kamp militer Funston. Mereka menjalani pelatihan dan akan dikirim ke medan perang. Sial, seorang juru masak di barak jatuh sakit. Tak lama kemudian, 237 prajurit sakit dan sebagian besar harus dirawat. Ada 38 prajurit meninggal. Peristiwa ini tidak memicu alarm apa pun. Semua agenda berjalan normal. Prajurit yang sehat dikirim ke medan perang. Mereka tak sadar bahwa para prajurit inilah bakal membawa “senjata’ virus mematikan ke seluruh dunia.
Maret, April, Mei, virus sudah menyebar ke Jerman, Perancis, dan Inggris. Ratusan ribu prajurit bertempur, tinggal dalam barak-barak sempit dan bertukar keringat. Sayangnya, negara-negara yang sedang berperang ini semuanya menyensor media. Tak boleh ada berita negatif. Ribuan prajurit yang gering tak terekam dalam pemberitaan.
Pada Mei, media Spanyol mengabarkan ada banyak orang sakit pneumonia aneh. Seperti flu, tetapi jauh lebih berat dan mematikan. Spanyol, dalam Perang Dunia I, adalah pihak yang netral sehingga berita semacam ini tak disensor. Nah, dari sinilah nama “Flu Spanyol” bermula.
Pada tahap ini, para ilmuwan jagoan di John Hopkins belum tahu. Selain sedang sibuk berpacu mencari vaksin difteri dan campak, surat kabar juga tak pernah memberitakan adanya bom waktu yang siap meledak. Ratusan ribu prajurit sakit, hingga melemahkan semangat berperang. Tapi, Wilson dan para pemimpin lain tetap mengabaikan wabah dan membiarkan nyawa prajurit berjatuhan seperti lalat. Tak ada satu pun pernyataan Wilson tentang wabah ini di hadapan publik.
Barry menulis, kebrutalan para pemimpin ini hanya bisa ditandingi dengan kebodohan mereka sendiri. Para jenderal hanya menghentikan beberapa acara pesta, nyanyi-nyanyi, untuk meredam penularan. Pada Agustus 1918, wabah masih mematikan namun laju kasus mereda. Sebuah nota intelejen menyebutkan perlunya kewaspadaan tinggi untuk mencegah penyebaran. Tapi, peringatan ini diabaikan, toh kasus sudah mereda.
Benar-benar reda? Tidak. Virus influenza sedang merapatkan barisan, bermutasi lagi, dan menyjiapkan serangan gelombang kedua yang lebih mematikan.
Devens, barak militer besar di Boston, cukup percaya diri menghadapi wabah. Mereka punya rumah sakit dengan 36 ribu tempat tidur. Dokter dan perawat cukup lumayan. Dalam waktu singkat, kepercayaan diri itu lumer.
7 September 1918, seorang prajurit sakit. Esoknya, belasan lain gering. Makin hari makin banyak, hingga pada 22 September, 8 ribu prajurit sakit, 500 meninggal. Mereka, prajurit yang masih muda, kondisi fisik prima, meninggal hanya dalam hitungan hari setelah terinfeksi. Sebagian besar korban, menurut riset Barry, memang dalam usia muda.
Devens baru satu riak dalam gelombang kedua. Kota-kota lain berjatuhan ditekuk influenza. Philadelphia mendapat sorotan paling banyak dalam buku ini. Kota ini memang paling brengsek. Walikotanya tak mau tahu urusan publik. Pejabat kesehatan masyarakat menutup-nutupi fakta. Senatornya tak lebih dari preman yang mengutip upeti dari warga. Media tak boleh menyiarkan wabah. It just influenza. Don’t get scared!
Philadelphia adalah lahan subur bagi wabah. Influenza mengancam. Pejabat publik tak peduli. Mereka bahkan tetap percaya diri menggelar parade penggalangan dana perang. Ribuan orang berjejalan menonton di pinggir jalan. Pawai yang mengantar kematian.
Hanya beberapa hari setelah parade, orang-orang jatuh sakit. Kematian datang cepat. Kertas krepe, penanda kematian, menempel di setiap pintu. Para jawara sains yang disebut di bab-bab awal berpacu mencari penyebab wabah, lalu mencari obat dan vaksin. Tapi, waktu mereka tak punya. Kematian bertubi-tubi, seperti hujan mata panah.
Peti mati menjadi barang berharga. Ada banyak pencurian peti mati. Keluarga yang tak sanggup membeli peti, menggeletakkan si mati begitu saja di ruangan berhari-hari. Lagipula, semua orang sakit, tak ada yang bisa merawat jenazah. Pejabat menghimbau relawan datang membantu. Tapi, siapa yang mau percaya pejabat yang telah mengabaikan warganya? Trust, sudah lama pergi.
Ribuan kematian membuat warga membatasi diri. Mengkarantina diri. Toko-toko tutup. Kantor, sekolah, gereja, tutup. Jalanan senyap. Kota-kota lain juga mengisolasi warga masing-masing. Orang-orang mulai mengenakan masker. Poster “Spit spread death”, meludah menyebarkan kematian, dipasang di jalanan. Kematian tetap menderas, dengan laju bervariasi.
Komunitas mengambil alih peran pemerintah, yang dianggap gagal. Perempuan, lelaki, tua, muda, bersama-sama menyediakan seprei bersih, membersihkan rumah-rumah yang dipenuhi orang sakit. Anak-anak yang terlantar karena orang tua mereka meninggal, diberi makan.
Akhir Oktober, gelombang kedua mereda. Para ilmuwan berhasil menerapkan terapi dengan serum darah survivor. 17 Oktober 1918, vaksin yang dikebut siang-malam, juga berhasil diproduksi —meskipun belakangan juga tak efektif. Gelombang kedua perlahan melandai dan menurun. Isolasi dan karantina melonggar. Orang-orang bersuka cita, sampai datang lagi gelombang ketiga yang lebih dahsyat.
November 1918, ratusan ribu prajurit yang pulang dari medan perang datang. Kali ini, kota-kota di Amerika sudah Lebih bersiap. Para ilmuwan menyiapkan fasilitas karantina 7 hari, sebelum prajurit boleh kembali ke rumah. Namun, serangan virus gelombang ketiga tetap tak terelakkan di seluruh Amerika. Kali ini virus telah menjangkau seluruh dunia, dari Madagaskar sampai Alaska. Hindia Belanda tak terkecuali, yang kehilangan 1-1,5 juta jiwa.
Selain detil yang mendebarkan, Barry punya sentuhan menarik menghadirkan ironi dan kejutan dalam buku ini. Di akhir Perang Dunia I, Woodrow Wilson tampak agak linglung dan tidak tajam di meja perundingan. Dia begitu saja mengikuti keinginan Georges Clemenceau, Perdana Menteri Perancis. Konon, linglungnya Wilson adalah efek stroke yang menimpanya setelah perang. Tapi, Barry mengumpulkan berbagai keterangan sumber yang menyebut Wilson mungkin terkena influenza.
Wilson kena influenza, ya hanya influenza.