Bermula dari Kota Tanpa Toko Buku

A society has no chance of success if its women are uneducated.” Kutipan dari buku A Thousand Spelindid Suns itu membuat Ama Gaspar dirundung kegelisahan. Ia tak bisa membayangkan masa depan komunitas di kampung halamannya yang tumbuh tanpa toko buku—sebagai salah satu sumber pendidikan.

“Kenapa tak ada satu pun toko buku berdiri di sini?” benak Ama bergejolak. Bulat matanya memandang laut, menenggelamkannya pada satu kenangan.

“Ayah bahkan harus mengarungi lautan ini terlebih dulu kalau aku ingin membaca sesuatu.”

Semasa kanak, Ama terbilang beruntung memiliki orang tua yang senantiasa mendukungnya menyalurkan minat pada sastra. Tak ayal, ia kerap menerima cenderamata berupa buku sastra, buku cerita, atau majalah tiap kali sang ayah berdinas ke luar kota. Begitu buku tuntas dilahap, ayahnya pun tekun mendengar celotehan Ama soal pembacaannya.

Kendati demikian, bukan berarti orang tua Ama serta merta mendukungnya berkarier di bidang kepenulisan. Kalau dipikir kembali, barangkali itu adalah respons yang wajar sebagai keluarga yang tinggal jauh dari Jakarta lagi tak punya akses pada dunia sastra.

Perempuan kelahiran Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, itu pun diterbangkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, untuk melanjutkan studi. Ia menekuni bidang Teknik Elektro; tidak sejurus dengan minatnya pada sastra, yang sudah tumbuh sejak duduk di bangku SD usai mendengar puisi Karawang Bekasi.

Dalam perjalanannya, Ama tak pernah terpisahkan dari sastra. Keberadaan toko buku di sana justru membuatnya semakin leluasa bermesra-mesraan dengan sumber bacaan. Buku-buku seperti Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi dan Little Women karya Louisa May Alcott ia baca, membuat kerinduannya pada kata-kata cukup terpuaskan.

Bermesraan dengan Kesusastraan

Memang, kemelekatan di antara Ama dan sastra tidak seberapa. Hubungannya sempat renggang bila dibandingkan dengan saat dirinya berada di kampung halaman. Kesibukan perkuliahan dan lingkungan pertemanan yang berkutat di bidang teknik jadi alasannya.

Usai merampungkan pendidikan, Ama bahkan sempat mendaftar bekerja di sebuah kantor milik negara. Namun, itu semua dilakukan bukan karena kehendak nuraninya, melainkan untuk menyenangkan orang tua.

Singkat cerita, Ama memutuskan untuk kembali ke Banggai. Saat itulah, tulisan demi tulisan mulai ia torehkan di fitur notes di akun Facebook juga Twitter. Ini ia lakukan bukan sekadar untuk menyalurkan hobi, melainkan juga menjadi terapi.

Baginya, menulis adalah ruang aman untuk menuangkan pikiran-pikirannya yang tak leluasa bila harus disampaikan secara lisan.

“Kata-kata menjadi penyelamat yang tak menuntut. Dengan menulis, saya merasa terlindungi—jauh dari tangan-tangan yang mencoba menyakiti,” ungkapnya.

Ama pun kian rajin berselancar di internet. Kebiasaan itu membuat cakrawala dunia sastranya semakin luas. Ia mulai berjejaring dengan orang-orang yang punya ketertarikan sama dengannya, juga menggali informasi mengenai festival-festival sastra—termasuk Emerging Writers.

Bukan sekadar mencari tahu, perempuan kelahiran September 1981 itu memberanikan diri mengirim puisinya ke Emerging Writers Makassar International Writers Festival 2014. Tidak disangka, ia lolos seleksi. Dari sinilah, Ama kian melek dengan dunia sastra.

Ia bahkan sukses melahirkan sederet karya, salah satunya Keterampilan Membaca Laut. Sesuai dengan identitas kampung halamannya yang tanpa buku; sang penyair menyulap laut sebagai media penggambaran akan kesedihan lagi kekecewaan yang dirasakan seseorang dalam bait-bait puisi.

Gelisah Berujung Festival Sastra

Ama kecil sedianya tak terlalu ambil pusing soal kampung halamannya yang sama sekali tidak memiliki toko buku. Namun, begitu dirinya berkecimpung lebih dalam dengan dunia sastra, ia sadar bahwa itu sebenarnya adalah bentuk ketidakhadiran pemerintah daerah dalam kerja-kerja kemanusiaan untuk literasi, pendidikan, dan kebudayaan.

Realita itu mulai menggaruk nurani Ama dengan dahsyat, hingga lahirlah sebuah kerisauan yang hebat. “Menjadi emerging writers MIWF pada 2014 adalah waktu di mana kegelisahan itu mulai intens. Saya merasa sendiri di kota tanpa toko buku ini,” ungkapnya.

Semesta membersamai takad Ama; sebab ia pun dipertemukan dengan Ali Sopyan, Resky Sululing, Yanti Malale, Wahid Nugroho, dan Jati Arsana. Pada perjalanannya, mereka sepakat berjumpa di sebuah kedai kopi. Obrolan antar-kawan itu tidaklah berat. Barangkali semirip penggalan lirik Sal Priadi: mesra-mesraannya kecil-kecilan dulu.

Langkah demi langkah mereka selaraskan, hingga terpancang sebuah fondasi kecil bernama Babasal Mombasa. Doa yang disemogakan Ama dan kawan-kawan dengan lahirnya komunitas tersebut ialah, “Kami ingin merangkul semuanya (tiga suku di Banggai: Balantak, Banggai, dan Saluan) dalam satu simpul.”

Kegiatan yang dilakukan komunitas itu mulanya juga berangkat dari hal-hal kecil. Babasal Mombasa mulai menunjukkan eksistensinya dengan mengadakan malam puisi di taman, piknik buku di RTH Teluk Lalong, dan membuat seminar budaya.

Kegiatan tersebut terus berjalan hingga Babasal Mombasa berusia dua tahun. Selepas itu, Ama dan kawan-kawan mengumpulkan keberanian untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Bermodalkan nyali sepanjang jari telunjuk, mereka akhirnya menggelar Festival Sastra Banggai (FSB) pertama pada 2017.

“Saya dan kawan-kawan mulai mengadvokasi dan mengenalkan gagasan tentang kerja-kerja kemanusiaan untuk literasi, pendidikan, dan kebudayaan ini. Mengajak orang lain memiliki kesadaran bahwa ini adalah tanggung jawab kita semua, memberi kontribusi untuk hal-hal penting di mana pemerintah tak hadir,” jelas Ama.

FSB memang sukses memperpanjang usianya sampai setengah dekade. Namun, bukan berarti jalannya mulus-mulus saja. Ama masih harus berusaha sedemikian rupa guna mempertahankan keberlanjutan festival. Masalah finansial, ketahanan kawan-kawan untuk bergerak sebagai relawan, dan advokasi ke pihak-pihak terkait terus ia upayakan dari tahun ke tahun.

Melelahkan, memang, namun Ama yakin akan selalu ada jalan untuk kerja-kerja yang mereka lakukan. Karena itulah, ia berani memupuk harapan. Ia berharap Babasal Mombasa—sebagai rumah FSB—dan FSB sendiri akan terus berlanjut, membangun ekosistem literasi, kesastraan, dan kebudayaan di Banggai Bersaudara.

Ia Rapuh, Ia Tangguh…

Selaku salah satu pendiri FSB, barangkali tidak sedikit yang menggambarkan Ama sebagai sosok wanita tangguh. Namun, ia sendiri merasa kurang sepakat dengan deskripsi dirinya yang begitu.

Beberapa orang memang melihatnya sebagai sosok yang tak gentar, namun sebagian lain memandangnya seperti sosok yang rapuh. Kombinasi inilah yang membuat Ama mengecap dirinya sebagai “perempuan yang rapuh, tapi tak pernah gentar.”

Ama merasa masih ada sederet tantangan yang menantinya di masa depan. Pekerjaan rumah terbesarnya sebagai perempuan penulis adalah meretas dominasi lelaki. Ia bertekad membawa karya-karya penulis perempuan hingga memiliki tingkat keterbacaan yang setara dengan hasil tulisan kaum adam.

“Di negeri yang lekat dengan patriarki dan maskulinitas yang tebal, menjadi perempuan penulis adalah memasuki hutan lebat yang saya ibaratkan pohon-pohonnya sebagai laki-laki penulis. Perempuan menuangkan segala imajinasi dan ide, namun sering kali hal-hal yang ditulis perempuan dianggap tidak penting,” ujarnya.

Tantangan ini memang berat; cukup untuk membuatnya sampai berada di ambang menyerah atau bertahan. Kalau bisa divisualisasikan, dilema ini seperti grafik saham yang bisa naik dan turun—dalam konteksnya, jika naik maka ia sedang dalam posisi kuat; sementara jika turun ia ada dalam kondisi ingin menyerah.

Bak dua sisi mata koin; ada pula banyak hal yang membuat Ama tak gentar sehingga mampu bertahan sejauh ini. Salah satunya, keinginan untuk merayakan kehadirannya di dunia. Ia mau eksistensinya bermakna untuk banyak orang.

Ketua Yayasan Babasal Mombasa itu merasa apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan tujuan hidup. Andaikata ia bisa berteleportasi ke masa lalu dan bertemu dirinya di masa lalu, ia akan menyampaikan hal serupa seperti yang sedang dijalaninya sekarang: Hiduplah dengan berani dan rayakan hadirmu sebagai perempuan yang memberi tanda dan makna.”**

**Deasy Tirayoh / Nurisma Rahmatika

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top