Setiap halaman yang dibuka menjadi gerbang menuju dunia baru, setiap ilmu yang digali menumbuhkan benih di hati mereka.
-Melati Taman Baca-
DI JALAN AMPERA, Jakarta Selatan, sebuah rumah dengan pintu yang selalu terbuka menyambut siapa saja yang ingin membaca. Bukan sekadar ruang dengan rak-rak buku, tempat ini adalah taman bagi masyarakat, di mana literasi bertunas dan bersemi.
Pada 25 Agustus 2005, menandai kelahiran sebuah tempat bernama Melati Taman Baca. Adalah Virgina Veryastuti, sosok di balik rumah yang menjembatani banyak perjumpaan buku dengan manusia di sekitarnya.
Namun, akar dari taman baca ini sejatinya telah tumbuh jauh sebelum itu, tepatnya sejak 24 November 2001, tiga pengawal literasi: Susetiorini Adiningsih, Nandha Julistya, dan Virgina Veryastuti —menanam bibitnya lewat Kelompok Kerja Sosial (KKS) Melati.
Mereka bersigap tanpa perlu menanti ruang yang sempurna. Dengan derap semangat, membawa buku ke mana pun melangkah, dari sudut ke sudut Jakarta, menghamparkan buku dan mengundang anak-anak untuk mengenal dunia.

Tahun-tahun berlalu, dan perjalanan itu akhirnya menemukan rumahnya. Tahun 2005 menjadi titik balik ketika komunitas ini menetap di sebuah rumah sewa di Jl Ampera II, Jakarta Selatan. Untuk memaksimalkan sekretariat, Virgina pun menginisiasi pendirian taman baca tetap, yang kemudian dikenal sebagai Melati Taman Baca.
Bermodalkan buku-buku cerita yang tersedia, kegiatan dimulai dengan mengundang anak-anak sekitar untuk membaca dan menikmati berbagai aktivitas kreatif seperti permainan tradisional, menari, teater, dan menggambar.
Seperti jalan panjang dengan segenap tantangan. KKS Melati pun menemui aral, membuat langkah tak lagi beriring sebagaimana komitmen yang dicanangkan. Rupanya mencari relawan bukan perkara ringan—di masa itu, menjadi relawan bukanlah tren, melainkan panggilan yang hanya sedikit orang bersedia menjawab.
Tapi Evie, demikian ia akrab disapa, berjanji, “Saya yang akan menutup pintu terakhir taman baca jika suatu hari tak ada lagi relawan yang membantu mengelolanya.”
Hari itu tak pernah tiba. Hingga kini, pintu tetap terbuka. Selalu ada tangan-tangan yang bersedia merawatnya, menjaga agar taman baca ini tetap hidup dan berdaya.
Selalu Ada Jalan
Tentu saja, tantangan utama dalam menjalankan taman baca bukan melulu menyediakan buku, tetapi juga menjaga keberlanjutan kegiatan, terutama dalam mencari relawan yang berkomitmen jangka panjang. “Saat ini lebih mudah mencari relawan lewat media sosial,” ujar Evie.

“Tapi kebanyakan hanya terlibat dalam acara besar, sementara kegiatan rutin membutuhkan dedikasi yang lebih sulit ditemukan.” Selain itu, biaya operasional menjadi kendala besar bagi taman baca tanpa pendanaan tetap. “Diperlukan akses lebih luas untuk menjalin kerja sama agar taman baca bisa terus hidup,” tambahnya.
Puncak tantangan finansial terjadi pada masa pandemi 2022-2023, ketika biaya sewa lokasi justru naik, sementara ia sendiri harus kehilangan pekerjaan. Demi kelangsungan Melati Taman Baca, ia mengambil keputusan besar: menjual rumah warisan keluarga di Yogyakarta untuk merenovasi rumah tua miliknya agar bisa menjadi lokasi baru taman baca. “Ini langkah terbesar yang saya lakukan agar taman baca tetap ada,” kenangnya.
Akhirnya, pada awal 2023, Melati Taman Baca resmi pindah ke rumah keluarga yang telah direnovasi, membuka kembali pintunya bagi anak-anak, dan melanjutkan misinya dalam dunia literasi.
Semangat yang tak lekang itu juga punya akar sejarah. Sejak kecil, ungkap Evie, ia sudah tumbuh di rumah yang dipenuhi buku. Perpustakaan keluarganya, D’Lantippo, bukan sekadar rak berisi lembaran kertas, tapi warisan pemikiran dari almarhum bapak—seorang guru, penulis, dan mantan wartawan. Nama itu ia ambil dari kata “landep” dalam bahasa Jawa, yang berarti tajam.
“Membaca bukulah, biar pemikiranmu tajam,” begitu pesannya. Warisan itu terwujud, Evie dengan tekun menyalakan semangat sang ayah melalui Melati Taman Baca.
Bersemi Kembali setelah Pandemi
Melati Taman Baca kembali bangkit dengan semangat baru melalui fase Melati Taman Baca Restart pada 2023. Fokus utamanya adalah mengajak anak-anak, mengenalkan ulang taman baca, serta menghidupkan aktivitas bermain dan membaca. Salah satu program favorit adalah Belajar di Luar, yang memberi kesempatan anak-anak mengeksplorasi dunia secara langsung.
Mereka pernah mengunjungi Jakarta Aquarium untuk mengenal kehidupan bawah laut dan Garuda Maintenance Facilities di Cengkareng untuk melihat perawatan pesawat dari dekat.

“Bagi sebagian anak, ini adalah pengalaman pertama mereka melihat pesawat secara langsung. Hal-hal kecil seperti ini bisa memberi inspirasi besar,” ujar Evie bersemangat.
Selain itu, Evie dan kawan-kawannya juga mengadakan kelas Bahasa Inggris agar anak-anak bisa memahami koleksi buku berbahasa Inggris yang mencapai 30% dari total koleksi. “Saya ingin sekali mereka bisa membaca buku-buku tersebut dan mengerti artinya sendiri,” ucapnya.
Dengan tagline baru #tempatkitabelajarbersama, taman baca ini bukan hanya ruang bagi anak-anak, tetapi juga tempat belajar bagi siapa saja—mulai dari orang tua hingga para pegiat literasi. “Setiap orang yang datang ke sini pasti membawa pulang sesuatu, entah itu pengalaman, inspirasi, atau ilmu baru,” tambahnya.
Butuh Komitmen Jangka Panjang
Menyoal tingkat literasi di Indonesia yang masih menghadapi kendala besar, mulai dari rendahnya minat baca hingga keterbatasan akses terhadap bahan bacaan berkualitas, terutama di daerah terpencil. Evie tak mau patah arang, ia percaya dengan terus lahirnya berbagai komunitas literasi yang mendekatkan kegiatan literasi ke masyarakat, Indonesia masih punya harapan.
Menurutnya lagi, literasi adalah investasi jangka panjang yang membutuhkan kolaborasi berkelanjutan antara komunitas, pemerintah, dan berbagai pihak agar perubahan nyata terjadi dalam satu atau dua dekade ke depan.

“Kami ingin anak-anak tumbuh dengan buku, dengan cerita yang menginspirasinya, karena itu jadi awal dari perubahan besar,” ungkapnya.
Upaya ini juga didukung oleh berbagai gerakan, seperti Perpusnas RI yang tahun lalu mendonasikan 1.000 buku ke 10.000 taman bacaan dan perpustakaan desa.
Selain inisiatif komunitas, literasi digital turut membuka akses bacaan lebih luas melalui platform seperti Let’s Read Indonesia dan Buku Digital. Meski tentu saja, rintangan tetap ada, terutama dalam mencari relawan yang berkomitmen jangka panjang.
Menabung Asa di Bank Sampah
Tak hanya berkutat dengan agenda mencomblangi buku dengan manusia. Sejak kuliah, Virgina pun sudah peduli lingkungan dan aktif mendaur ulang sampah, kebiasaan yang ia teruskan di Melati Taman Baca. Selain memanfaatkan kertas bekas untuk belajar menggambar, ia juga membuat berbagai kerajinan dari sampah, seperti keranjang dari koran, dompet dari sachet, hingga sabun dari minyak jelantah.
Tahun 2019, ia bersama timnya mendirikan Bank Sampah sebagai upaya mengedukasi masyarakat bahwa sampah memiliki nilai. Kini, pengelolaan setoran sampah telah dialihkan ke RW, sementara ia tetap fokus pada edukasi dan pemilahan sampah, termasuk merancang program pengelolaan limbah tekstil untuk mengurangi konsumsi berlebihan dan memberdayakan perempuan.

Mensosialisasikan pengelolaan sampah tidaklah mudah, tetapi Evie memulainya dengan video edukasi dan diskusi dengan warga. Saat pandemi lalu, Bank Sampah terbukti membantu masyarakat secara ekonomi, dari menyambung hidup hingga modal usaha.
Baginya, mengelola sampah bukan sekadar aksi lingkungan, tetapi juga bentuk kepedulian sosial. Melalui taman baca dan bank sampah, ia ingin menanamkan kesadaran bahwa tindakan kecil bisa membawa perubahan besar bagi lingkungan dan masyarakat.
Saat ini, Evie tengah menyiapkan program pengelolaan limbah tekstil, salah satu penyumbang sampah terbesar selain plastik. Ia ingin mengajak masyarakat, khususnya perempuan sekitar Melati Taman Baca, untuk lebih bijak dalam konsumsi pakaian dan memanfaatkan limbah tekstil secara maksimal.
“Kami ingin memberdayakan perempuan sekaligus mengurangi limbah fesyen. Semua berawal dari kesadaran, dan itu yang terus kami tanamkan,” tukasnya.

Lebih dari itu, Evie menyimpan mimpi besar: mewujudkan Kampung Literasi Ampera. Ia ingin Melati Taman Baca berkolaborasi dengan PAUD, sekolah dasar, tempat les, TPA, kelompok belajar, TBM, PKK, hingga Karang Taruna di lingkungannya, bersama-sama menggerakkan literasi dalam skala yang lebih luas.
“Butuh dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkannya, tapi saya percaya, jika kita seiring menjalin gerakan, impian ini bukan omongan belaka,” ucapnya penuh harap.
Berjalan Bersama
Ketika Puan Indonesia bertanya, apa tiga kata yang merepresentasikan seorang Virgina? Dengan tenang dipilahnya; penasaran, bermanfaat, dan kreatif. Tiga kata tersebut menjadi spirit perempuan lulusan Manajemen Informatika dari Universitas Gunadarma ini tetap berdiri hingga kini. Di mana rasa ingin tahu mendorongnya terus belajar, baik di bidang literasi, lingkungan, maupun pengembangan komunitas.
Bagi perempuan pecinta kucing ini, hidup terasa punya nilai ketika bisa bermanfaat bagi orang lain, itulah yang kerap membawa daya gedor untuk terus menginisiasi berbagai program kreatif, baik di Melati Taman Baca, juga di Jakarta.
“Selama masih ada yang ingin belajar dan mau bergerak bersama, saya akan terus berjalan,” tutupnya dengan senyum optimis.***
***Deasy Tirayoh