Pukul 8, Ahad malam. Dokter Zuhdiyah Nihayati a.k.a Zee Achmad sampai di rumah kos setelah seharian bekerja. Sebelum pintu rumah terbuka, sebelum menyentuh apa pun, semua perlengkapannya disemprot disinfektan. Tas, sepatu, telepon genggam, tak boleh lewat kena semprot. Begitu pintu terbuka, Zee langsung menuju kamar mandi. Seluruh baju direndam dan dicuci saat itu juga. Mandi keramas tak boleh ketinggalan. “Minimal satu jam baru selesai,” kata Zee, Kepala Bidang Pelayanan Medis Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur.
Usai bersih-bersih, barulah Zee masuk ke kamar kos. “Saya usahakan tidak keluar dari kamar,” katanya. “Nggak enak sama teman-teman kos yang lain. Mereka juga sedang jaga jarak fisik, toh.” Makan, minum, semua di kamar, dengan standar kebersihan yang juga ketat.
Pukul 10 malam, setelah badan bersih barulah Zee punya waktu membalas pesan-pesan via WhatsApp. Aha, pantesan, pesan yang penulis kirim dari pagi baru dibalas malam hari. “Iya, Mbak. Maaf, lambat merespon pesan,” kata perempuan 35 tahun ini. “Kalau sudah di kamar, jam segini, baru, deh, bisa sedikit bernafas lega.”
Prosedur dekontaminasi dan kebersihan diri, bagi tenaga medis, dilakukan berlapis-lapis di masa pandemi Covid19 ini. Dokter dan perawat yang bertugas di ruang isolasi pasien, apalagi, harus menjalani prosedur yang lebih panjang. Saban berangkat kerja, sebelum mulai aktivitas, mereka mengenakan alat pelindung diri dari kaki sampai kepala. Telepon genggam juga dibungkus plastik steril. “Ngetik di hape yang dibungkus plastik hehe,” kata alumni Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ini.
Setelah jam kerja usai, para dokter dan perawat sekali lagi harus menjalani prosedur dekontaminasi. APD dikumpulkan di tempat pengolahan limbah. Mandi, keramas, dan semua baju harus diganti dengan pakaian bersih yang dibawa dari rumah. Baju kotor kemudian menjadi tugas tim laundry rumah sakit. Setelah rangkaian proses dekontaminasi selesai, barulah para tenaga medis boleh pulang ke rumah.
Begitu sampai di rumah pun, dokter dan perawat harus mandi keramas lagi sebelum bisa beraktivitas bersama keluarga. Mereka bekerja keras agar jangan sampai menularkan virus ke orang lain, terutama keluarga di rumah. Sungguh sebuah perjuangan tersendiri. “Itu sebabnya, saya tidak paham kenapa ada perawat yang diusir dari kos,” kata Zee. “Tak perlu takut ketularan dari kami, karena kami menjalani prosedur dekontaminasi yang tidak main-main. Ngenes, nelangsa rasanya mendengar ada yang mengusir perawat dari kos.”
Sebagai Kepala Bidang Pelayanan Medis, Zee tidak selalu bertemu pasien Covid19 di ruang isolasi. Tugasnya memastikan semua lini berjalan lancar dan aman. Saban hari dia memeriksa kondisi rumah sakit, dari ujung ke ujung, mulai dari instalasi gawat darurat, poliklinik, ruang isolasi, sampai instalasi pengolahan limbah. “Sekali-sekali saya ikut memeriksa pasien, supaya tim dokter dan perawat tidak merasa sendirian,” kata Zee. “Mereka pahlawannya. Kami di bagian manajemen ini habis-habisan mendukung, supaya semua bekerja penuh semangat.”
Zee bersikap merendah hati. Tanpa dukungan manajemen, yang memastikan rantai operasional berjalan sesuai prosedur, para dokter dan perawat juga susah menjalankan tugas yang sama sekali tak mudah.
Di Lamongan, dalam tiga pekan terakhir, ada 18 ribu (posisi 16 April 2020) perantau yang kembali ke kampung. Sebagian mereka adalah penjual ayam goreng, soto, pecel lele, yang merantau ke berbagai kota besar. Sebagian lainnya adalah pekerja migran dari Malaysia atau Singapura. Belasan ribu orang yang datang ini berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Ada yang masuk dalam karantina mandiri di berbagai desa, banyak juga yang dirujuk ke rumah sakit untuk diperiksa. Ratusan orang, saban hari, datang ke RS Muhammadiyah Lamongan untuk diperiksa kesehatannya.
“Tak semua yang datang mau bersikap jujur,” kata Zee. Ada yang lebih dulu berlama-lama menyemburkan angin dari kipas angin atau pendingin udara ke badannya, ada yang mengkompres dahinya dengan es, semata-mata supaya suhu badannya tersamar dan bisa lolos dibolehkan masuk ke desa. Tidak sedikit yang menolak memberi tahu riwayat perjalanan dan kontak dengan siapa saja. Banyak juga yang marah-marah. “Kami dibilang tidak punya nurani, tidak punya hati, bisanya cuma bikin susah orang lain. Macam-macam,” kata Zee. Padahal, di masa penyebaran virus corona ini, kejujuran tentang gejala sakit, riwayat kontak, dan riwayat perjalanan adalah hal yang mutlak. “Ketidakjujuran bisa berdampak fatal,” kata Zee.
Tiap hari, 12 jam pelayanan dibuka di unit yang merespon Covid19, RS Muhammadiyah Lamongan. Ada 6-12 tenaga kesehatan, terdiri dari dokter, perawat, peracik obat, dan perekam medis, yang terbagi dalam dua shift. Pagi hari, pasien yang datang lebih banyak. “Konsentrasi tenaga untuk pagi hari saat pasien padat.”
Ada rasa deg-degan menghadapi Covid19? “Tentu saja,” kata Zee. “Setiap hari, setiap saat, banyak hal yang bikin khawatir. Terutama karena virus ini masih sangat dinamis.” Kondisi pasien yang berubah, bisa dengan cepat memburuk, hingga meninggal, menjadi sumber kekhawatiran utama.
Bagi Zee, risiko terinfeksi virus corona bukan hal yang merisaukan. Manajemen RS Muhamamadiyah Lamongan sudah punya prosedur ketat, termasuk bagaimana menyediakan APD bagi semua tenaga kesehatan. Prosedur dekontaminasi di setiap lini pun dijalankan, sehingga kekhawatiran terinfeksi bisa diminimalisir. “Yang bikin deg-degan adalah kalau kami terima pasien yang kondisinya berat,” katanya. “Juga kalau pasien dan keluarganya tetep tidak mau jujur ketika digali keterangan, itu benar-benar bikin pusing.”
Suasana di tengah pandemik memang mendebarkan dan menguras energi. Kesabaran dan konsentrasi tingkat tinggi dibutuhkan. “Kondisi yang aduhai, pokoknya,” kata Zee. Lalu, bagaimana cara dokter ini meredakan stres? “Nonton serial drakor, drama Korea, di hape, haha,” katanya.
Menjelang tengah malam, obrolan kami berakhir. “Belum bisa tidur, Mbak. Masih harus menunggu kabar dari IGD, ada yang harus dipantau.”
(Mardiyah Chamim)
Terima kasih, Mbak Hening Parlan sudah menemani obrolan dengan Mbak dokter Zee yang keren.