Penari kontemporer yang kerap bekerja dengan koreografer terkemuka, seperti Sardono W. Kusumo dan Sulistyo Tirtokusumo. Antropolog tari ini mengajar seni tari di Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Jakarta (IKJ). Pada 1992, ia ikut mendirikan Indonesian Dance Festival (IDF). Maria juga pendiri dan pemimpin dari Ardhanari Studio and Performing Arts Management dan Kebun Maria, wadah ia melakukan kegiatan seni dan bertanam organik.
Aku, Maria Darmaningsih, melakoni hidup sebagai seorang penari. Tidak mudah memilih jalan hidup menjadi seorang penari, terutama di kota besar seperti Jakarta. Panggungku tidak hanya saat menari, namun seluruh kehidupanku merupakan panggung yang berkelindan tanpa batas. Karena pilihan hidupku tentu mempengaruhi seluruh sendi kehidupanku.
Apalagi kedua anak gadisku juga melakoni hidup sebagai penari atau orang yang bergerak di belakang produksi seni pertunjukan. Ratri, putri keduaku, memutuskan untuk hidup sebagai seorang manajer program seni pertunjukan dan menjadi warga dunia. Hidup bebas berpindah-pindah dari Jakarta, Los Angeles, sampai Austria, dan entah mana lagi sesuai dengan urusan panggung yang digarapnya.
Sita, ragilku, gadis dengan kemauan keras yang memaksa diri untuk menyelesaikan pendidikan strata 2 di tengah-tengah kesibukannya manggung atau menjadi manajer bagi grup musik kakaknya yang pertama. Ia juga mengajar tari dan ikut membantuku merawat sebuah festival tari kontemporer bertaraf internasional di Jakarta yang kebetulan aku pegang bersama beberapa seniman tari lainnya. Tentu saja panggung hidupku semakin semarak dengan kehadiran mereka.
Lakon, tidak selalu indah
Februari tahun ini diramaikan oleh celoteh Ratri di tengahtengah kami. Ia pulang dari Austria untuk sebuah pekerjaan besar di Jakarta. Tentu saja kehadirannya menambah semangatku. Apalagi, pada pertengahan bulan itu, aku mengikuti sebuah produksi yang dibuat seorang maestro tari tradisional, Retno Maruti, berjudul Abimanyu Gugur. Kisah itu mengenai gugurnya Abimanyu yang digambarkan telah berselingkuh dan mati di padang Perang Kurusetra oleh Kurawa. Sayangnya, seminggu sebelum pentas, aku demam. Ratri juga sempat meriang, tapi hanya sebentar dan tidak terlalu mendapat perhatian. Ia merasa hanya butuh istirahat. Mungkin lelah akibat perjalanan panjang dari Eropa ke Indonesia. Tapi, makin hari, badanku terasa makin tidak karuan. Menjelang hari pementasan, badanku menjadi lemas dan demam tinggi. Padahal aku harus mengikuti gladi bersih di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Aku memaksakan diriku untuk tetap menari, mengikuti panggilan peranku.
Pulang dari TMII, rasa lemas semakin menjadi-jadi. Aku bingung. Padahal besoknya ada pentas besar yang harus aku tunaikan. Untungnya, pada hari aku harus pentas, tubuhku terasa lebih bersahabat. Sebagai seorang penari, seluruh daya ditujukan untuk menunaikan tugas di panggung pertunjukan. Karena itu, hari itu, walaupun tubuh belum terlalu fit, aku bersyukur karena semua bisa berjalan baik. Mungkin karena tari bagiku seperti sebuah lantunan doa persembahan, sehingga seluruh lapisan tubuhku ikut mengumpulkan daya untuk bisa menuntaskannya.
Singkat cerita, ternyata penyakit yang semula dikira sederhana, akhirnya membawa kami bertiga menjadi pasien Covid-19 pertama di Indonesia. Sita, yang tubuhnya paling ringkih di antara kami, paling berat mengalaminya. Covid-19 adalah penyakit mematikan yang paling ditakuti saat ini, sehingga berita mengenai sakitnya kami menjadi tersebar luas tak terkendali.
Kami bertiga menjadi bulan-bulanan warga yang takut akan kisah kami dengan berita yang memojokkan. Hanya dalam hitungan jam, semua data identitas hingga tempat tinggal kami menjadi konsumsi publik. Seakan-akan harus ada yang dikorbankan untuk mengganjal rasa cemas dan takut yang tersebar di dunia maya. Dan entah kenapa, sosok kami dianggap tepat dijadikan sebagai biang keladi semua kehebohan ini.
Refleksi dua panggung
Dalam hitungan jam di hari itu, aku merasa dihempaskan oleh sebuah gelombang tak tampak hingga jatuh ke dasar sumur tak bertepi. Panggungku menjadi semakin nyata, bukan lagi rekaan belaka. Tiba-tiba kisah gugurnya Abimanyu terpampang di depan mata. Seperti melihat matinya nurani di padang Kurusetra. Terlalu banyak orang yang menyelingkuhi hatinya sehingga tidak lagi peduli kepada siapa panah-panah Kurawa itu harus dihunjamkan. Yang penting, harus ada yang dikorbankan demi sebuah pelampiasan. Sementara saat menari aku menjadi Kurawa, hanya berbeda beberapa hari saja, aku menjadi sasaran anak panahnya.
Ketakutan akan hadirnya bayangan kematian akibat penyakit yang masih asing ini berpadu dengan rasa sakit karena berbagai ujaran kebencian yang beredar di luar sana, terutama yang dialamatkan kepada ragilku, Sita. Ia dianggap sebagai pembawa bencana yang harus dijadikan target sasaran. Banyak orang yang seperti lebih mengenali kami dibanding kami sendiri, dengan segala macam atribut yang ditempelkan kepada kami tanpa permisi. Tentu saja semua ini membuat perasaan kami mendadak tumpul dan pikiran menjadi sulit mencerna. Apa yang sedang terjadi?
Di dalam jurang terdalam aku dihadapkan pada kebenaran yang menyakitkan. Bahwa semua pencapaianku selama ini, kecantikan, jabatan, harta, semua yang aku miliki, menempel menjadi embel-embel, dan membentuk menjadi gambaran diriku, ternyata tidak ada lagi artinya. Di titik nadir kematian, tidak ada yang lebih penting daripada kehadiran Gusti Allah. Berkali-kali kesadaran ini membuat dengkulku luruh, memaksaku bersimpuh. Pasrah berserah, berusaha menelisik kembali hubunganku dengan Sang Maha Tunggal. Adakah salahku? Mengapa aku harus berada dalam situasi tak berperi?
Ternyata penyakit yang semula dikira sederhana, akhirnya membawa kami bertiga menjadi pasien Covid-19 pertama di Indonesia.
Maria Darmaningsih
Ada saat-saat aku ingin menyerah atau bahkan marah hingga panasnya terasa sampai ubun-ubunku. Tapi, mengingat dua gadisku yang memerlukan kehadiran ibunya, aku memaksakan diri untuk tetap menjaga kewarasanku. Beruntung, banyak saudara maupun teman yang bersimpati, terus mengirim doa dan penguatan. Bahkan beberapa mengirimi bunga, buah, makanan, hingga barang-barang kebutuhan. Di antaranya buku gambar dan pensil warna yang kujadikan alat katarsis emosi. Rupanya, itu cukup berhasil. Seni ternyata sangat mujarab membantu menstabilkan emosi dan membantu penyembuhan diri.
Berganti menggumuli panggung alam
Seperti juga berita tentang sakit kami, berita kesembuhan kami pun menjadi headline yang menghebohkan. Padahal kami hanya ingin memberikan semangat bagi pasien-pasien lain dan menunjukkan bahwa Covid-19 bisa disembuhkan. Namun, seperti yang sudah-sudah, niat baik kami disalahartikan. Berita miring pun kembali menyerang. Tapi, untungnya, kami sudah tidak lagi peduli. Yang penting kami berusaha terus-menerus meluruskan niat untuk menyebarkan berita baik dan optimisme yang semakin langka akhir-akhir ini.
Terkurung berminggu-minggu di ruang isolasi membuatku menyadari berkah alam yang melimpah di sekeliling rumah kami. Tanah yang luas menjadi panggung baru yang belakangan setia menemani. Alam merupakan karib yang tak pernah mengkhianati. Jika dirawat dengan cinta, ia akan mengembalikan cinta lewat hasil yang melimpah. Tiap pagi, aku dan Ratri menjelajahi panggung kecilku ini dengan gembira, menyiangi rumput, menyiram, atau sekadar mencari-cari buah atau daun apa yang bisa dipetik untuk diolah menjadi makan siang kami.
Walaupun masih banyak hujatan yang datang, kami semakin mantap dengan apa yang kami lakukan. Menyebarkan berita baik dan optimisme jika ada yang memerlukan, serta tidak menghiraukan berita-berita miring, baik tentang kami maupun tentang pandemi ini. Selain itu, kami merawat dan mengembangkan kebun yang ada di sekeliling rumah. Gusti Allah memang Maha Baik. Di setiap kesulitan selalu ada kemudahan yang menemani, di setiap kesakitan selalu ada limpahan berkah yang telah menanti. Puji syukur hanya untuk-Mu!
Jakarta, Agustus 2020