Semua Berduka, tapi Saya Mau Menangis dengan Cantik!

Catatan Puan: Pratiwi Juliani

“Saya pun bertekad memberi ruang bagi keduanya:
hatiku yang berduka, dan hatiku yang berjuang untuk kembali berbahagia!”

Pratiwi Juliani

Ia meneguk kopi, lalu memastikan warna lipstiknya tetap on point di kaca spion. Ia membenarkan posisi kemudi. “Let’s started for your lucky day, Pratiwi Juliani!” seruan penyemangat untuk memulai perjalanan.  Selanjutnya ia hanyut bersama musik jazz, lawas, hingga lagu India sepanjang jalan. Demikian ritual yang dilakoni saat berangkat bekerja, tepat setelah satu bulan Richard Oh, meninggal dunia.

Richard Oh wafat pada 7 April 2022 akibat serangan jantung. Semasa hidup, ia dikenal sebagai seorang aktor, sutradara, sekaligus habitus sastra yang memelopori Khatulistiwa Award.

Sebulan pasca memakamkan suaminya di Tapin, Kalimantan Selatan, Pratiwi Juliani memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Saat menunggu penerbangannya di bandara Syamsudin Noor, ia duduk dalam gamang. Dari balik kacamata hitam, ia menangis. Tanpa henti, tanpa suara. Seorang di kursi lain menyadari kesedihannya, mendekati lalu menyodorkan tisu. Ia meraih.

“Kamu tahu, nangis pun kamu cantik lho!” Ucapan renyah itu disambut senyuman.

Untuk pertama kalinya Pratiwi Juliani tersenyum setelah berminggu-minggu berkubang duka. Kebahagiaan sederhana yang merasuk spontan dan terasa tulus. Di momen itu juga, seketika ia melihat dirinya sudah terbagi dua: satu ingin ikut mati bersama kekasihnya, satu lagi ingin bertahan hidup.

“Saya pun bertekad memberi ruang bagi keduanya: hatiku yang berduka, dan hatiku yang berjuang untuk kembali berbahagia!” teguh perempuan yang akrab disapa PJ itu.

PJ kembali ke rumah, menyongsong kesempatan hidup keduanya sebagai seorang single, tanpa pasangan lagi. Asing dan memilukan. Satu kondisi terberi yang tak bisa dijungkirbalikkan. Ia pun berlatih dengan satu sisi hati yang perlu bertahan. Dalam perjuangannya itu, sekali waktu, ia masih ingin mengomeli mendiang suami.

“Bajingannya kamu, Sayang! Tega sekali meninggalkan saya selama-lamanya. Ya, selamanya!” 

Mengenang sosok sang suami akan selalu jadi cerita manis. Sejatinya pertemuan keduanya berawal dari hal konyol di tahun 2017. Richard saat itu akan menuliskan pengantar untuk kumpulan cerita pendek PJ. Namun siapa sangka, tanggapan lelaki itu setelah membaca tiga halaman pertama: What you wrote is nothing more than shit. Sontak PJ syok, meski setelah itu menyadari komentar tersebut benar juga, “Tulisan awal saya memang kayak taik”.

Bukan PJ jika tak membela diri, menyodorkan ruang debat. Lelaki berkacamata itu makin kesal dan mencapnya sebagai si keras kepala. Singkat cerita, Richard pun terus mengajari PJ teknik menulis, dan memberinya waktu dua bulan untuk merumuskan ulang semua cerita pendeknya. Dan itu berakhir luar biasa: untuk bukunya dan untuk hubungan mereka.

Kecerobohan Berujung Gembira

Menjadi penulis adalah rangkaian pergulatan dari keberanian dan kejutan. Demikian yang dilintasi oleh PJ. Cerita berangkat dari sebuah keputusan sederhananya pada tahun 2017.  Saat itu, ia masih di Kota Rantau Kalimantan Selatan, ada sebuah kelas menulis memantiknya untuk turut serta. Padahal ia sama sekali belum pernah menerbitkan naskah atau menulis secara serius. Antusiasmenya pun cukup terjaga, dari 20 orang yang mendaftarkan diri di awal kelas, hanya 3 orang yang bertahan, dan hanya ia yang merampungkan tugas akhir.

Dari kelas itu, draft yang menjadi cikal bakal novel “Dear Jene” pun siap terlahir.

Selang setahun, draft itu masih bercokol dalam laptopnya. Karibnya yang mengetahui karya tersebut tak ayal menginisiasi tantangan baru: “Kirim ke seleksi UWRF!”. Ia tidak sepenuhnya percaya diri jika karya itu bisa dikatakan layak, maka terbersit untuk mengirimkan cerita pendek yang baru saja.

Voilaaa! Nama Pratiwi Juliani terpampang sebagai satu-satunya penulis novel yang karyanya lolos dari kurasi ketat. Tapi tunggu, kok novel? Sebuah kecerobohan yang berujung gembira, rupanya draft file yang dilampirkannya bukan cerpen melainkan “Dear Jane”. Draft novel yang menampung aneka tokoh dengan keragaman karakter. PJ menjuluki pergumulan karakter dalam karya fiksinya itu sebagai unreliable character.

Membayangkan tulisannya bisa dikurasi oleh Leila S Chudori dan Putu Fajar Arcana, sudah membuatnya berdebar, terlebih ternyata karyanya mendapat ruang apresiasi dan diganjar tiket sebagai Emerging Writers di UWRF 2018. Sejak itu, ia makin tahu bahwa keberanian selalu menemukan jalannya.

“Ya! Kita masih punya PR mendasar, karena masih sering dijumpai rasa ingin mengungguli satu sama lain. Belajar tepuk tangan saat perempuan lain naik podium. Tepuk tangan nggak sesusah itu!”

Hingga saat ini PJ masih menulis dan melahirkan karya sastra, bahkan ia juga merambah ke sinematografi sebagai penulis naskah, satu keberanian yang membuatnya bergumul dengan tantangan demi tantangan. Dengan menulis ia menemukan wahana ekspresi, menuangkan ide kreatif dan gagasan kritis tentang pergulatannya dengan apa saja.

Baginya, menciptakan karya bagus, berarti menggerakkan dunia ke arah positif. Besar atau kecil, penulis perlu menyadari kalau dirinya memiliki andil atas arah perkembangan kehidupan. Atau dengan kata lain, karya yang diciptakan bukan sekadar untuk menghibur, tetapi juga memicu pembaca untuk berpikir.

Selain itu, sebagai penulis perempuan, PJ juga memberi catatan bagi penulis perempuan lainnya  mengenai tantangan yang perlu ditaklukkan bersama. “Ya! Kita masih punya PR mendasar, karena masih sering dijumpai rasa ingin mengungguli satu sama lain. Belajar tepuk tangan saat perempuan lain naik podium. Tepuk tangan nggak sesusah itu!”

PJ juga menyadari, jalan yang ditempuhnya masih akan panjang. Tidak gampang,tapi dunia menulis sudah menjadi pilihannya. Dan kabar baiknya, menjadi penulis membuatnya berjumpa dengan kesempatan hebat, salah satunya bertemu belahan hati merangkap guru yang meninggalkan duka kehilangan, sekaligus kekuatan baru.

Sembuh dari Duka?

Jika ada yang memilih menulis sebagai lahan pemulihan atau pengalihan. Rasanya pilihan demikian tidak ditempuh oleh perempuan kelahiran Amuntai ini. PJ selalu memisahkan emosi dan tulisannya. Meski tentu saja ia dapat memahami jika setiap penulis atau seniman, kerap bekerja dalam ikatan emosional yang dalam dengan diri sendiri.

“Tentang duka, kebahagiaan, pencerahan, adalah pengalaman emosional. Berhenti di sana. Saat menuliskannya, pergulatan itu harus diolah dengan pertimbangan matang, dan emosi tidak boleh terlibat. Itu bisa jadi celah bias, luar biasa bias!” jelasnya.

Aktivitas menulis tidak lantas menjadi ajang eskapisme untuk mengalihkannya dari situasi emosional.  Bagian dari upaya PJ untuk pulih justru adalah dengan mencari pengobatan. Bahwa ada ungkapan jika luka adalah perkara meloloskan diri dengan membiasakan dengan rasa sakit. Baginya, membiasakan diri pada rasa sakit bukan berarti kita akan berada dalam penderitaan sepanjang masa.

“Oke, mari saya ceritakan soal dari mana kekuatan baru itu muncul!” sergahnya sembari menuangkan koktail strawberry racikannya. Segar dan merah.

PJ mengaku kalau ia tidak akan pernah sembuh dari duka itu. Ia hanya lebih kuat. Satu ketika ia bepergian dengan kereta api, seorang ibu di sebelahnya tak henti menangis.

“Ibu itu bilang begini: Saya nggak biasa pisah sama cucu. Saya pun membatin, Well suami saya meninggal. Tapi saya menghiburnya. Saya sendiri kadang kaget saya sudah sekuat ini.” Kalimat PJ terdengar meyakinkan, lalu koktail di gelas kedua disodorkannya.

Ketika pertanyaan sampai pada apa yang menjadi alasannya merantau dan bertahan di Jakarta? Jawabannya: cuma nekat.  Pesannya buat perempuan di luar sana, nekat saja! Ia menyerukan itu dengan lantang dan senyum yang lebar.

Ya, tak bisa ditampik jika spirit yang terpancar dari PJ adalah kepercayaan diri. Ia tampak kian kuat dengan menggegam keyakinan kalau energi dari keberanian bisa menarik peluang, dengan catatan harus mau berjuang.

Soal berjuang untuk bangkit, PJ menjabarkannya dengan lugas. Ia tak mau terjebak dalam melankolia yang hanya memerangkap energi serta potensi dirinya ke dalam praktik-praktik yang kurang rasional. Ketika ditanya apakah ia punya tontonan atau bacaan yang bisa disarankan bagi perempuan lain yang butuh tips menghalau duka. Ia merasa kurang yakin apakah pilihannya bisa dijadikan panutan.

Sebab, ia membaca esai agama dan sains serta menonton dokumenter kriminal. Bahkan kalau insomnia menyerang, ia tidak membaca buku meditasi melainkan bergegas mencari pertolongan psikiater demi mendapatkan resep obat tidur. Pasalnya, ia percaya kalau deep sleeping is great medicine.

Jika sedih, PJ akan pergi ke restoran, museum atau berdandan. Ia mengaku masih sering menangis, tapi ia punya opsi untuk merilis lara, adalah dengan meneteskan air matanya di restoran sambil makan seafood, dengan buku seni dari museum di tangan dan maskara tebal di mata. Kesedihan yang ditumpahkan tentu terasa berbeda. Dramatis dan independen dalam satu waktu.  

“Coba deh sesekali. Mungkin ini bukan jawaban yang memuaskan. Tapi catat saja, siapa tahu berhasil untukmu kapan-kapan,” ujarnya seraya menunjukkan koleksi kuteks. “Nih, warna maroon cocok buatmu,” tambahnya.

Kalimantan, Kucing dan Jakarta

Bagaimana dengan kota kelahiran? PJ menempatkan Kalimantan Selatan sebagai tempat ternyaman untuk pulang, karena manusia tumbuh setiap saat. Ia merasa masih bertumbuh hingga hari ini.

“Lucu juga memikirkan betapa dulu saya merasa kota kelahiran tidak cukup untuk menampung semua kegelisahan masa remaja, kemudian saya pindah ke kota besar berharap kegelisahan itu akan reda. Dan sekarang saat saya gelisah di kota besar, saya pulang ke kota kelahiran untuk meredam kegelisahan. Ternyata kegelisahan bukan perkara tempat, tidak pernah soal tempat,” bebernya sembari memberi makan kucing-kucingnya.

Di rumahnya di bilangan Jakarta Selatan, PJ ditemani dua ekor kucing, serta sesekali beberapa kucing tetangga yang kerap datang. Satu di antara kucing miliknya bernama Salvador, serupa dengan nama tokoh dalam novelnya.

“Saya merasa kucing lebih mirip saya, di mana kami punya batasan dan asik sendiri. Fokus pada tujuan! Panjat saja pohon itu setinggi-tingginya, turun urusan nanti.”

Di sela mengurusi kucingnya, pertanyaan tentang apakah ia cukup betah berada di Jakarta pun terlayang. Seketika PJ mengerutkan dahi lantas mengakui jika terkadang, Jakarta terasa seperti toxic relationship baginya. Kemudian ia menyajikan analogi.

“Kota ini seperti kau pergi berkencan dengan cowok super kaya yang bisa memberimu apa saja, tapi tentu saja ada harganya. Saat ini saya masih menikmatinya, sih. The way Jakarta hit me and then made my dreams come true? Uh, I love it!” ungkapnya.

Hari sudah malam, sebelum pamit saya sempatkan untuk bertanya, apa arti rumah bagi seorang Pratiwi Juliani. Tanpa pikir panjang ia lantas menimpali: tempat di mana saya merasa dicintai.

Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top