Perempuan pertama yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia pada Oktober 2014. Kemudian, pada 2019, Retno kembali dilantik menjadi Menteri Luar Negeri RI pada masa jabatan Presiden Joko Widodo yang kedua. Lulus pada 1985 dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, beliau juga mengambil beberapa program studi lain, yaitu “Undang-Undang Uni Eropa” di Haagse Hogeschool di Den Haag dan “Studi Hak Asasi Manusia” di Universitas Oslo.
Pandemi Covid-19 telah mengubah seluruh tatanan hidup manusia, termasuk dalam pelaksanaan diplomasi dan politik luar negeri kita. Para diplomat, termasuk saya sebagai Menteri Luar Negeri, yang biasanya melakukan negosiasi dan pertemuan dengan bertemu langsung (in person), selama masa pandemi, harus mengubah kebiasaan tersebut. Negosiasi dan pertemuan virtual pun menjadi makanan seharihari. Memang tidak mudah, namun misi tetap harus berjalan.
Bukan saja penyesuaian bentuk pertemuan, selama masa pandemi, para diplomat juga harus bekerja cepat, tanggap, dan inovatif. Bahkan harus menangani banyak isu yang biasanya tidak ditangani oleh para diplomat, seperti masalah vaksin dan obat-obatan.
Namun, ada yang tak berubah, roh dari misi diplomasi, antara lain, untuk melindungi manusia, untuk melindungi warga negara. Saya masih ingat, pada Januari 2020, para diplomat kita bekerja keras untuk mengevakuasi ratusan warga negara Indonesia (WNI) dari Provinsi Hubei, dengan Ibu Kota Wuhan. Ini bukan tugas yang mudah.
Proses evakuasi selalu memiliki tantangan yang besar. Biasanya, para diplomat mengevakuasi WNI dari wilayah konflik atau bencana alam. Kali ini evakuasi dilakukan dari wilayah yang terkena virus yang menerapkan total lockdown.
Tantangan lain adalah WNI yang harus dievakuasi tak berasal dari satu titik, tapi lebih dari sembilan titik. Semua WNI tersebut harus sampai di Bandar Udara Wuhan dalam waktu yang tidak jauh berbeda karena harus dihitung dengan jadwal ketibaan pesawat dan lain-lain.
Seluruh proses kami hitung dengan matang. Saya langsung memimpin semua penghitungan ini. Dari kapan tim evakuasi Beijing bergerak dan masuk ke Hubei, kapan para WNI mulai digerakkan dari masing-masing titik, hingga koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk meminta beberapa kerja sama dan fasilitasi (karena status lockdown). Kami juga menghitung betul kapan pesawat harus berangkat dari Jakarta, kapan tiba di Wuhan, juga kapan mendarat kembali di Indonesia. Semua pergerakan tersebut terus saya pantau dari menit ke menit.
Kalau ditanya ihwal situasi saat itu, sulit digambarkan betapa hectic dan waswasnya kami karena misi evakuasi ini tidak boleh gagal. Hal yang membuat saya tenang adalah tim yang solid. Sekali lagi, tim yang solid.
Sebagai perempuan, kadang pertanyaannya terlalu detail. Salah satunya apakah para WNI yang sudah tiba di Bandara Wuhan telah memperoleh makanan atau belum. Buat saya, daya tahan mereka harus kuat agar mereka tidak sakit.
Setiap rencana dibahas langsung dengan Presiden. Kami juga melakukan perbandingan dengan para menlu negara lain yang juga akan mengevakuasi warga negaranya.
Sementara itu, persiapan untuk menerima WNI di Indonesia juga tidak kalah serunya. Bersama berbagai kementerian dan lembaga serta stakeholder lain, persiapan kilat pun dilakukan. Walaupun sifatnya kilat, persiapan tidak dapat dilakukan serampangan, mengingat evakuasi dilakukan dari wilayah yang terkena virus.
Komunikasi khusus juga harus dilakukan dengan masyarakat daerah di sekitar lokasi karantina. Langkah ini dilakukan untuk memberikan pemahaman bahwa para WNI tersebut adalah orang-orang yang sehat dan sudah melakukan pemeriksaan ketat sebelum dievakuasi. Ini dilakukan untuk memberikan rasa “aman” bagi masyarakat setempat.
Alhamdulillah, Allah melindungi kami semua. Semua WNI yang kami evakuasi tiba dengan selamat di Natuna. Selama karantina pun setiap hari saya melakukan kontak dengan tim di lapangan, termasuk tim penjemput (termasuk diplomat), yang juga harus menjalani karantina 14 hari. Dari urusan WC hingga urusan makanan, semua menjadi perhatian.
Alhamdulillah juga, setelah menjalani karantina sekitar 14 hari, semuanya dapat kembali ke keluarga masing-masing dalam kondisi sehat. Semua dapat dilakukan karena kerja sama. Jadi, kuncinya adalah kerja sama.
Evakuasi kedua yang harus kami lakukan selama masa pandemi adalah evakuasi 68 WNI dari kapal Diamond Princess yang berlabuh di Yokohama pada 1 Maret 2020. Proses ini juga bukan proses yang mudah. Kami berkoordinasi secara erat dengan berbagai pihak di Indonesia dan otoritas Jepang, juga dengan para anak buah kapal kita. Koordinasi dengan pemerintah Jepang, termasuk dengan Duta Besar Jepang di Jakarta, dilakukan secara intensif. Sangat sering saya lupa bahwa jam telah menunjukkan tengah malam.
Alhamdulillah lagi, evakuasi berjalan lancar. Mereka menjalani masa karantina di Pulau Sebaru sebelum pulang ke daerah masing-masing.
Semoga vaksin dapat segera diproduksi secara massal dalam waktu tidak terlalu lama lagi.
Retno L.P. Marsudi
Selain melakukan evakuasi, para diplomat bekerja keras untuk memfasilitasi repatriasi mandiri para WNI yang pulang ke Indonesia dari luar negeri. Jumlahnya cukup banyak, dengan proses yang cukup kompleks. Per 11 Agustus lalu, WNI yang kembali ke Tanah Air sejumlah 13.464 orang. Mereka berdatangan dari 57 negara. Tantangan yang sangat khusus dalam proses ini adalah terhambatnya konektivitas karena banyak negara menerapkan lockdown atau semi-lockdown. Jadi, mendapatkan penerbangan pulang juga sangat susah atau malah tidak mungkin di sebagian negara.
Para diplomat, selain membantu repatriasi, membagikan beberapa bahan pangan dan paket kesehatan di berbagai negara untuk WNI. Per 11 Agustus lalu, 529.366 paket pangan dan kesehatan telah dibagikan kepada WNI. Sebagian besar dibagikan di Malaysia. Saya merasa sangat terbantu oleh kerja sama yang sangat baik dengan pemerintah Malaysia. Komunikasi saya dengan Menlu Malaysia mungkin merupakan yang tersering pada saat itu.
Pembagian paket lebih dari setengah juta buah tentunya bukan angka yang kecil. Apalagi dilakukan di tengah situasi yang penuh keterbatasan, baik keterbatasan barang maupun keterbatasan gerak. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang membagikan paket sebanyak itu kepada warga negaranya di luar negeri. Kami semua merasa memiliki energi tambahan karena tugas ini, tugas untuk melindungi, memang harus ditunaikan dengan baik.
Selain yang berkaitan dengan perlindungan WNI, para diplomat Indonesia harus bernegosiasi dan ikut berburu keperluan kesehatan yang diperlukan. Pada awal-awal masa pandemi, semua peralatan kesehatan dalam kondisi serba terbatas, dari masker, sanitizer, alat pelindung diri (APD), hingga ventilator. Maka, komunikasi per telepon hampir tiap hari saya lakukan dengan banyak sekali menteri luar negeri untuk menjalin kerja sama, seperti dengan Menlu Singapura, Korea Selatan, Australia, Kanada, dan Jepang.
Pandemi ini sifatnya lintas batas, tidak mengenal negara. Oleh karena itu, hanya melalui kerja sama diharapkan akan membantu penanganannya.
Saya masih ingat sekali terdapat satu titik saat persediaan APD kita berada pada titik kritis. Melalui negosiasi intensif dengan pemerintah Korea Selatan selama lebih-kurang tiga hari tiga malam, pada akhirnya kami dapat mencapai kesepakatan dengan Korea Selatan dan mendapatkan 110.000 APD. Pada awal negosiasi, saya berpikir ini “mission impossible”. Namun alhamdulillah, hubungan baik kita dengan Korea Selatan membuat kita berhasil mendapatkan 110.000 APD saat persediaannya dalam kondisi kritis.
Negosiasi dan komunikasi per telepon juga sangat intensif dilakukan untuk mengejar ketersediaan obat-obatan yang dapat meringankan penderita Covid-19 serta vaksin. Kami berusaha membantu dari akses untuk mendapatkan obat-obatan, juga meminta kebijakan khusus pengadaan bahan baku obat. Untuk obat-obatan, saat ini kita memiliki ketersediaan obat yang jauh lebih baik dibanding pada awal masa pandemi.
Sementara itu, untuk vaksin, kita masih terus menjalin kerja sama dengan beberapa pihak sambil terus mengembangkan vaksin nasional kita, vaksin Merah Putih. Semoga vaksin dapat segera diproduksi secara massal dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Saat menulis tulisan ini, saya juga masih membantu memastikan kerja sama dengan pihak luar untuk mengakses vaksin secara tepat waktu dan dengan harga terjangkau.
Saya dan kita semua banyak belajar dari pandemi ini. Kita harus tekadkan niat untuk bisa membangun sebuah kemandirian nasional yang kuat, termasuk di bidang kesehatan dan industri farmasi. Dengan penduduk yang besar seperti Indonesia, langkah yang sudah dimulai untuk membangun kemandirian ini jangan sampai surut. Kita juga belajar dari pandemi ini bahwa kesatuan di antara kita sangat diperlukan guna mengatasi masalah. Semoga pandemi ini segera berlalu.
Jakarta, Agustus 2020