Pendidikan di Tanah Santa Klaus

Finlandia menjadi perbicangan hari-hari ini. Dia menjadi contoh negeri yang berani dan progresif merangkul keberagaman dan inklusivitas di segala lini. Salah satu buktinya, female leadership yang mengemuka. Ada empat perempuan muda yang memegang posisi penting di negeri ini, yakni Perdana Menteri Sanna Marin (34), Menteri Pendidikan Li Anderson (32), Menteri Keuangan Katri Kulmuni (32), dan Menteri Dalam Negeri Maria Ohisalo (34).

Negeri Skandinavia yang satu ini memang mengesankan. Pencapaian pendidikan di berbagai lini begitu luar biasa. Padahal, pada tahun 1950-an, mereka adalah negara miskin yang baru keluar dari nestapa Perang Dunia Kedua. Kini, Finlandia termasuk negara maju dan sejahtera.

Saya beruntung pernah mengunjungi Finlandia, pada Mei 2015, dan menuliskan pengalaman tersebut dalam Majalah Tempo, edisi awal Juni 2015. Saya salin rekat di sini, sebagai bahan renungan para #PuanIndonesia.

Sanna Marin, Perdana Menteri Finlandia. Masih belia, 34 tahun, sebelumnya adalah Menteri Transportasi Finlandia (foto diambil dari internet)

Sekolah di Tanah Santa Klaus

Melalui pendidikan, Finlandia berhasil membuat kemiskinan jadi sejarah. Survei PISA juga membuktikan negeri ini selalu unggul. Apa resep rahasianya? https://majalah.tempo.co/read/148303/sekolah-di-tanah-santa-klaus


Pagi di sekolah Vikki Teacher Training School, Helsinki, Finlandia. Suasana riang muncul di setiap sudut. Pada sepotong tembok, anak-anak menempel gambar warna-warni hasil karya mereka. Ada gambar burung, ikan, laut, gunung, juga susunan planet. Di kelas lain, murid-murid belajar membuat animasi sederhana, tentang monster dan pahlawan super. Kelas berikutnya praktik bermain musik. Terompet, piano, bass, drum, berpadu. Ibu guru yang memandu kelas musik berseru riang, “What a feeling. Yayyy….!”

Keriangan berlanjut. Pukul 9.30. Semua murid, dari kelas satu sampai kelas 10, berkumpul di aula. Di layar tampak sampul majalah Rolling Stone, menampilkan gambar John Lennon, yang tampak rapuh, meringkuk telanjang memeluk Yoko Ono. Guru kesenian menjelaskan bahwa foto ini fenomenal karena keberanian Annie Leibowitz, sang fotografer. “Hanya fotografer piawai dan sekreatif Leibowitz yang berani meminta Lennon dan Yoko berpose seperti itu,” kata ibu guru. Seperti tersirap, 200-an murid di aula itu mengikuti kisah foto Lennon – Yoko Ono dengan mata berbinar-binar.

Suasana kelas di Vikki School, Helsinki. Guru menjadi fasilitator bermain. Anak-anak belajar secara berkelompok, saling mendukung. “Karena dengan belajar kelompok, terjadi knowledge creation, atau penemuan pengetahuan bersama. Hal yang tak terjadi saat murid belajar sendiri,” kata Bu Guru Tea Vuorinen. (Foto: Mardiyah Chamim/Tempo)

Sesi di aula itu singkat. Hanya 15 menit. Tak ada tanya-jawab. Topiknya bisa apa saja, fotografi, musik, teknologi, bahkan pendidikan seks. Pengisi materi juga boleh siapa saja, sesama murid, guru, orang tua murid, atau tamu dari negeri jauh. Cakrawala pengetahuan murid dibuka dengan beragam topik, berbagai sudut pandang, dan beragam tipe narasumber.

Suasana riang sepanjang hari itulah yang ditemui Mardiyah Chamim, wartawan Tempo, awal Mei 2015, saat memenuhi undangan pemerintah Finlandia untuk menengok sistem pendidikan di sana. Negara Skandinavia ini memang terkenal kampiun dalam urusan pendidikan. Finlandia selalu masuk dalam peringkat 10 teratas Program for International Student Assesment (PISA) yang digelar Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Survei dilakukan pada siswa berusia berusia 15-16 tahun, di seluruh dunia, untuk menangkap kualitas pemahaman murid atas matematika, sains, dan pemahaman bacaan (comprehensive reading).

Tak hanya soal peringkat PISA. Ada yang jauh lebih penting dari sekadar urusan menjadi juara survei. Adalah pendidikan yang dipercaya mengantar transformasi Finlandia dari negara miskin, terutama setelah Perang Dunia II, menuju negara yang makmur. Pada dekade 1950-an, “Orang tua saya punya sembilan anak, lima di antaranya meninggal gara-gara kelaparan,” kata Kristi Lonka, Wakil Dekan di Fakultas Ilmu Perilaku di Universitas Helsinki.

Di tengah kemiskinan kelaparan, pada akhir 1940-1950an, Finlandia diharuskan membayar kerugian akibat Perang Dunia II kepada Rusia –dulu Uni Sovyet. Finlandia membayar dalam bentuk komoditi, mulai dari hasil pertanian, pertukangan, dan berbagai produk. Momentum inilah yang mendorong reformasi di Finlandia. Debat-debat keras mewarnai hari-hari ketika itu. Langkah perubahan dan investasi masa depan harus diambil. Pajak yang tinggi dan progresif, 30-50 persen dari penghasilan, diterapkan demi menopang sistem jaminan sosial yang terpadu. Tunjangan pensiun, kesehatan, dan terutama pendidikan dirancang menyeluruh.

Seperti menyerap semangat Santa Klaus, yang konon lahir di Lapland, Finlandia utara, negeri ini menjelma menjadi negara dengan sistem jaminan sosial, welfare system, terbaik di dunia saat ini. Semua anak di Finlandia lahir dengan bekal yang sama, yakni sebuah “Kotak Bayi” yang berisi 55 item perlengkapan bayi sampai umur satu tahun. Tunjangan bagi keluarga yang memiliki bayi berlangsung sampai si bayi berusia tiga tahun. Sungguh sebuah sistem yang progresif. Secara bercanda, Finlandia kerap dijuluki sebagai kapitalis merah muda, kapitalis yang sosialis dan ramah https://majalah.tempo.co/read/148304/bukan-sekadar-kotak.

Finnish Baby Box, berisi 55 item mulai dari selimut, popok, sabun, buku petunjuk perawatan bayi, sampai kondom buat si bapak. Kotak bayi ini inovasi sederhana namun manjur, muncul dari situasi menyedihkan lantaran tingkat kematian bayi yang tinggi di tahun 1960-an. (Foto: Mardiyah Chamim/Tempo)

Anita Leihkonen, Sekretaris Permanen Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Finlandia, menjelaskan bahwa unsur utama dalam welfare system Finlandia adalah pendidikan. Inilah resep utama menuju kemakmuran. “Tak ada yang bisa membantah itu dan kami telah membuktikan,” kata Leihkonen. Perlahan, sejak 1960-an, Finlandia sukses membuat kemiskinan menjadi sejarah. Pendapatan per kapita (GDP) Finlandia pada 1960 tercatat USD 1.179 hingga kini melompat di posisi USD 49 ribu pada 2013. Sebagai perbandingan, Jerman pada 2013 mencatat GDP sebesar USD 46 ribu.

Wajar jika praktisi pendidikan dari seluruh dunia pun datang ke Finlandia. Tak sedikit yang ingin tahu resep rahasia sukses sistem pendidikan di negara berpenduduk 5,5 juta ini. Kunjungan Tempo, bersama jurnalis dari berbagai negara yang diundang Kementerian Luar Negeri Finlandia, adalah juga untuk mencari tahu jurus jitu pendidikan di negeri ikan salmon ini.

Profesor Jari Lavonen, Kepala Pendidikan Guru di Universitas Helsinki, menegaskan bahwa tak ada resep rahasia, jurus jitu, apalagi instan. Sistem pendidikan dirancang dengan hati-hati, dengan melibatkan para guru yang betul-betul ada di lapangan, dan dilakukan bertahap dan kontinyu. “Perubahan yang tergesa-gesa hanya akan merusak sistem yang sudah dibangun perlahan,” kata Lavonen. Karenanya, pendidikan di Finlandia dijauhkan dari gonjang-ganjing politik. “Di sini, pergantian pemerintahan tidak berarti perubahan kurikulum. Taruhannya terlalu besar,” kata Lavonen.

Di Finlandia, proses pembenahan pendidikan secara radikal dimulai pada 1960-an. Ada dua prinsip utama pendidikan di tanah kelahiran Sinterklas ini. Prinsip pertama, equality atau kesetaraan. Setiap anak, kaya, miskin, dari etnis mana pun, harus mendapat kesempatan pendidikan yang sama dan setara. Walhasil, pendidikan dibuat gratis untuk semua level, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Tak ada sekolah swasta di Finlandia, semua sekolah dimiliki dan dikelola pemerintah. Semua sekolah dan universitas terbuka untuk semua warga Finlandia, miskin atau kaya.

Pendidikan yang gratis ini juga termasuk makan siang yang sehat dan bermutu. “Supaya orang tua, terutama yang tak mampu secara finansial, tetap nyaman bekerja dan menyekolahkan anaknya,” kata Anita Leihkonen, Sekretaris Permanen Menteri Pendidikan. Makan siang gratis ini juga intervensi pemerintah pada kualitas gizi, yang mempengaruhi kualitas pertumbuhan generasi muda. “Kami sadar bahwa populasi kami menua, aging population. Jadi, generasi muda adalah aset yang harus kami rawat,” kata Anita Leihkonen.

Prinsip kedua dalam sistem pendidikan Finlandia adalah trust building society. “Pendidikan harus menjadi tapak utama membangun masyarakat yang saling percaya,” kata Jari Lavonen, Kepala Pendidikan Guru di Universitas Helsinki. Itu sebabnya, tak ada pengawas sekolah, tak ada inspektorat pendidikan, tak ada ujian, dan guru diberi ruang otonomi untuk menerapkan kurikulum sesuai kebutuhan. Memang, sekali waktu ada ujian atau survei yang fungsinya semacam check point. “Survei ini sama sekali tidak menentukan nilai murid atau sekolah,” kata Lakonen. Tes itu hanya untuk mengetahui sampai di mana proses belajar dan untuk memperbaiki kekurangan.

Finlandia, Lavonen menekankan, memang diuntungkan dengan masyarakatnya yang relatif homogen. Mayoritas warganya beragama Kristen, dengan etika Lutheran yang kokoh. Jumlah populasi pun tak begitu padat, yakni 5,5 juta jiwa, tak sampai separo dari penduduk Jakarta. Berbagai hal ini membuat upaya trust building society relatif lebih mudah dilakukan, terlebih dengan ditopang pemerintahan yang transparan.

Pendidikan dilakukan dengan basis mempercayai manusia, bukan justru mencurigai dan mewaspadai kecurangan di segala lini. Tak hanya membangun masyarakat yang saling percaya, ketiadaan pengawas sekolah dan ujian nasional menjadikan birokrasi pendidikan di Finlandia relatif langsing. Biaya besar untuk gaji pengawas sekolah, juga untuk penyelenggaraan ujian nasional, bisa difokuskan pada kebutuhan lain yang jauh lebih penting. Anggaran pendidikan Finlandia ‘hanya’ delapan persen dari GDP, memang tidak semewah Amerika Serikat yang mengalokasikan 15% GDP. “Karenanya, kami harus pintar dan bijak mengatur anggaran,” kata Lavonen.

Salah satu fokus yang sangat penting dan terbukti menjadi faktor unggulan, Lavonen melanjutkan, adalah upaya mencetak guru berkualitas. Seleksi untuk universitas pendidikan sangatlah ketat, melebihi ketatnya seleksi masuk universitas kedokteran. Setiap tahun, dari 3000-4000an pendaftar, hanya 300 mahasiswa yang diterima sebagai kandidat guru.

Cara seleksi guru ini dibuat bertingkat. Tiga bulan sebelum tes umum, Kementerian Pendidikan merilis daftar buku yang wajib dibaca mereka yang berminat menjadi guru. Para calon mahasiswa diminta menulis esai, berisi pemahaman mereka atas buku-buku tersebut dan konteksnya dalam dunia nyata. Melalui cara ini, terciptalah demam diskusi tentang pendidikan. Kafe-kafe dipenuhi calon mahasiswa berdiskusi dengan berbagai pihak, demi menulis esai yang bagus. “Passion, kecintaan pada pendidikan, yang akan membuat esai mereka lolos,” kata Lavonen. “Mereka yang berhasil menulis esai bagus akan dipanggil dan diwawancara.”

Profesi guru memang mendapat tempat tinggi di Finlandia. Guru sama sekali bukan profesi ‘buangan’ dan dianggap setara atau bahkan lebih tinggi dari dokter. “Bukan karena gaji yang tinggi, karena profesi lain banyak yang bergaji tinggi seperti halnya dokter atau pengacara,” kata Marja Martikanen, Wakil Kepala Vikki Teacher Training School. Tetapi, lebih karena guru diberi ruang otonomi dan kebebasan menerjemahkan kurikulum sesuai serta kebutuhan sekolah. “Hal-hal inilah yang membuat kami merasa penting, turut mewarnai masa depan melalui pendidikan,” kata Marja Martikanen.

Biasanya, dalam satu ruangan kelas ada 25 murid. Guru bisa memiliki satu atau dua asisten, tergantung kebutuhan. Nah, di ruang kelas ini, guru memiliki kebebasan dan otonomi menerjemahkan kurikulum nasional. Tentu saja keleluasaan ini menuntut guru yang berkualitas. Itu sebabnya, semua guru harus sarjana. Guru taman kanak-kanak harus tiga tahun kuliah pedagogi. Guru sekolah dasar harus menempuh 5 tahun kuliah. Lalu, guru mata pelajaran khusus, misalnya matematika atau biologi, harus menamatkan 6 tahun kuliah.

Nah, dengan guru yang berkualitas, mata pelajaran sekolah bisa disampaikan dengan menyenangkan. Tak ada batas dan tembok antar pelajaran, semua subyek dipelajari dengan metode interdisiplin. Suasana kelas yang tergambar di awal tulisan ini adalah contoh metode pengajaran yang interdisiplin. Murid-murid belajar menggambar tetapi di sana diselipkan pelajaran anatomi burung, atau susunan planet di galaksi. Mereka belajar menggambar dan ilmu pengetahuan alam sekaligus. Lalu, ketika para murid berimajinasi merancang cerita animasi, sesungguhnya mereka belajar bahasa, tepatnya tentang cara menyusun kalimat secara lengkap, subyek-predikat-obyek. Walhasil, logika dan alur berpikir menjadi terlatih lebih komprehensif. Murid diajak memahami persoalan, bukan sekadar menghafal angka dan data.

“The joy of learning. Belajar adalah proses menyenangkan. Itu jurus yang harus dipegang,” kata Kristi Lonka, Profesor Psikologi dari Universitas Helsinki. Karenanya, di dalam kelas, susunan meja dan kursi pun harus feksibel. Furniture harus bisa dibongkar-pasang untuk mengakomodasi kerja kelompok di dalam kelas. Lonka menekankan, semua tugas murid di dalam kelas harus berdasar kerja kelompok, bukan individu. Mengapa? “Karena dalam kelompok tumbuh yang disebut knowledge creation, penciptaan pengetahuan,” kata Lonka. “Sedangkan dalam kerja individu, yang terjadi adalah knowledge acquisition, akuisisi pengetahuan.”

Tea Vuorinen, guru kelas 1 dan 2 di Sekolah Dasar Vikki, menjelaskan bahwa sistem kelompok di kelas memungkinkan murid mengasah keahlian sosial. Saling dukung, berdiskusi, mendengar, dan bekerja sama, adalah unsur yang utama. Seluruh isi kelas bersama mengupayakan tak ada murid yang tertinggal. “Kami bersama-sama belajar tumbuh menjadi manusia dan warga negara,” kata nona berusia 28 tahun ini. Karenanya, Vuorinen tak takut jika kelasnya melewatkan satu atau dua bab pelajaran matematika. “Sebab, yang terpenting mereka paham dan tumbuh dengan baik,” kata Nona Vuorinen, yang tampil modis kasual dengan celanan ketat dan bersepatu kets.

Tentu saja, setiap gading punya retakan. Sistem pendidikan di Finlandia pun demikian. Jari Lavonen, yang sudah empat dekade berkecimpung di dunia pendidikan, merasa selalu ada selapis tipis anak muda yang mengalami demotivasi. Pendidikan yang serba gratis, selalu ada kesempatan kedua untuk melanjutkan pendidikan, telah menumbuhkan sedikit perilaku manja, kurang bersemangat. “Toh, akan selalu ada kesempatan dan tunjangan, ini yang membuat demotivasi,” kata Lavonen.

Petra Packalen, peneliti di National Board of Education, juga menyadari bahwa selalu ada pelajar yang mengalami demotivasi. Jumlahnya memang kecil, kurang dari lima persen murid yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. “Biasanya, kami hubungi orang tua mereka, memberikan asistensi, menyarankan agar si anak tetap melanjutkan kuliah,” kata Packalen. Bagaimana pun, biaya hidup mahal dan semakin mahal dengan adanya krisis ekonomi global. “Ini menjadi tantangan tersendiri, bahwa mereka harus mengejar pendidikan terbaik,” kata Packalen.

Ada lagi retakan kecil pada sistem pendidikan Finlandia. Beberapa tahun terakhir, skor Finlandia dalam survei PISA cenderung menurun. Korea Selatan, Cina, Singapura, Jepang, menyalip posisi Finlandia. Bagi Packalen, ini adalah alarm yang menunjukkan ada yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan Finlandia. “Tidak hanya PISA, kami juga mendeteksi sedikit penurunan kualitas dalam survei yang kami adakan sendiri,” katanya. “Secara umum masih bagus, hanya saja perlu pembenahan sesuai zaman.”

Salah satu yang harus dirangkul, dalam konteks pembenahan, adalah teknologi digital yang turut mempengaruhi pola belajar. Permainan digital, facebook, twitter, misalnya, telah memecah fokus dan daya konsentrasi anak. “Kita perlu beradaptasi,” kata Petra Peckalen. Caranya, dengan memanfaatkan teknologi sebagai sarana belajar aktif. Belajar matematika, misalnya, dilakukan dengan memodifikasi permainan “angry bird”. Pertambahan, perkalian, pengurangan, pembagian, bisa diselipkan dalam model games ‘burung pemarah’ ini. “Inovasi permainan edukatif ini yang sedang kami dorong,” kata Petra Peckalen.

Pembenahan kurikulum, Jari Lavonen, memang sedang berlangsung sebagai agenda sepuluh tahunan. Pembenahan kurikulum terakhir terjadi pada 1997, jadi pembenahan berikutnya akan digelar pada 2017. Masukan dari para guru di lapangan menjadi tiang utama pembenahan. “Pembenahan yang kami lakukan selalu gradual, tidak besar-besaran. Berbasis kebutuhan lapangan,” kata Lavonen. “Tetap mengutamakan the joy of learning. Belajar itu menyenangkan.” ***

(Mardiyah Chamim, Helsinki)

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top