Jangan Ditunda, Ubah Pola Pikir tentang Kesehatan

Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek adalah Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (2014-2019). Ia adalah ahli ophtalmologi dan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Nila menjadi Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Millennium Development Goals (MDGs) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saya mengawali 2020 dengan menghadiri pertemuan World Health Organization (WHO) Executive Board di Jenewa. Ada banyak hal yang kami bicarakan, termasuk wabah Covid-19 yang ketika itu berpusat di Wuhan, Cina. Lockdown sudah terjadi di sana. Di layar televisi tampak orangorang berdiri di depan jendela apartemen, berteriak saling menyemangati, “Ayo, semangat. Jiayou!” 

Kami yang hadir dalam pertemuan itu merasa galau. Ngenes melihat seisi Kota Wuhan seperti dibekukan. Siapa pun tak boleh ke luar rumah. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus juga tampak risau. Ancaman wabah yang lebih meluas ada di depan mata. Banyak yang menyerukan solidaritas internasional. “Ayo, kita atasi bersama masalah ini,” kata Pak Tedros. 

Seusai pertemuan, saya memperpanjang perjalanan untuk bertemu dengan anak dan cucu yang tinggal di Paris, Prancis. Saat itu Eropa belum terkena pandemi. Kami masih leluasa berkunjung ke berbagai tempat. Ketika pulang ke Indonesia, anak saya berpesan, ”Mama, jangan lupa kalau pulang pakai masker terus.” Jadi, selama berada di pesawat sampai Jakarta, saya tak pernah melepas masker. Walaupun saat itu pemerintah Indonesia belum mengeluarkan protokol kesehatan apa pun. 

Kembali berada di Jakarta, saya kian galau. Kegalauan yang sebenarnya sudah dimulai jauh hari sebelum WHO menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi global. Sebagai Menteri Kesehatan, 2014-2019, saya paham betul dan pernah merasakan bagaimana ketegangan menghadapi situasi wabah di negara sebesar Indonesia. 

Ketika Pandemi Datang, Siapkah Kita? 

Mengenai Covid-19, pada akhir Desember 2019, mulai ada peningkatan jumlah kasus yang awalnya dilaporkan sebagai pneumonia di Wuhan. Endemi sudah terjadi. Ketika itu, seharusnya kita sudah mengecek semua kesiapan. Kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia perlu diperiksa sejak dini. Ada banyak pekerjaan yang bisa dilakukan pada bulanbulan itu: menyiapkan segala sesuatunya

Apalagi Wuhan tak jauh dari Indonesia. Lalu lintas orang, dengan penerbangan, bertukar begitu cepat dari Wuhan ke berbagai kota di dunia, termasuk di negeri kita. Kalau outbreak itu sampai ke dunia, meluas menjadi pandemi, kita juga pasti akan terkena. Lalu, apa yang harus dilakukan? Siapkah kita menghadapi pandemi? 

Dunia kesehatan pun selalu memperbaiki diri. WHO tidak terkecuali. Pada 2014, terjadi wabah ebola di Afrika. Ketika itu, di bawah kepemimpinan Margaret Chan, WHO dianggap bertindak lamban. Kritik menghujani organisasi kesehatan dunia ini. Sebagai respons, beberapa negara berinisiatif membuat perkumpulan dengan nama Global Health Security Agenda (GHSA). Bersama Amerika Serikat dan Finlandia, Indonesia menjadi anggota troika atau kepemimpinan tiga negara untuk GHSA, dan pada 2015-2016 menjadi ketua troika tersebut. 

Sebenarnya, pada 2005, WHO telah mengeluarkan International Health Regulation sebagai legally binding international law yang mengikat negara-negara anggota secara hukum. Namun, karena bentuknya self-assessment, negara-negara itu tidak terlalu mengindahkan. 

Wabah ebola menyadarkan banyak pihak bahwa kerja sama internasional adalah kunci penanganan pandemi. Terutama karena globalisasi membuat penyebaran penyakit dengan mudah terjadi. Amerika Serikat pada saat itu menginisiasi GHSA dengan membuat 11 action packages, antara lain menyangkut komunikasi risiko, penyakit zoonosis (penyakit menular yang menyebar melalui inang hewan), imunisasi, antimicrobial resistance, sistem laboratorium nasional, dan surveilans. 

Amerika Serikat, Finlandia, dan Indonesia dipercaya sebagai Ketua Troika GHSA pada 2015. Saat itu Indonesia sebenarnya telah mempunyai Komisi Nasional Zoonosis yang berada di bawah Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Komisi ini beranggotakan berbagai kementerian serta lintas aktor dengan berbagai latar belakang keahlian. Sayangnya, walaupun Indonesia menjadi Ketua Troika GHSA, komisi nasional ini dibubarkan pada 2016. Sedikit-banyak, hal ini memengaruhi kesiapan Indonesia mengantisipasi kedatangan wabah penyakit zoonosis.

Dalam perkumpulan GHSA ini, Finlandia memiliki ide membuat joint external evaluation. Tujuannya, melihat kesiapsiagaan negara-negara kalau terjadi wabah berdasarkan indikator yang ada dalam International Health Regulation. Dalam pemeriksaan pada 2017, Indonesia lulus dengan nilai 3,5 atau setara dengan 6 atau 7. Tidak buruk, tapi juga tidak terlalu baik. Biasa-biasa saja. 

Para penilai memberi catatan penting bagi rapor kesiapan Indonesia menghadapi wabah. Ada hal yang tidak bisa mereka nilai, yaitu penanganan peternakan yang berada di bawah Kementerian Pertanian. Seperti diketahui, kesehatan bukan semata urusan Kementerian Kesehatan, tetapi juga semua bidang. Apalagi ini penyakit menular yang masuk kategori zoonosis, menyebar melalui hewan. Penanganan dan standar kesehatan di berbagai bidang, termasuk peternakan, sangatlah penting. 

Persoalannya, tak semua pejabat kita paham konsep one health ini, bahwa kesehatan manusia dan hewan sesungguhnya berhubungan sangat erat. Akibatnya, yang terjadi adalah sektoral. Yang bidang pertanian hanya mengurusi beras, yang di bagian peternakan hanya mengurusi daging sapi. Belum ada koordinasi dan sinkronisasi antarlembaga. 

Setelah penilaian eksternal tersebut, kami menindaklanjuti untuk membuat rencana aksi. Keterlibatan berbagai pihak harus dibangun. Walaupun telah diajukan dan proses berjalan sejak 2015, rencana aksi ini baru disahkan pada Oktober 2019, yakni dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang peningkatan kemampuan dalam mencegah; mendeteksi; dan merespons wabah penyakit, pandemi global, kedaruratan nuklir, biologi, dan kimia. Inpres tersebut lintas sektoral, melibatkan 21 kementerian dan lembaga, termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang menjadi motor penelitian.

Apa daya, inpres baru disahkan pada Oktober 2019, pandemi datang pada awal 2020. Tak cukup waktu mengendapkan, membuat semua pihak paham, memantapkan prosedur, dan bersama-sama berkoordinasi menghadapi pandemi. Harus diakui, koordinasi memang barang mahal dan paling susah dilakukan, terlebih bila menyangkut 21 kementerian dan lembaga. 

Belajar dari KLB Difteri 

Mari kita tengok sebentar ke situasi menjelang perhelatan besar Asian Games, Agustus 2018. Waktu itu, sepanjang 2017, kejadian luar biasa (KLB) difteri terjadi. Ada 593 kasus di berbagai kabupaten di seluruh Indonesia. Banyak laporan kasus datang dari DKI Jakarta dan Palembang, Sumatera Selatan, calon tuan rumah kompetisi Asian Games. Saya ingat sekali Presiden Joko Widodo saat itu menelepon saya tiga kali, berkata, “Bagaimana ini, Bu? Kalau wabah difteri ini tidak segera diatasi, bisa gagal nanti Asian Games.” 

Kami tidak diam, tentu saja. Saya berkoordinasi ketat dengan semua jajaran Kementerian Kesehatan, dari pusat sampai daerah. Wabah difteri, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, ini sangat menular. Kita gampang tertular, bahkan bila hanya tanpa sengaja menghirup percikan ludah dari penderita saat batuk atau bersin. Penularan juga bisa melalui pemakaian gelas atau sendok bersama-sama. 

Difteri merupakan penyakit yang dapat dialami oleh siapa saja, terlebih pada kelompok berisiko dan rentan. Besar kemungkinan KLB difteri muncul karena adanya immunization gap. Ada sebagian kelompok masyarakat yang tidak lengkap menjalani imunisasi, sehingga tidak memiliki kekebalan terhadap bakteri ini. Seperti kita ketahui, memang ada kelompok masyarakat yang menolak vaksinasi dengan berbagai alasan.

Fokus penanganan waktu itu kami lakukan di tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Selatan. Pusat wabah bermula di Jawa Timur. Kami meminta Gubernur Jawa Timur saat itu, Soekarwo, cepat melakukan tindakan. Pak Karwo sigap, antara lain menginstruksikan imunisasi massal difteri. Biayanya luar biasa banyak. 

Penting sekali kita mengetahui tata kelola penanganan endemi dan pandemi. Ada langkah-langkah yang harus dijalankan. Perhatian pada detail tata kelola penanganan, yang tidak sedikit, sangat penting. Skill dan perhatian serius pada detail umumnya dimiliki perempuan. Perempuan terbiasa mengatur detail, bukan hanya di rumah tangga, tapi juga di berbagai aspek profesional. Persoalan bukan untuk dihindari, disangkal, atau denial, melainkan untuk diatasi detail demi detail. Demikian halnya dalam penanganan Covid-19. Saya tidak heran menyaksikan negara-negara yang berhasil menangani pandemi, ada tangan perempuan di sana. 

Penanganan wabah difteri waktu itu pun demikian. Semua titik, terutama layanan kesehatan tingkat primer, yakni puskesmas, harus dimobilisasi. Ketika laporan kasus muncul, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah mengungkung virus dengan melakukan isolasi supaya wabah tidak menyebar ke mana-mana. Petugas puskesmas harus berkoordinasi ketat dengan pemerintah di tingkat lokal, kelurahan, dan kecamatan untuk melakukan isolasi. 

Lalu, kami harus melakukan imunisasi difteri ulang atau ORI (outbreak response immunization). Semua hal harus dicek. Apakah sudah ada vaksinnya? Cukup tidak jumlahnya? Semua dihitung ulang. Kami minta Bio Farma memprioritaskan produksi serum untuk imunisasi difteri. Bio Farma siap. Tunda produksi yang lain dan mengerahkan sumber daya pada produksi vaksin difteri. 

Imunisasi difteri ulang dilaksanakan di setiap daerah yang terjadi kasus difteri. Petugas mendatangi sekolah-sekolah yang menjadi target program ORI. Gerak cepat berbagai lini dilakukan. Alhasil, tepat satu bulan sebelum pelaksanaan Asian Games, KLB difteri teratasi. Pemerintah sudah memastikan penyakit tereliminasi. Asian Games berlangsung tanpa kekhawatiran ancaman difteri. 

Persoalannya, tak semua pejabat kita paham konsep one health ini, bahwa kesehatan manusia dan hewan sesungguhnya berhubungan sangat erat.

Profesor Dr. dr. Nila F. Moeloek, SpM(K)

Bayangkan, itu baru satu penyakit menular, yakni difteri yang sudah lebih dipahami cara pengendaliannya. SARSCoV-2, penyebab Covid-19, ini pendatang baru dan masih misterius. Banyak hal yang belum dipahami. Jadi penanganannya jauh lebih rumit dan membutuhkan kesiapan di berbagai lini. Penanganan wabah membutuhkan biaya yang ekstra mahal. Dan, lebih dari sekadar biaya, pandemi ini menuntut kesiapan menghadapi wabah di berbagai lini, terutama di level pelayanan kesehatan primer. 

Kita memang harus selalu siap. Wabah bisa terjadi setiap saat. Jauh pada tahun-tahun sebelumnya, Indonesia juga mengalami beragam wabah penyakit. Flu burung, lalu MERS, SARS, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak sempat terekam media. Kita perlu siap siagakan infrastruktur dan sumber daya manusia. Kalaupun memang tidak ada kasus, paling tidak kita sudah siap. 

Kesehatan Tidak Pernah Berdiri Sendiri 

“Obat cacingan itu semen,” begitu kata suami saya, Farid Anfasa Moeloek, Menteri Kesehatan 1998-1999. Perkataan itu disampaikan kepada Menteri Pendidikan waktu itu, Pak Juwono Sudarsono, yang menanggapi dengan keheranan, “Bagaimana bisa? Apa hubungan cacing dan semen?”

Pak Farid mengajak Pak Juwono untuk sama-sama melihat kondisi sekolah di berbagai lokasi. Tak sedikit yang masih berlantai tanah. “Harus dilakukan penyemenan lantai, Pak. Tidak ada gunanya diberi obat cacing kalau anak-anak masih main di lantai tanah. Tiga-empat bulan kemudian, kena lagi, cacingan lagi,” kata Pak Farid kepada Pak Juwono. 

Begitulah, kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Kementerian Kesehatan tidak bisa bekerja sendirian. Kementerian lain harus terlibat mewujudkan kesehatan masyarakat. Itulah sebabnya, saya dikenal paling cerewet di kabinet 2014-2019. Saya mengajak menteri-menteri lain terlibat aktif dalam membangun kesehatan. Misalnya, puskesmas perlu dilengkapi koneksi Internet. Kami bekerja sama dengan Menteri Komunikasi dan Informatika, Pak Rudiantara. Kami juga bekerja sama dengan Pak Basoeki, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, untuk memastikan pembangunan rumah dan sekolah yang sehat. 

Kerja sama dekat juga kami lakukan bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Lalu lintas di perbatasan, bandara, dan pelabuhan membawa risiko transmisi penyakit. Karena itu, petugas imigrasi perlu memahami dan memiliki protokol pemeriksaan kesehatan. Intinya, pelajaran dari peristiwaperistiwa yang sebelumnya sudah terjadi adalah kita memang tidak boleh santai-santai. Kerja sama antar lembaga dalam membangun kesehatan itu penting sekali. 

Sektor kesehatan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan berbagai sektor. Jika orang tinggal di RSSS (rumah sangat sederhana sekali), dia akan mudah sakit. Kalau sakit, produktivitas terganggu dan secara ekonomi juga akan terganggu. Bagaimana tidak mudah sakit, dengan situasi RSSS, untuk duduk selonjoran saja susah. Tidak ada ventilasi. Belum lagi lingkungan sekitar tidak mendukung. Air bersih tak ada. Kandang ayam masih di depan rumah. 

Kesehatan masyarakat tentu bukan tugas Kementerian Kesehatan saja. Sewaktu bertugas sebagai Utusan Khusus Millennium Development Goals (MDGs), pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kami bersama Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) membuat program Pencerah Nusantara. Kami menempatkan sekelompok anak muda dari berbagai latar belakang, seperti dokter, perawat, dan bagian farmasi, di sebuah wilayah. Mereka ditugaskan mengamati dan mencari solusi meningkatkan kualitas layanan kesehatan primer, yakni puskesmas. 

Nah, di sebuah desa di Karawang, Jawa Barat, tim Pencerah Nusantara melihat salah satu sumber persoalan adalah akses air bersih. Sehari-hari, warga mandi, mencuci, dan buang air di sungai yang warna airnya keruh dan tentu jauh dari sehat. Namun, ketika tim menawarkan bantuan akses air bersih, warga merespons dengan santai, “Kami sehat-sehat saja, tuh, dengan begini saja.” Artinya, ini soal mindset, pola pikir masyarakat. Kesehatan belum dianggap sebagai sebuah hal prioritas. Ini hal yang harus kita ubah. 

Kalau ditanya apakah ini berhubungan dengan kemiskinan, jawaban saya, iya. Jadi penuntasan kemiskinan penting sekali. Saya sangat setuju dengan Pak Jokowi mengenai dana desa. Namun alokasinya harus tepat guna. Misalnya, untuk memperbaiki infrastruktur di desa dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. 

Mengubah mindset dan perilaku membutuhkan peran banyak sektor. Budayawan pun harus terlibat. Isu kesehatan ini harus dikeroyok ramai-ramai. Misalnya, urusan daging yang kita konsumsi. Bersih tidak? Ada kandungan macammacam tidak? Bagaimana sektor peternakan mengawasi hal ini? Bagaimana dengan hasil pertanian? Bagaimana mengawasi pemakaian pestisida dan zat kimia lain? 

Demikian juga ketika kita berbicara tentang Kementerian Kesehatan. Perspektif kita sebaiknya jangan dari sisi kedokteran saja. Kedokteran itu mengobati yang sakit, kuratif. Kita harus melihatnya justru dari sisi bagaimana membuat masyarakat menjadi sehat, preventif. Kementerian Kesehatan bertugas menjaga masyarakat tetap sehat.

Saya beruntung waktu itu sudah ada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), asuransi yang melindung masyarakat. Lalu kami terapkan paradigma sehat dengan berbagai prakarsa, seperti Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) serta Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Tujuannya adalah mengubah perilaku. Ini tugas para pakar komunikasi juga. 

Germas itu termasuk mencuci tangan dengan sabun di bawah air mengalir. Sudah lama kita teriak-teriak tentang hal ini. Sekarang, pada masa pandemi, barulah masyarakat tergugah dan menerapkan cuci tangan. Sampai-sampai, Pak Jokowi juga ikut ngajarin cuci tangan. 

Pandemi, Pelajaran Tak Ternilai 

Melihat perjalanan sejauh ini, menurut saya, pandemi ini memberi peluang di bidang kesehatan, terutama menjadi pengingat penting untuk semua orang: isu kesehatan harus dikeroyok, dikerjakan lintas sektor. Jika hanya sendiri-sendiri, dengan ego sektoral masing-masing, penanganan kesehatan tak akan berhasil. 

Pandemi ini membuktikan bahwa kesehatan masyarakat itu luar biasa penting. Virus corona menimbulkan kerugian ekonomi luar biasa. Semua stuck. Semua berhenti. Pariwisata kosong. Demikian juga hotel dan restoran. Paling sedih mendengar banyaknya pemutusan hubungan kerja. Artinya, kemiskinan kita meningkat lagi. 

Mekanisme dan infrastruktur kesehatan publik juga tak kalah penting. Dari dulu saya sudah tekankan untuk memperkuat puskesmas sebagai penyedia layanan kesehatan primer di Indonesia. Dengan konsep layanan primer, maka harus ada orang yang proaktif keluar dan berkeliling untuk mendatangi keluarga-keluarga. Jadi, dokter dan tim puskesmas menjaga kesehatan dengan pendekatan keluarga. 

Kita pun sudah melakukannya sebagai bagian dari program Indonesia Sehat. Di Jakarta namanya “Ketuk Pintu Layani dengan Hati”. Ada 12 indikator kesehatan keluarga yang harus dicek, antara lain bayi mendapat ASI, bayi mengikuti imunisasi standar lengkap, balita mendapat pemantauan pertumbuhan, dan adanya akses air bersih. Kami sudah menganalisis program ini. Ternyata memang puskesmas yang paling efektif melakukan intervensi kesehatan sesuai dengan indikator-indikator tersebut. 

Program Pencerah Nusantara, yang akhirnya diadopsi oleh Kementerian Kesehatan menjadi program Nusantara Sehat, juga bertujuan menguatkan layanan kesehatan primer ini dengan intervensi berbasis tim. Program ini dilakukan di daerah-daerah terpencil di perbatasan dan kepulauan. Sebuah tim kesehatan, dari dokter hingga ahli laboratorium, dikirim dan bertugas selama dua tahun. Setelah dua tahun, kita menilai ada perubahan dari masyarakat karena ada intervensi penguatan puskesmas. Pendekatan berbasis komunitas dan keluarga, yang dilakukan puskesmas, terbukti efektif.

Menurut saya, pencegahan penyebaran Covid-19 bisa dilakukan dengan menguatkan layanan kesehatan primer. Puskesmas memiliki data lengkap masyarakat, seperti case tracing, siapa yang tes, serta siapa yang memiliki penyakit penyerta yang berisiko. Pengendalian penyebaran Covid-19, yang kuncinya adalah tracing, test, dan treatment, akan lebih efektif dilakukan oleh puskesmas-puskesmas yang kuat. 

Harus kita akui, pandemi Covid-19 begitu kompleks dan menantang karena tidak mudah ditangani. Seandainya berada dalam pemerintahan saat ini, saya pun belum tentu bisa menangani dengan baik. Ada begitu banyak hal yang baru. Masih belum dikenali apa itu Covid-19 dan perwujudannya. Belum lagi efeknya yang menjangkau semua sendi kehidupan. Semua serba kompleks. Kita perlu rendah hati dan terus belajar menghadapi pandemi ini. 

Dalam situasi seperti ini, menurut saya, justru sangat penting untuk bersikap apa adanya, tidak menutupi apa pun, termasuk kesulitan dan tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, masyarakat mau kita ajak sebagai bagian dari penanganan wabah yang holistik. Penting untuk menyiapkan infrastruktur kesehatan yang siap menghadapi wabah. 

Saya pun berharap akan tumbuh kesadaran pentingnya kesehatan di masyarakat. Saya ingin masyarakat yang bersuara menyampaikan: saya ingin kesehatan saya dijaga oleh puskesmas yang kuat, yang aktif memperhatikan dan menjaga kesehatan keluarga-keluarga kami. 

Jakarta, November 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top