“Ayo, Mulih, Rek!”

Penulis Yuliannova Lestari Chaniago salah satu WNI yang dievakuasi dari Wuhan ke Natuna, Indonesia, bersama 237 WNI lainnya. Berstatus pelajar sebagai kandidat doktor pada program doktoral di Central China Normal University, Wuhan jurusan Hubungan Internasional. Penulis juga aktif bekerja sebagai fotografer lepas.

Setiap orang yang akan memasuki pesawat selalu menyempatkan diri menoleh ke kiri, kemudian menengadahkan dagunya, penasaran pada selembar kertas yang dilambai-lambaikan pilot. Semakin mendekat, aku pun melakukan hal yang sama, mengarahkan pandangan ke jendela kokpit.

“Ayo, mulih, rek!” mendadak berdesir darah di dadaku. Kata-kata khas Jawa Timur itu awalnya tak memiliki makna apa-apa. Tapi, hari itu, hanya dengan membaca sekilas di selembar kertas putih, kalimat itu seperti ingin selamanya menetap di dalam hati dan pikiran. Kalimat yang paling menyentuh sepanjang hidup, tidak pernah bisa kulupakan, hingga hari ini.

Perasaan khawatir akan ketidakpastian akhirnya perlahan berubah menjadi kelegaan. Inilah hari bersejarah setelah bertahan selama sepuluh hari, terhitung sejak Kota Wuhan ditutup pada pukul 10.00 pagi waktu Cina, 23 Januari 2020, karena wabah Covid-19.

Kami harus menunggu selama 14 jam untuk bisa memasuki pesawat, melewati pilot dan kru yang mengenakan alat pelindung diri (APD), termasuk kacamata pelindung, goggles. Warga negara Indonesia (WNI) yang dievakuasi bukan hanya kami yang ada di Kota Wuhan, melainkan juga mereka yang berada kota lain yang masih termasuk Provinsi Hubei. Hampir semua kota yang ada di Provinsi Hubei menutup wilayahnya. Jarak tempuh kota-kota di Hubei, seperti Ensizhou, Yichang, Xianning, Jingzhou, Liantao, dan Huangshi, menuju bandar udara, berbeda-beda.

Pada waktu yang sama, warga negara asing, seperti India, Yordania, dan Prancis, juga akan pulang ke negaranya. Semua orang yang ada di dalam bandara harus diperiksa satu per satu, termasuk kami. Terlihat tidak banyak petugas bandara yang bertugas pada hari itu, mengingat semua moda transportasi yang ada di Kota Wuhan untuk sementara diberhentikan.

Evakuasi Sukarela

Kami harus mengisi formulir riwayat kesehatan dan mendapat tiga kali pemeriksaan suhu tubuh, saat akan masuk ke bandara, ke ruang pemeriksaan keimigrasian, dan terakhir ke badan pesawat. Tidak hanya itu, kami harus menunggu
boarding pass manual dibagikan agar bisa check in bagasi. Wajah awak pesawat tidak dapat terlihat jelas, tapi, dari balik pelindung diri yang sangat rapat itu, aku bisa merasakan kehangatan sambutan mereka.

Kabar rencana pemulangan WNI yang berada di Wuhan itu saya dengar pada pukul 5 sore, Jumat, 31 Januari 2020, dalam cuaca cerah api dingin. Tim Lima KBRI Beijing sudah disiapkan untuk misi khusus, memulangkan warga negara Indonesia. Malam harinya, “Tim Lima” mendatangi kampus kami, Central China Normal University (CCNU).

Melalui sambungan telepon, “Tim Lima” menghubungi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Menteri Luar Negeri menyapa, memberikan beberapa arahan, serta mengingatkan agar terus menjaga kesehatan. Saat itu, kami, pelajar dari Indonesia yang tinggal di liú xué shēng shùshè CCNU (asrama mahasiswa internasional), ada 28 orang.

Setelah mengakhiri percakapan tersebut, “Tim Lima” memberikan briefing menggunakan video call grup WeChat agar dapat terhubung dengan mahasiswa dari universitas berbeda. Saya ingat betul pesan yang disampaikan oleh Koordinator Fungsional Sosial Budaya, KBRI, Pak Arianto Surojo. Evakuasi bersifat sukarela. Peserta yang akan dipulangkan adalah orang yang tidak pernah sakit atau memiliki gejala yang sama dengan pasien yang terkena Covid-19 terhitung sejak Wuhan menerapkan lockdown. Kami hanya diperbolehkan membawa
koper kecil ukuran kabin pesawat.

Keesokan harinya, Sabtu, 1 Februari, pukul 09.30, sebanyak 15 WNI bergegas berjalan menuju pintu keluar kampus. Ini adalah hari kesepuluh Wuhan menerapkan lockdown. Semalam kami menyepakati titik kumpul di Nán mén (Gerbang Selatan) Central China Normal University. Letak gerbang itu tepat di tengah kota. Dengan berjalan kaki, butuh waktu lebih- kurang 10 menit menuju Nán mén. Kebanyakan mahasiswa Indonesia memang tinggal di dormitory kampus.

Lima bus mini, atau yang disebut xiǎo gōng gong, berwarna hijau sudah terparkir di tempat yang telah disepakati. Kami masih harus menunggu teman lainnya dari Wuhan University yang berada di seberang kampus.

Tepat pukul 10.00, bus berangkat menuju Ligong University untuk menjemput teman-teman lainnya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tianhe. Ternyata, gerbang kampus Ligong terkunci dan tertutup rapat. Tidak ada shifu (penjaga), sehingga teman-teman terpaksa memanjat pagar sekolah. Kami yang sudah ada di dalam bus pun keluar, membantu membawakan koper teman-teman lainnya.

Suara roda koper dan langkah terdengar bersahutan. Pukul 12.00 siang, diantar jiàshǐ rénv (sopir) lengkap menggunakan baju APD berwarna kuning mirip minion, bus kami tiba di Tianhe, Bandara Internasional Kota Wuhan. Ketatnya penjagaan membuat kami sedikit lama menunggu di luar bandara. Satu per satu harus mengisi formulir kesehatan dan pengukuran suhu tubuh. Tidak boleh lebih dari 36,8 derajat Celsius. Meskipun harus menjalani proses yang cukup memakan waktu, kami semuanya mengikuti seluruh prosedur yang sudah ditetapkan dengan sabar hingga kami diizinkan masuk ke ruang tunggu keberangkatan.

Tidak jauh di depanku, seseorang berpakaian APD dengan bendera Merah Putih di lengannya terlihat kebingungan mencari tutup pena yang terjatuh di dekat pintu masuk penumpang. Aku menunduk, mengambilkan tutup pena, dan mengembalikan kepadanya.

“Terima kasih banyak, Pak, sudah menjemput kami,” aku berucap sambil menyerahkan handphone dan paspor. Tenggorokan dan dadaku terasa panas ketika mengucapkan kata-kata yang sangat sederhana itu. Bapak yang tak kuketahui namanya itu memang bertugas mencatat semua barang elektronik yang harus diserahkan sebelum memasuki pesawat.

Tak ingin terlihat menangis, saya turut berdesakan dengan penumpang lainnya, seperti tak sabar memasukkan tas ransel ke bagasi kabin pesawat. Sekilas aku melihat nasi boks bertulisan gulai ayam sudah tersedia di setiap kursi, seperti mengirim pesan kepada perut yang ketika lama menunggu di bandara hanya diisi shou zhua bing ( pancake khas Wuhan). Saya duduk bersama dua teman.

Mereka yang Tak Serta

Rasa senang karena akhirnya bisa pulang berbaur dengan kesedihan mendalam karena empat teman kami, Humaidi,
Reza, Nicho, dan Crishwati, tertahan di bandara. Mereka tidak lolos screening kesehatan dan tidak diizinkan pulang. Nasi ayam gulai yang semula seperti berlarian ingin segera mengisimperut, mendadak tertahan di mulut. Entah apa yang mengganjalmdi kerongkongan. Air mata yang menetes tanpa diperintahmketika teringat empat teman yang belum boleh pulang itu pun menghentikan suapan.

Humaidi adalah sahabat paling dekat. Hari itu kami saling merekam video menggunakan handphone dan membuat parodi wawancara ketika bersama-sama menunggu di depan bus sebelum berangkat menuju bandara. Saya biasa memanggil Humaidi dengan sebutan Mas Omed. Kami saling mengenal sejak 2018. Kami tinggal di gedung yang sama. Kamar Mas Omed di lantai 9, dan kamar saya di lantai 6. Jika sedang rindu kampung halaman, kami masak sambal terasi yang dibawa dari Indonesia dan makan bersama di kamar Mas Omed.

Di tanggal cantik, 02.02.2020, Mas Omed tidak bisa ikut pulang. Saat itu, 245 warga negara Indonesia beserta kru yang bertugas terbang meninggalkan Wuhan menuju Indonesia. Pesawat Airbus Batik Air A330-300 berisikan 48 kru—terdiri atas anggota TNI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, dan kru Batik Air. Para petugas membagikan masker. Saya duduk dan mengencangkan seatbelt. Beberapa teman masih terlihat sibuk menghabiskan makanannya. Seketika aku mendengar kalimat dari pengeras suara di pesawat.

“Selamat datang, teman-teman. Penerbangan ini adalah penerbangan yang akan membawa teman-teman pulang ke Indonesia, dan selamat kembali ke Tanah Air,” suara itu sebelumnya memperkenalkan diri sebagai Kolonel Dody. Terdengar lantang dan bersemangat. “Tanah Air”, kata yang sebelumnya tak bermakna apa-apa itu, ternyata sanggup mengalirkan air mata. Berkali-kali saya mencoba menghentikannya. Beruntung, keharuan itu tenggelam dalam gempita tepuk tangan semua WNI yang dievakuasi.

“Kita pulang, mi!” logat Makassar dari teman yang berada di sebelah tempat dudukku itu seperti teriakan komando.

“Kita pulang!” saya turut meneriakkan, berharap air mata bisa segera berhenti menetes. Di sela riuh tawa dan tepuk tangan, terdengar kalimat peringatan.

“Jangan lupa maskernya dipakai, ya, adik-adik, diganti setelah empat jam. Kalau habis, minta kembali kepada kami.” Suara salah seorang pramugari berusaha mengatasi teriakan kami sembari membagikan masker dari Indonesia.

Hampir semua penumpang adalah mahasiswa. Di antara yang bukan mahasiswa, dua orang bekerja sebagai guru bahasa Inggris dan satu keluarga yang sedang berlibur terjebak di Wuhan.

Hari-hari di Wuhan

Pesawat yang membawa kami telah lepas landas, terbang menuju Natuna. Saya tidak segera bisa memejamkan mata.
Teringat sepuluh hari terakhir di Wuhan. Hari-hari dihabiskan dengan mengisi jurnal suhu tubuh, kemudian melaporkannya kepada bānzhǎng (ketua kelas). Selama lockdown, tangan saya tidak lepas dari gadget. Telepon dan SMS terus berdatangan, terutama dari orang tua. Ibu dan Bapak setiap hari menanyakan kabar secara intens dalam grup WhatsApp keluarga.

Teman-teman lama pun menghubungi untuk menanyakan kabar. Demikian juga teman-teman yang lebih dulu berlibur, terus meminta agar saya tetap bertukar kabar. Kalimat tanya “apa kabar” dan “tetap semangat, badai pasti berlalu” menjadi kalimat penyemangat pada saat pandemi. Pandemi juga menambah list pertemanan di media sosial Twitter, baik yang kenal maupun tidak.

Grup WeChat “Representative Covid-19 Volunteer” dari kampus tidak pernah sepi. Kami kebagian tugas memastikan semua teman yang tinggal di asrama mendapat masker mulut dan termometer di gedung asrama masing-masing. Tugas tambahan adalah melayani wawancara dari stasiun televisi di Indonesia untuk menyampaikan kabar WNI yang ada di Kota Wuhan.

KBRI Beijing juga melakukan pemantauan dan komunikasi intens di grup WeChat. Kami tidak diizinkan keluar dari asrama. Jika ada urusan mendesak, baru boleh keluar bila ada surat izin dari laoshi (guru) untuk ditujukan kepada shifu (penjaga).

Pemerintah Kota Wuhan menjamin kebutuhan makanan tetap terpenuhi selama masa isolasi. Untuk sarapan disediakan mantou (sejenis bakpao) dan jidan (telur). Biasanya, menu makan siang adalah jidan jirou chaofan (nasi goreng telur ayam). Sedangkan untuk makan malam huang men ji (sup ayam dan nasi), buah-buahan, serta snack.

Asrama di kampus memberlakukan sistem ranting. Semua orang harus berada di dalam rumah, kecuali yang dipilih bertugas sebagai perwakilan ranting. Kami menyebutnya shifu. Jika mahasiswa memerlukan sesuatu yang tidak ada di daftar menu makanan sehari-hari, kami harus membuat daftar, kemudian melaporkan kepada ketua kelas. Perwakilan dari kampus yang akan pergi ke luar untuk berbelanja. Selama isolasi, tagihan air dan listrik ditanggung otoritas kampus.

Rupanya, ingatan tentang Wuhan telah membuat saya terlelap dan baru dibangunkan cahaya terang yang menembus jendela pesawat, tanda hari sudah hampir siang. Saya melepas seatbelt, berdiri, menggerakkan tubuh untuk menghilangkan pegal. Teman-teman masih tertidur lelap. Dingin ruang pesawat membawa saya ingin ke toilet. Sembari menunggu antrean, terlihat di kursi penumpang bagian belakang, empat kru, tertidur lelap, lengkap dengan APD.

Karantina di Natuna

Saya melempar senyum kepada salah satu kru yang terbangun, kemudian duduk di kursi sebelahnya. Dari perkenalan yang terhambat APD itu, saya tahu bahwa dia adalah Kolonel Dody. Ia menceritakan, APD sudah dipakai sejak berangkat dari Indonesia, hampir 12 jam. Ia belum bisa mengganti pakaiannya sejak acara protokoler pelepasan tim
evakuasi. Selama mengenakan APD, dia kesulitan jika ingin ke toilet. Saya mengirim pesan ucapan terima kasih melalui tatapan mata. Hanya itu yang bisa menghidupkan komunikasi.

“Kami senang bisa menjemput teman-teman dari Wuhan,” Kolonel Dody mengakhiri percakapan.

Tak lama kemudian, Kapten Ridwan dan Pramugari Haryati bergabung. Dua kru ini juga memakai APD lengkap. Saya berdiri sambil mengulurkan tangan sebagai salam perkenalan. Dari Kapten Ridwan saya tahu, semua peserta evakuasi, kru, serta pesawat yang membawa kami pulang akan dikarantina bersama selama 14 hari.

Pengeras suara menginformasikan bahwa pesawat sudah masuk Indonesia. Sebentar lagi mendarat di Bandara Internasional Hang Nadim Batam, dilanjutkan menuju hanggar Lanud Raden Sadjad, Natuna.

Hanggar Lanud Raden Sadjad, Natuna, telah disulap menjadi tempat karantina. Terdapat 17 tenda besar berwarna hijau berpendingin ruangan untuk laki-laki dan perempuan, yang akan menjadi tempat kami tidur. Satu tenda diisi 12 orang. Kami tidur di atas velbed dengan selimut loreng. Televisi tampak masih baru, dilengkapi siaran TV kabel. Ini lebih dari mewah bagi saya dibanding ketika di Wuhan pada masa pandemi. Selama karantina, kami makan masakan Indonesia dengan keaslian rempah-rempah. Setiap pagi terdengar suara mesin pesawat. Kami melihat pesawat terbang berseliweran.

Setiap pukul 05.00, petugas membangunkan kami melalui toa.

“Adik-adik, rekan-rekan sekalian. Waktu telah menunjukkan pukul lima pagi. Bergegas bangun untuk melakukan senam pagi,” begitulah alarm pagi yang membangunkan kami. Rutinitas dimulai dengan ibadah subuh berjemaah bagi yang muslim, dilanjutkan senam pagi bersama anggota TNI dan para dokter. Yang tidak beribadah biasanya mulai membersihkan hanggar dan meja makan. Selama kami berada di luar hanggar, petugas akan menyemprotkan cairan disinfektan.

“Tanah Air”, kata yang sebelumnya tak bermakna apa-apa itu, ternyata sanggup mengalirkan air mata.

Yuliannova Lestari Chaniago

Banyak hal yang kami lakukan untuk mencegah kebosanan selama menjalani proses karantina. Ada peserta yang berinisiatif membuka kelas bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Ada pula yang membuat celotehan lucu, termasuk memaknai pesawat yang take off atau landing di jam-jam tertentu.

“Wah, jajanan dari Jakarta sepertinya tiba untuk kita,” begitu yang terdengar bila pada siang hari terdengar suara pesawat hendak take off atau landing. Kami berusaha memaknai hari-hari karantina dengan kegembiraan.

Air mata saya berlinang haru ketika pada hari Minggu, hari ketujuh karantina, terlihat dokter dan teman-teman Nasrani bernyanyi dan berdoa di tenda yang sehari-harinya menjadi tempat salat bagi teman-teman muslim. Betapa indahnya kebersamaan. Semua etnis berkumpul di sini. Semua bahasa dan logat terdengar di sini. Ada dari Sumatera, Jawa, Makassar, Papua, Jambi, Kalimantan, dan Bali. Saat berada di karantina, saya merindukan Indonesia yang seperti ini. Damai, tanpa menengkarkan pilihan keyakinan.

Kami melalui proses karantina dengan baik, kemudian dipulangkan dengan pesawat Boeing dan Hercules TNI AU
menuju Halim Perdanakusuma, Jakarta. Perwakilan asal daerah sudah bersiap menjemput untuk membawa kami ke daerah asal masing-masing. Rasa syukur tak terhingga, ada orang terkasih yang menunggu kami di rumah.

Berpisah dengan teman-teman seperjuangan ketika berada di Wuhan seperti mengingatkan saat-saat menghadapi kecemasan, kekhawatiran, dan ketidakpastian. Ini adalah tahun ketiga saya tinggal di Kota Wuhan sebagai mahasiswa jurusan hubungan internasional di Central China Normal University.

Pada hari ketujuh setelah pemerintah Wuhan mengumumkan kebijakan lockdown, belum ada tanda-tanda kami akan dievakuasi. Beberapa teman mulai panik. Ketika itu, saya diwawancara salah satu stasiun televisi di Indonesia. Pada pengujung acara, host bertanya apa pesan yang ingin disampaikan kepada keluarga di rumah. Saat itu saya terdiam dan menelan ludah. Pelipis mata terasa sakit, tenggorokan terasa perih, dan suara saya bergetar menahan tangis. Sekuat tenaga saya berusaha tidak meneteskan air mata. Selama ini saya tidak pernah se-mellow ini. Saya tidak pernah takut untuk pergi jauh dari rumah. Tapi, pada titik itu, saya menyadari, betapa rumah adalah tujuan untuk pulang.

Jakarta, Agustus 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top