Menjadi Perempuan Di Anadora

Menjadi perempuan di Adonara, NTT, sama sekali bukan soal mudah. “Dari kecil kami diperlakukan berbeda. Suka ngiri sama saudara laki-laki, apa pun yang diminta selalu dikasih sama ortu,” kata Susana Rawaborot @zerainosusana , 39 tahun. ⠀

Ada DNA pemberontak yang mengalir di darahnya, Susana mengakui itu dengan bangga. “Goe (saya) nggak bisa terima perempuan selalu di urutan belakang. Ama (bapak) pukul saya itu biasa.” Lepas SMP, Susana pergi merantau ke Jakarta. Nekad. Dia bekerja di pabrik garment. Om Susana tak sampai hati. Dicarinya sang keponakan, lalu disekolahkan di SMA di Kerawang. Lanjut kuliah di Universitas Komputer, Bandung. ⠀

Lulus kuliah, 2005, Susana kembali ke Adonara. Dia bergabung dengan Pekka, Perempuan Kepala Keluarga, organisasi yang memberdayakan para janda dengan berbagai program saling menguatkan. ⠀
Pada 2006, Susan menikah. Tapi pernikahan tak berlangsung lama, hanya beberapa bulan. Sang suami menikah lagi. “Lebih baik saya hidup sendiri. Lihat ibu-ibu Pekka, mereka kuat dengan segala kesusahan. Goe nggak ada apa-apanya.” Di NTT, poligami adalah persoalan tak berkesudahan. Para lelaki bisa menikah, berapa kali pun, asal dia punya gading untuk mas kawin. Adat, sayangnya, membuka luas praktik poligami. Mendorong perubahan adat adalah hal yang mustahil, setidaknya saat ini. ⠀
Kini, telah 14 tahun Susan bersama Pekka. Di Pekka NTT, 1500-an anggota berbagi kesulitan ekonomi, jeratan utang belis (mas kawin), kerumitan poligami, dan terutama KDRT dengan spektrum yang luas. ⠀

Hal yg paling bikin hepi? “Goe menemukan keluarga di Pekka.” Mimpi yang ingin diwujudkan? “Bawa Ina (mama) jalan-jalan keluar Flores.” 

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top