Dewi Larasati: di Atas Pelana, Keberanian Berkelana!

Ia duduk tegak di atas kuda, tampak anggun sekaligus gagah yang memancar dalam kendali penuh. Dari sebuah jarak, ia melambaikan tangan mengisyaratkan selamat datang. Usianya menginjak 65 tahun, yang membuktikan bahwa itu hanyalah angka belaka.

Terlahir di Jakarta, ia lantas ikut berkelana ke sejumlah negara di Eropa sejak masa kanak hingga remaja. Ibunya merupakan seorang diplomat, ihwal itu yang membuat ia dan ketiga saudarinya mengakrabi berbagai kegemaran dari negara yang dikunjungi, salah satunya aktivitas berkuda sejak masih di Belanda.

Jatuh Hati pada Kuda

Dewi Larasati, atau yang kerap disapa Tikke. Dalam bincang hangat bersama Puan Indonesia, ia mengaku jika berkuda sudah menjadi irama hidupnya sejak masih kecil. Tak hanya berkuda, bahkan sejak kelas 5 SD ia juga sudah ikut balapan motor, yang terinspirasi dari anak-anak di kampung saat ia dan keluarganya sedang pulang ke Indonesia. 

Membuka bincang soal kuda, mata Tikke penuh binar. Ia antusias menjelaskan bagaimana kuda adalah hewan yang selalu waspada terhadap bahaya. “Ketika merasa terancam, instingnya adalah melarikan diri, bukan melawan. Itu sebabnya kuda disebut sebagai flight animal, bukan fight animal,” ungkap tante dari artis Dian Sastrowardoyo ini. 

Menurut Tikke lagi, kuda berbeda dengan dinosaurus yang memiliki insting untuk bertarung saat menghadapi bahaya, itulah kenapa mereka punah. Kuda lebih mampu bertahan karena insting alaminya. Jika ada ancaman, kuda dengan sigap menyelamatkan diri. Barangkali itulah yang membuatnya terinspirasi dan jatuh hati pada hewan perlambang kegagahan ini.

Perempuan yang berprofesi sebagai pengacara internasional ini punya deretan kegemarannya yang hardcore, ia berprinsip unik: 20 persen hasil bekerja untuk biaya hidup, sisanya menikmati hidup.  Filosofi ini seakan jadi keseimbangan yang ia junjung tinggi, di mana kerja kerasnya harus dihargai sesuai dengan kesenangan yang ia pilih sendiri.

“Saya tahu biaya kesenangan saya mahal, makanya saya kerja keras dan cerdas supaya bisa hidup selaras,” ungkapnya.

Di Balik Kursi Ketum Modern Pentathlon DKI

Di sela kesibukannya sebagai seorang advokat dan melakoni hobi, Tikke juga aktif menjadi Ketua Umum Modern Pentathlon DKI, yakni olahraga yang mencakup lima cabang, yakni lari, renang, anggar, berkuda, dan menembak. Ia terjun ke cabang tersebut karena berangkat dari kecintaanya berkuda sejak lama. Pertama kali ia mulai mendalami modern pentathlon sebelum Asian Games 2018.

Modern pentathlon sendiri adalah cabang olahraga wajib dalam Asian Games, jadi keikutsertaan dalam cabang ini dianggap sangat penting. Sebagai bentuk keseriusan  maka pengurus, atlet, semuanya “dikumpulkan” untuk menjalani pelatihan intensif selama dua bulan di sebuah kamp.

“Proses belajar aturan dan mengikuti ujian agar bisa terdaftar di UIPM, federasi internasional untuk pentathlon. Kami baru saja memperpanjang registrasi hingga Desember 2024,” terang Tikke.

Pengurus DKI sudah berjalan selama empat tahun, dan pada Juli lalu diadakan musyawarah daerah untuk memilih Ketua Umum yang baru. Dan secara aklamasi, nama Dewi Larasati kembali terpilih sebagai Ketua Umum. Meskipun ia sendiri tidak tahu alasan pasti di balik terpilihnya ia mendapuk tanggung jawab itu kembali. 

“Mungkin saja karena mereka belum ketemu sosok lain yang punya semangat segila saya!”

Padahal, bagi Tikke tantangan jadi Ketua Umum itu ada banyak sekali, pertama-tama, adalah soal dana. Dari 2020 sampai 2024, ia secara pribadi sudah mengeluarkan sekitar 1,3 miliar rupiah. Uang tersebut digunakannya untuk mengembangkan para atlet, mengadakan pertandingan, mengurus pelatda, membayar pelatih, sampai urusan-urusan detail seperti membayar tukang pijat dan pegawai administrasi di kantor.

“Gak cuma itu, saya juga harus mendanai berbagai pelatihan, seperti coaching clinic, yang semuanya sama sekali tidak dibiayai oleh pemerintah.”

Menurut Tikke, pemerintah memang belum memberikan perhatian penuh pada cabang olahraga ini. Mungkin karena modern pentathlon adalah olahraga yang relatif baru dan belum masuk ke Pekan Olahraga Nasional (PON), sehingga belum dianggap prioritas.

Saya Menolak Dibayar Murah!

Berkutat dengan klien dari mancanegara, Tikke yang selama puluhan tahun hilir mudik menyelesaikan sengketa kasus internasional ini pun menegaskan prinsipnya dalam bekerja, terutama menyangkut biaya dan layanan. Ia percaya memegang prinsip bahwa semua harus jelas untuk kedua pihak, baik teman, klien, maupun kolega.

“Jadi kalau saya menghadapi klien dari luar negeri yang ingin berinvestasi dalam proyek besar seperti tambang, saya akan pasang biaya yang sesuai. Misalnya, untuk due diligence dengan biaya mencapai $100,000, saya akan menerima. Tapi, kalau dibayar lebih rendah, saya lepas, ungkap lulusan FKH Universitas Indonesia ini.

Prinsipnya adalah ingin memastikan bahwa waktu dan usaha yang diberikan sebanding dengan hasil yang diterima. “Saya percaya penghargaan terhadap profesi hukum harus ditingkatkan, dan prinsip ini membantu untuk menjaga kualitas layanan,” lugasnya.

Dalam menetapkan harga layanan profesi, Tikke menyarankan pada para profesional untuk mempertimbangkan benchmark di pasaran. Jika ada tawaran yang jauh lebih murah dari standar yang berlaku, kecuali dalam keadaan mendesak atau sangat membutuhkan pekerjaan, maka tak ada pilihan. 

“Tempatkan profesimu sebagai sesuatu yang punya nilai yang sesuai dengan kualitas. Percaya dirilah!”

Selaras supaya Waras

Living the moment, Tikke enggan menggalaukan hari lalu atau menggelisahkan hari esok. Baginya keselarasan hidup selalu bermuara pada apa yang dihadapinya sekarang. Bahkan sebelum tren mindfulness muncul, ia sudah hidup dengan prinsip ini, menyerahkan segalanya pada Tuhan.

“Saya berserah, apapun yang terjadi, apakah orang suka atau tidak suka, saya selalu berterima kasih. Jika ada sesuatu yang hilang, saya percaya Tuhan punya alasan, mungkin ada orang lain yang lebih membutuhkannya.” 

Kalau kita benar-benar menyerahkan diri kepada Tuhan, menurut Tikke, maka Tuhan akan bekerja. Sebaliknya, kalau kita hanya mengandalkan kekuatan sendiri, Tuhan akan diam dan membiarkan kita berusaha sendiri sampai kehabisan tenaga. 

“Menyerahkan segalanya kepada Tuhan adalah prinsip yang saya pegang sejak kecil, dan saya tahu itu berhasil.”

Apa itu Kebahagiaan?

Sepak terjang dan rintangan yang berhasil lewatkan, membawa Tikke pada satu pemaknaan tentang bahagia. Ia suka menjalani proses, di sanalah bentuk dari pencarian akan bahagia sesungguhnya. Sebab hidupnya pun tidak mudah, dan sebenarnya tidak ada yang memiliki hidup yang mudah. Namun, kalau kita terus-menerus bermuram durja, itu tidak akan mengubah apa pun, ungkapnya.

“Saya punya saran, khususnya untuk perempuan di Indonesia. Jadi setiap kali bangun tidur, turunkan kaki ke lantai dan ucapkan, Tuhan, aku mau bahagia hari ini. Buat keputusan itu sejak memulai hari.” 

Dengan menerapkan hal sederhana itu sebagai pembuka hari, Tikke biasanya melanjutkan rutinitas, seperti menggosok gigi sambil bernyanyi, membuat kopi dengan senyuman. Bukan tanpa alasan giat itu dilakoninya, sebab menurut Tikke, saat kita menghipnotis diri dengan pikiran positif, tubuh  akan merespon. Semua sel di tubuh serentak bekerja menuju kebahagiaan. 

“Ingat, kebahagiaan adalah keputusan yang kita buat sendiri!” tegasnya***

***Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top