Perempuan Kandidat: Janda dan Tidak Berhijab Dilarang Ikut?

Dia tidak berhijab! Dia Janda! Cercaan yang kerap muncul dalam pusaran teror lima tahunan. Kandidat perempuan dihakimi bukan dari kapasitasnya, melainkan dari penampilan dan statusnya.

SEBUAH FILM DOKUMENTER garapan Konde.co bertajuk “Perempuan Kandidat”, baru saja diluncurkan pada 4 Oktober 2024, melalui kanal Youtube Konde Institute. Film berdurasi 18 menit ini menyoal berbagai isu yang menghantam perempuan di riuhnya pesta demokrasi Indonesia.

Dengan scene berbobot, film besutan Ani Ema Susanti ini mampu mengupas kompleksitas yang dihadapi perempuan yang berani terjun dalam politik, baik di Pemilu maupun Pilkada.

Disajikan dalam frame, betapa sulitnya perempuan untuk diakui bukan hanya karena minimnya kuota perempuan di legislatif, tetapi juga karena berbagai stigma sosial yang melekat. Perempuan dinilai bukan dari kecakapan atau visi politiknya, melainkan dari penampilan, status sosial, hingga kehidupan pribadinya.

Contoh nyata terlihat pada banyak kandidat perempuan yang menghadapi cemoohan karena cara berdandan atau status mereka sebagai janda—satu stigma yang seharusnya tidak relevan dalam evaluasi kualitas seorang pemimpin.

Selalin itu, film yang dipadati dengan grafik informatif ini juga memunculkan ragam hambatan psikologis yang dihadapi perempuan dalam kancah politik yang sangat kompleks, di mana banyak dari para kandidat tersebut, merasa suara dan pendapatnya dianggap sepele dan tidak berarti. Ketika mereka berbicara, sering kali disambut dengan sikap sinis, yang menerbitkan keraguan untuk mengungkapkan pendapat.

Tidak berhenti pada realitas itu, film ini juga merumuskan bagaimana publik kerap melempar penilaian terhadap penampilan perempuan, seperti kritik karena pakaian terlalu maskulin, lipstik berwarna mencolok, dan rambut yang dibiarkan tergerai tanpa jilbab. Semua aspek fisik perempuan diolah sebagai bahan perdebatan, yang pada akhirnya menciptakan hambatan mental yang menghalangi partisipasi aktif mereka dalam Pilkada.

Sebuah Rantai Panjang Patriarkisme

“Perempuan Kandidat” menggelarkan persoalan perempuan yang berkorelasi kuat dengan kondisi real perpolitikan Indonesia. Di mana hingga hari ini, politik masih menjadi domain yang sangat maskulin, dengan kuota 30% untuk perempuan dalam parlemen sering kali hanya menjadi sekadar “formalitas” tanpa diiringi dukungan nyata.

Tidak jarang, perempuan dipaksa mengorbankan waktu yang mereka butuhkan untuk rumah tangga, sehingga karir politik mereka menjadi hal yang sulit dikejar. Praktik-praktik politik yang sarat dengan patriarki dan dominasi partai politik menghambat akses perempuan untuk maju dan berkembang.

Sebuah ironi, diungkapkan oleh film ini, betapa posisi perempuan teralienasi sebagimana data statistik pada 2015-2018 menunjukkan bahwa hanya 8,49% perempuan yang mampu menduduki posisi sebagai pemimpin daerah. Realitas ini kian mengisyaratkan bahwa meski ruang politik terbuka, namun hanya segelintir perempuan yang mampu menerobosnya.

Lebih jauh di dalam dokumenter ini juga secara tajam menunjukkan bagaimana kebijakan dan kultur yang patriarkis membuat rantai panjang yang menahan perempuan untuk menjadi aktor politik yang sesungguhnya.

Digawangi oleh Luviana, Pimred Konde.co, ia melakukan penelusuran yang divisualisasikan dalam riset dan B-roll yang akurat. Tokoh seperti Dr. Hj. Yuni Setia Rahayu pun mengungkapkan testimoni. Ia adalah Wakil Bupati Sleman pada periode 2010-2015, yang menceritakan bagaimana ia akhirnya maju sebagai calon Wakil Bupati pertama dalam sejarah tampuk kuasa di Sleman.

Namun, alih-alih dinilai dari kompetensinya, isu-isu fisik seperti rambut coklat dan penampilannya yang tidak mengenakan kerudung lebih banyak disoroti. Setelah memenangkan Pilkada, Yuni memutuskan tampil lebih sopan, meski sebelumnya hanya berkaos, karena menyadari bahwa menjadi tokoh publik menuntutnya untuk menjaga penampilan sesuai harapan masyarakat.

Ketika ia berencana maju sebagai Bupati pada 2015, Yuni menemukan bahwa masyarakat lebih bisa menerima seorang pemimpin perempuan yang mengenakan kerudung—sebuah bukti betapa kentalnya bias budaya dan sosial yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap calon pemimpin perempuan.

Di ulasan lain, Endah Subekti Kuntariningsih, calon Bupati Gunungkidul pada 2015, juga menghadapi cercaan publik terkait statusnya sebagai janda, sesuatu yang seharusnya tidak relevan dalam penilaian seorang calon pemimpin. Kasus-kasus ini menunjukkan betapa tantangan terbesar perempuan bukan hanya dari kompetisi politik, tetapi juga dari masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai patriarki.

Teror di Balik Pemilu

Dalam Pemilu 2024, kekerasan berbasis gender muncul melalui berbagai bentuk intimidasi, terutama terhadap perempuan dan kelompok rentan. Mereka diancam kehilangan hak seperti bansos, beasiswa, kesulitan dalam pengurusan administrasi, hingga dikucilkan secara sosial atau profesional jika tidak memilih calon tertentu.

Kelompok yang aktif mengkritik pemilu, seperti LSM dan pendamping komunitas, juga menjadi target serangan di media sosial, ancaman verbal, hingga kekerasan lainnya. Relawan yang mendukung kandidat berbeda serta petugas pemilu pun tidak luput dari tekanan, termasuk manipulasi suara demi kemenangan kandidat tertentu. Pergulatan itu tak lepas dari mata kamera Konde.co yang diejawantah dalam film ini.

Tak hanya mengungkap data konkret mengenai dinamika politik bangsa, “Perempuan Kandidat” juga berupaya menidentifikasi pengalaman-pengalaman pahit yang dialami perempuan dalam pesta demokrasi. Salah satunya lewat pengamatan Lilis Lisyowati dari Kalyanamitra, yang di film ini mengurai realita kusut yang masih luput dari perhatian, yakni mengenai Pemilu yang inklusif.

Dengan footage-nya yang komprehensif, film ini adalah sebuah ajakan reflektif bagi kita untuk lebih menghargai kapasitas perempuan bukan dari penampilan fisik atau status sosial, tetapi dari kemampuan mereka dalam memimpin dan visi politik yang mereka tawarkan.

Jika ditelaah lewat titik pandang perpolitikan di Indonesia, film dokumenter ini tentu saja penting karena kehadirannya serupa cermin raksasa yang memantulkan perjuangan perempuan yang kerap dituntut beradaptasi dengan harapan dan norma-norma sosial yang masih sangat patriarkal.

Bahwa perempuan tidak hanya harus siap bersaing dalam politik, tetapi juga harus menyiapkan amunisi menghadapi tantangan dari dalam masyarakat itu sendiri –yang belum sepenuhnya mendukung kesetaraan gender.

Dari setiap menitnya, narasi film ini membawa daya gedor agar kita melihat perjuangan politik perempuan adalah perjuangan melawan dua hal: sistem dan kultur. ***

Penulis: Deasy Tirayoh.

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top