Penulis Gapai ‘Merdeka’ dalam Gempuran Industri

Bukan buku harian biasa, sebab dari sana semua kisah dan pertarungan nurani berangkat menjemput halaman demi halaman.

“Nak, coba cerita tentang keseharianmu. Siapa tahu, tulisanmu nanti bisa jadi seperti Little House on The Praire.” Bocah itu termangu. Ibunya mendekat, “Kau tahu buku itu? Buku tentang seorang anak yang tinggal di pedesaan. Dia rajin menulis buku harian, dan kisahnya pun difilmkan.”

Mata si bocah membulat. Tatapannya menyiratkan bahwa ia baru saja mendengar sesuatu yang keren. Tak butuh waktu lama bagi Kanti W. Janis, yang kala itu baru berusia 7 tahun, memantapkan hatinya, “Aku mau jadi seorang penulis!”

Kalau ditanya alasannya, Kanti kecil barangkali hanya bersandar pada jawaban figuratif, menjadi seperti Laura Wilder tampaknya keren juga. Lebih lanjut, perjalanan Kanti pun mengantarkannya pada dunia buku. Di ruang-ruang itulah ia mengasah aksara dan rasa, ia pun akrab dengan cerita. Dituangkannya narasi-narasi ke kepala mungilnya lewat gambar—menghidupkannya jadi komik.

Beranjak dewasa, Kanti meneropong dirinya lebih jauh ke depan. Ihwal cita-citanya ingin jadi penulis terpampang. Dengan menulis ia bakal menjemput kemerdekaan atas diri sendiri. Dengan kata lain, ia bisa memiliki kebebasan seutuhnya: bisa berada di mana saja, kerja dari mana saja, bahkan mempelajari berbagai topik apa saja yang diinginkannya.

“Dengan menulis fiksi, saya bisa menciptakan semesta sendiri lagi membuat simulasi-simulasi kehidupan. Ah, pokoknya, menjadi penulis itu sangat memerdekakan!” tukasnya.

Memang, Kanti dipertemukan dengan ragam kesempatan lewat tulisan. Pelosok demi pelosok, benua demi benua, sudah ia jejal. Desa Kedisan, Bali pun menjadi salah satu persinggahannya. Di tempat nan asri ini, ia menggali dalam-dalam ingatan tentang sepak terjang menjadi seorang penulis.

Memorinya pun tertambat pada satu momen di tahun 2006. Kala itu, Kanti melahirkan ‘anak’ pertamanya, Saraswati. Lewat novel itu, ia menuangkan keresahan perihal norma-norma sosial, yang kerap mempermasalahkan percintaan beda agama, beda suku, apalagi jika si perempuan lebih tua ketimbang lelakinya.

Kanti, yang kala itu berusia di pengujung 19 tahun, tentu merasa senang bukan kepalang. Novel yang ia garap enam tahun lamanya akan segera dipublikasikan. Kebahagiannya kian menjadi-jadi selang setahun kelahiran Saraswati; dirinya masuk nominasi penulis muda berbakat dalam ajang Kusala Sastra Khatulistiwa.

“Masuk nominasi Khatulistiwa Award itu cita-cita saya. Saya tidak menyangka itu bisa terwujud, apalagi dengan karya pertama yang diterbitkan secara profesional. Saya tidak berharap jadi pemenang, jadi nominator saja sudah membanggakan.”

Puan berpredikat Magister Hukum ini lantas semakin percaya diri dengan ‘anak’ keduanya. Ia berani membawa Frans dan Sang Balerina ke penerbit ternama. Lagi-lagi, ia merasa seperti ketimpahan durian runtuh; karyanya dikurasi oleh editor senior yang mengalihbahasa Harry Potter dan buku-buku keluaran Disney, Listiana Srisanti.

Coretan demi coretan bertinta merah mewarnai naskahnya. Kanti pun menyimak betul masukan dari sang editor. Wejangan itu begitu merasuk dalam nuraninya, sampai-sampai ia bersumpah pada diri sendiri untuk terus berkarya. “Saya harus terus di sini dengan segala kekurangan dan ketidakpercayaan diri saya untuk mempublikasikan. Saya harus lebih banyak lagi menulis dan mempublikasikan.”

Mencari Keadilan dalam Industri Penerbitan

Namun, dalam perjalanannya, Kanti terganjal sesuatu yang dianggapnya sebagai ketidakadilan. Industri penerbitan di Indonesia tak luput dari kecacatan. Terutama, perihal posisi tawar sang penulis. Bila diibaratkan seumpama rantai makanan, si empunya ide justru ditempatkan di posisi paling bawah.

“Saya merasa penulis dianggap ‘cuma’ punya ide, yang nilainya tidak seberapa ketimbang modal produksi buku itu sendiri. Inilah salah satu ketidakadilan yang dihadapi penulis. Bahkan, saya sendiri sampai merasa enggan menulis dan menerbitkan buku melalui jalur profesional lagi.”

Ketidakadilan royalti, ketidakberdayaan dalam kontrak publikasi, dan maraknya pembajakan yang dirasakan para penulis menggaruk nurani Kanti. Sebagai seorang advokat, jebolan Groningen University ini lantas mencari solusi. Selang enam tahun hiatus menulis karya tunggal, ia mengambil langkah berani: mendirikan Koperasi Penulis Bangsa Indonesia (KPBI).

Koperasi tidak melulu bicara soal uang. Pundi-pundi memang penting, sebab idealisme manapun tak mampu berjalan bila tidak disokong ‘energi’. Namun, ide, jejaring, dan kemampuan untuk mempublikasikan juga merupakan satu kesatuan yang ideal untuk menyokong modal.

“Koperasi itu hibrida antara perusahaan dan badan usaha. Objektifnya benefit, bukan profit. Selama kita bisa saling membantu, gotong royong, dan bermanfaat bagi para anggota, ya kita jalan terus. Jadi, kita tidak melihat untung-rugi layaknya sebuah industri.”

Koperasi besutan Kanti juga dipancang oleh asas subsidiaritas, sebagaimana perserikatan pada umumnya. Ini berarti para anggota bersama-sama menentukan usaha yang mereka butuhkan, tapi belum terpenuhi. Dalam konteks penulis, KPBI berupaya melengkapi profesi yang mengisi otak itu dengan pengacara ataupun manajemen.

Kanti tak kehabisan inovasi. Ia bersama sederet kawan lain melebarkan sayap KPBI dengan mendirikan Indonesian Writers Inc (IWI). Tujuannya sama: memperjuangkan penulis dalam mendapatkan haknya. Hanya saja, bidang usaha yang satu ini menjelma sebagai agensi naskah yang menawarkan full-service literary agency, termasuk menghubungkan penulis dengan penerbit, kurasi naskah, dan memperjuangkan kontrak yang adil.

Identitas Perempuan Bukan Penghalang

Mencari keadilan sembari menuangkan isi pikiran lewat tulisan tentu bukan perkara mudah bagi Kanti. Dirinya seringkali menjumpai berbagai rintangan. Dari sekian banyak kesulitan yang diemban, identitas sebagai perempuan bukan salah satunya.

Kanti menggenggam erat prinsip bahwa manusia adalah manusia. Tak ada perbedaan antara kaum adam maupun hawa. Karena itulah, dengan percaya diri, ia seringkali menanggalkan identitasnya sebagai wanita begitu berkiprah di organisasi ataupun dunia kerja. Insan kelahiran 1985 ini hanya bergerak sebagai manusia seutuhnya; sebagai seorang Kanti W. Janis dengan segala kemerdekaan yang diperjuangkannya.

Kanti bisa berpikiran begitu karena terinspirasi dengan kisah Keumalahayati. Samar-samar ia mengingat penyesalan yang sempat terpatri di hati Malahayati dari sebuah buku yang dibacanya. “Ah, mengapa aku lahir sebagai perempuan. Andai saja aku laki-laki, tentu dengan mudah bisa menjadi Laksamana dan menuntut balas kepergian ayah.”

Namun, keluhan itu tak lagi berarti. Sang Harimau Betina dari Geladak Aceh justru berani menikam Cornelis de Houtman sampai mati. Kisah ini menyadarkan Kanti bahwa di Nusantara, sejatinya tidak pernah ada diskriminasi terhadap wanita.

“Perempuan jadi pemimpin itu biasa saja. Bahkan bukan sekadar simbolik, tapi juga terjun langsung ke medan tempur.”

Entah yang diyakini Kanti juga dirasakan wanita-wanita lain atau tidak. Yang pasti, ia juga menyaksikan sendiri bagaimana lingkungan sekitarnya memperlakukan lelaki dan perempuan tanpa kesenjangan—selain terinspirasi dari kisah Keumalahayati. Ya, keluarganya memang amat menjunjung kesetaraan.

Hampir tidak ada perempuan di keluarga Kanti yang berpangku tangan selepas terikat dalam pernikahan. Sebut saja ibunya, RA Yeni Suryanti, yang terus berkiprah sebagai organisator. Ia melahirkan sederet gagasan dengan mengawinkan pendidikan dan permusikan, salah satunya sekolah PAUD dengan kurikulum bermusik.

Di balik segala keberanian untuk mendobrak ketidakadilan, Kanti rupanya pernah meragukan langkah yang diambilnya. Terlebih saat usianya masih belia, ia tak yakin apakah caranya merespons dunia yang tak semulus ekspektasinya sudah benar. Ia sangsi apakah mengikut kata hatinya adalah pilihan terbijak.

Namun, Kanti yang sekarang sudah berada di titik sejauh ini, tahu betul akan jawaban atas keraguannya di masa lampau. Kalau bisa memutar waktu, ia ingin menyampaikan bahwa dirinya sudah berada di jalan yang benar; Kanti kecil sudah mengambil langkah yang tepat.

“Ingin kubiskkan pada diriku di masa lalu bahwa: kamu tidak perlu meragukan dirimu. Maju terus. Semakin kamu dewasa, kamu akan melihat bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Kejujuran itu yang akan membawamu ke tempat yang lebih baik. Kamu sudah benar untuk selalu mengikuti kata hatimu.” ***

***Deasy Tirayoh/Nurisma Rahmatika

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top