Mereka menggonggong riang! Ya, sambutan gembira meruak begitu pintu rumah kubuka. Entah kutinggalkan lima menit, lima jam, atau lima hari sekali pun, mereka akan selalu sama: menunggu dengan setia lantas mengendus dengan cinta. Semua itu jelas tanpa terkekang masa.
Siapa sangka, aku—seorang Feby Siahaan yang terkenal ugal-ugalan—sekarang menjadikan anjing sebagai alasan untuk memulai hari dengan senyuman. Aku, yang dulunya hanya mementingkan diri sendiri, kini sibuk merawat makhluk hidup berkaki empat laksana buah hati. Bahkan, aku yang semula berjarak dengan sang Pencipta, malah menemukan ‘Nya’ dalam kisah mereka.
Bless, Sky, dan Eli. Ketiga sosok berjasa. Mereka menyadarkanku bahwa seorang penulis buku 7 Hari 1500 Kilomter Mengelilingi Tibet ini, rupanya, punya sisi ‘putih’ yang bahkan aku sendiri tidak tahu ada dalam diriku.
Padahal, kalau diingat-ingat lagi, nihil kenangan manis di masa laluku yang bertautan dengan anjing. Slogan-slogan di jalanan semisal “Awas, ada anjing galak” yang justru lekat, membuatku enggan mengakrabi hewan penyalak itu. Di lain soal, cacian seperti “Dasar anjing, lo!” juga membuatku mengecap binatang ini sebagai entitas yang buruk.
Semua terjungkir balik. Anjing pun menemukanku lima tahun lalu. Tepatnya pada 2018, ketakutanku berganti. Berangkat dari seorang kawan yang tiba-tiba memintaku menengok peliharaan barunya dengan antusias yang tak terelakkan. Lebih jauh, kawanku menyuruhku menggendong ‘anak bulu’ berjenis schnauzer miliknya itu.
Sontak aku menolak. Namun, karena ia terus membujuk, aku pun luluh dalam negosiasi. Kupegang si anjing kecil sembari menatap matanya yang bulat. Begitu pandangan kami bertemu, aku terpana! Dalam sepersekian detak, aku merasakan energi yang membawaku pada kesimpulan, “Once you face, eye to eye sama anjing, kamu enggak bisa takut lagi sama dia.”
Perkenalan dengan Shelter
Alih-alih ketakutan, aku mulai kasihan pada anjing-anjing yang ditelantarkan. Seperti halnya yang kurasakan begitu melihat seekor pitbull di sebuah halaman rumah nan kotor. Ia dirantai setiap harinya, pun selalu menggonggong tiap kali ada orang yang berlalu lalang di dekatnya.
Entah siapa pemilik anjing tersebut, sebab aku hanya tinggal di rumah sebelahnya untuk beberapa hari. Kala itu, aku memang menyewa sebuah properti di kawasan Sentul, Jawa Barat, untuk menghabiskan waktu libur lebaran. Masa-masa ini, akhirnya, kuisi dengan memperhatikan hewan peliharaan yang mengenaskan.
Tak semenit pun kulihat si pemilik menampakkan batang hidungnya, apalagi memberi makan pitbull itu. Barangkali karena saking laparnya, ia sampai memakan kotoran sendiri. Aku lantas memberanikan diri memberinya asupan. Sehari, dua hari, tiga hari berlalu; aku pun menyadari sesuatu. Leher si anjing sudah bernanah karena rantainya tak kunjung dilepas.
Aku geram. Kuinterogasi tetangga di sekitar situ satu per satu. “Kenapa enggak ada yang menegur bapak pemilik anjing ini?” Jawaban mereka serempak: takut karena si empunya galak. Di antara alasan seragam yang demikian, untungnya aku masih mendapat sebuah saran. “Mbak, di dekat sini ada shelter. Coba bawa ke situ.”
Aku pun bergegas mencari tahu nomor shelter itu. Singkat cerita, para petugas datang ke lokasi di mana si pitbull berada. Lucunya, sang pemilik menolak dengan lantang begitu mendengar kalau anjingnya hendak dibawa ke shelter. Ia berdalih sangat menyayangi Voli—yang rupanya adalah nama si pitbull.
“Kenapa harus dibawa? Enggak boleh (dibawa ke shelter). Saya sayang sekali sama Voli. Setiap hari saya beri makan, kok.” Omong kosong, kataku membatin. Seribu alasan lain terus ia lontarkan agar Voli tak diboyong ke shelter.
Aku muak mendengar bualannya. Lantas saja kubantah dengan pertanyaan, “Saya harus bayar berapa supaya Anda mau lepaskan anjing ini?” Tanpa pikir panjang, si bapak menjawab, “Lima ratus ribu.”
Voli akhirnya dibawa ke shelter. Aku turut serta memboyongnya ke sana. Kulihat kondisi shelter tak kalah mengenaskan dengan nasib anjing-anjing terlantar yang tinggal di dalamnya. Tempat penampungan ini berdiri di atas lahan bekas hotel yang terbakar. Ilalang memanjang di mana-mana. Kandangnya pun dibuat seadanya dengan sekat-sekat dari seng.
Lagi-lagi, nuraniku tercolek. Hatiku tergugah untuk turut berkontribusi merawat anjing-anjing di sana. “Mbak, boleh enggak, kalau sesekali saya ajak jalan-jalan anjing di sini?” tanyaku pada seorang pengurus. Ia pun mengizinkan dengan senang hati.
Dari sinilah, babak baru dalam hidupku bermula. Aku mulai melibatkan diriku dengan sebuah shelter, yang lantas mempertemukanku dengan Bless, Sky, dan Eli—para perantara Tuhan yang membantuku memaknai arti kehidupan.
Cinta dari Bless dan Sky
Bless adalah anjing rescue pertama yang tinggal bersamaku. Sebetulnya, ia bukan benar-benar anjing shelter. Akulah yang menemukannya sendiri ketika hendak pergi ke pasar. Kulihat ia tengah mengais makanan di tengah jalan. Begitu kuhampiri, ia malah lari ke lapangan golf yang tak bisa kumasuki.
Aku pun bergegas menelepon shelter. Mereka mencari-cari anjing itu, namun hasilnya nihil. “Oh, ya sudah lah. Mungkin juga sudah diadopsi orang lain,” pikirku. Selang beberapa hari, rupanya anjing malang itu meresahkan warga sekitar dengan tingkahnya yang mengobrak-abrik sampah di kawasan Taman Budaya. Tak salah lagi, itu adalah dia! Anjing yang akhirnya kunamani Bless.
Setiap kali aku berkunjung ke shelter, kulihat Bless ketakutan. Tubuh mungilnya seolah merasa terancam dengan keberadaan anjing-anjing lain yang berukuran lebih besar. Ia pun menghampiriku; berdiri di antara kedua kakiku dengan maksud meminta perlindungan. Begitu aku meninggalkan shelter, Bless selalu melihatku dengan tampangnya yang polos.
Aku terus memikirkannya. Rasanya ingin sekali kubawa ke rumah, tapi di sisi lain aku tak ada niatan untuk menyibukkan diri merawat anjing. Setelah melewati pertimbangan panjang, Bless pun kubawa ke rumah. Tingkahnya terkadang menyebalkan. Tiap kali kumarahi, ia malah mengibas-ngibaskan ekor dengan memasang tampang polos. Ah, membuatku merasa bersalah saja.
Bless memang selalu seperti itu. Entah mau kuperlakukan bagaimana pun, ia senantiasa bahagia—barangkali karena ia tahu kalau aku sangat menyayanginya. Kelakuan Bless yang demikian, setelah kurefleksikan sekian lama, membuatku tersadar akan konsep Tuhan dalam Nasrani.
“Konsep kita terhadap Tuhan adalah ‘you are loved’ dan Dia adalah ‘your beloved Father.’ Jangan hanya menganggap-Nya sebagai Tuan saja, sebab pendekatan kita kepada-Nya juga akan berbeda; kita akan datang ke Dia dengan penuh ketakutan. Kita memang manut, tapi dengan dasar ketakutan, bukan karena merasa dicintai.”
Pelajaran berbeda kudapatkan dari peliharaanku yang satunya, Sky. Anjing berjenis labrador ini kuadopsi setelah dua tahun tinggal bersama Bless. Awalnya, aku tak ingin menambah beban dengan mengadopsi anjing lain. Namun, sikapnya yang pemurung membuatku tak kuasa membiarkannya menghabiskan sisa hidup di shelter.
Kalau dipersonifikasi, Sky ibarat tipikal manusia yang sudah letih dikecewakan orang lain. Ini terlihat dari kebiasaannya tiap kali aku mengunjungi shelter. Ketika anjing-anjing lain menyambutku dengan antusias, ia hanya berdiam diri di pojokan. Sky selalu terlihat sedih; amat sulit untuk didekati.
Memang, Sky sendiri sudah dua kali ‘dibuang’ oleh pemiliknya. Sewaktu kecil, ia dibiarkan sendirian di depan shelter. Seorang perempuan pun memgadopsinya. Namun, begitu Sky dewasa, ia dikembalikan ke shelter. Selang beberapa waktu, ia sempat kembali diadopsi oleh orang yang berbeda, namun kembali berakhir di tempat penampungan anjing.
Beberapa kali kudatangi shelter, khusus untuk mengajak Sky jalan-jalan. Begitu keakraban di antara kami terjalin, ia mulai berperilaku sama dengan Bless dulu. Setiap kali aku meninggalkan shelter, Sky akan melihatku dengan raut yang murung. Sejak tatapan itu, ia tak mau lagi kuajak jalan-jalan.
Aku jadi kepikiran. “Haruskah kuadopsi satu anjing lagi?” pikirku. Rasa-sarasanya tidak mungkin, sebab kelakuan Bless saja sudah membuatku pening. Namun, entah apa yang merasuki diriku, akhirnya aku memantapkan hati untuk mengadopsi Sky. Aku tak pernah lupa bagaimana ekspresi Sky begitu menginjakkan kaki di rumahku.
“Cara dia melongokkan kepalanya dari kandang, lalu melihatku dengan senyum. Itu enggak pernah kulupakan.”
Sayang, tabiatnya yang berprinsip ‘semua orang sama saja’ tak kunjung hilang. Sky masih sering merasa bahwa dirinya tidak disayang. Setiap kali kuomeli, ia akan selalu memasang impresi, “Tuh, kan, kamu enggak sayang aku.” Setiap kali aku memeluk Bless pun, ia menatap dengan raut sedih dari kejauhan; seolah-olah ia sudah dilupakan.
Kelakuan Sky terkadang membuatku jengkel. Padahal ada orang yang betul-betul sayang padanya, tapi ia tidak bisa melihat itu karena selalu terpaut dengan masa lalu. Di sisi lain, aku menyadari sesuatu: manusia juga sering begitu. Segelintir dari kita tak bisa menghargai orang yang menyayangi dengan tulus, sampai akhirnya mereka menyerah dan pergi meninggalkan kita sendiri.
“Adalah hal yang mengerikan ketika kita merasa tidak dicintai, padahal di depan mata jelas-jelas ada orang yang sayang sebegitunya sama kita. It’s your loss kalau kamu selalu merasa tidak dicintai orang. Itu very deep loss. Seperti kata pepatah: hargailah selagi ada.”
Melihat Tuhan dari Mata Buta Eli
Pelajaran spiritual yang lebih mendalam kudapatkan usai bertemu Eli. Ia adalah seekor anjing difabel; matanya buta dan kakinya tak mampu menopangnya berjalan normal. Adalah sebuah keajaiban hingga kini ia masih bertahan, mengingat nyawanya hampir menjumpai kematian.
Memang tak berlebihan bila orang-orang shelter menyebutnya sebagai Eli The Miracle. Bayangkan saja, anjing tak berdaya ini dibiarkan di pinggir jalan berhari-hari lamanya usai tertabrak mobil. Tubuhnya sudah dipenuhi belatung. Manusia yang berlalu lalang mengiranya sudah tak bernyawa, namun tidak demikian dengan seorang pria berkebangsaan India.
Pria itu lantas membawa Eli ke klinik hewan. Kondisinya koma. Seminggu lamanya ia berjuang melawan kematian dengan bantuan tabung oksigen, persis seperti manusia yang dirawat di ruang ICU. Mukjizat terjadi; Eli mulai bernapas.
Namun, spinal cord-nya sudah rusak. Akibatnya, Eli tak bisa lagi mengontrol dirinya ketika buang air. Matanya pun tak lagi berfungsi normal; apa yang dilihatnya hanya siluet semata. Dua bulan lamanya Eli bertahan hidup seperti itu. Sampai akhirnya, si lelaki yang menemukannya mulai menyerah dengan tagihan klinik yang membengkak.
“Doctor, please find an adopter,” raung pria itu kepada sang dokter. Aku, yang kebetulan rutin mendatangi klinik tersebut karena salah satu anjing shelter juga sedang dirawat, mencoba mencarikan orang yang mau mengadopsi Eli. Aku sendiri tak berharap banyak, sebab logikanya: siapa, sih, yang mau merawat anjing buta, lumpuh pula.
Meski begitu, aku tetap berupaya sebaik mungkin. Kuhubungi seorang sepupu yang tinggal dekat denganku. Untungnya, ia mau mengadopsi Eli. “Nanti letakkan aja di halaman belakang,” jawabnya singkat. Kabar baik, memang, tapi di sisi lain aku merasa tidak tenang meninggalkan Eli dengannya.
Singkat cerita, datanglah hari di mana Eli dipindahkan ke rumah sepupuku. Begitu aku melihat halaman belakangnya, perasaan tidak tenangku terbukti. Tempat itu sungguh tak terawat; rumput-rumput tumbuh subur bersama semut-semut merah di bawahnya. Kesibukan sepupuku, yang kala itu sedang menyusun jurnal untuk studi doktornya, juga membuatku khawatir. Bisakah ia mengurus anjing difabel dengan segala kesehariannya yang padat itu?
Di sisi lain, aku tidak punya pilihan. Aku enggan mengurus tiga anjing sekaligus, terlebih yang satunya butuh perhatian khusus. Kalau aku mengadopsi Eli, sudah pasti kenyamanan hidupku akan terenggut. Aku bakal disibukkan dengan kegiatan bebersih kotorannya yang berserakan ke mana-mana itu.
Akhirnya, kucoba untuk mempercayakan Eli pada sepupuku. Namun, belum sampai sehari, laporan kurang baik sudah sampai ke telingaku. “Itu anjingnya dikurung di kandang sendirian malam-malam, jadi nangis terus,” kata dokter di klinik hewan. Lagi-lagi, aku merasa iba dengan hewan berkaki empat.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan untuk mengambil alih Eli dari sepupuku. Perkiraanku benar; semua kenyamananku sirna begitu si anjing difabel ini datang ke rumah. Berjam-jam lamanya aku harus membersihkan kotoran Eli, bahkan sampai nyeri punggungku jadi sering kambuh.
Di awal-awal kedatangannya, aku memang hampir selalu mengeluh—saking seringnya, sampai aku lupa untuk menikmati waktu berdua dengan Eli. Hingga suatu malam, kudatangi kamarku yang kini jadi tempat Eli beristirahat. Ia merasakan kehadiranku, namun tak bisa menemukan posisi pastiku.
Selama kurang lebih sepuluh menit, Eli mencoba menemukanku. Aku perhatikan gerakannya yang pelan itu, juga caranya menatapku dengan mata yang rabun. Pelan-pelan kupanggil namanya, hingga ia pun berhasil menemukanku. Di momen itulah, aku merasa bahagia sekaligus tersadarkan akan sesuatu.
“Jangan-jangan selama ini Tuhan juga memperhatikanku. Tapi aku-nya saja yang terlalu sibuk, jadi enggak sadar dengan hal itu. Andai saja aku tidak terlalu sibuk dan menemukan momen seperti yang aku dan Eli alami: aku mencari wajah-Nya dengan Dia yang pasti juga pernah memanggil namaku.”
“Aku selalu mengulangi momen itu untuk mengingatkan diri bahwa Tuhan itu sedang memperhatikanku. Kalau aku saja bisa secinta itu dengan anjing, pasti Tuhan lebih sayang denganku, yang notabene adalah makhluk ciptaan-Nya.”
Rescue, bagiku, akan selalu punya makna tersendiri. Barangkali orang-orang melihat Bless, Sky, dan Eli amat beruntung karena sudah aku ‘selamatkan.’ Padahal, yang sebenarnya kurasakan, justru merekalah yang menyelamatkanku.
“Rescuing sebenarnya is not about me. Justru aku yang merasa diselamatkan oleh Tuhan lewat anjing-anjing ini. Tuhan sepertinya bilang: makhluk ini bisa membuka pikiranmu, menyadarkanmu bahwa sisi baikmu itu banyak sekali, Feby!.”***
***Deasy Tirayoh/Nurisma Rahmatika