Menemukan ‘Asah Asih Asuh’ dari Borobudur

Di bawah langit biru yang menaungi Bhūmi Sambhāra Bhudhāra, kau tekun mendaki punden berundak dengan hati yang lapang.

Kau, perempuan berambut pendek dan berparas lembut. Dirimu seakan mengapung di cela bebatuan purba yang membuka cakrawala. Kau bernama Galuh Larasati, di kedalaman matamu ada kesetiaan mengkhidmati pagoda-pagoda yang menjulang, serupa angan masa kecilmu.

Dahulu, dalam hitungan kesepuluh, kau menghilang. Dirimu mematung bersama stupa-stupa berlubang. Kuakui, itu memang pilihan yang cemerlang, kawan! Kau berhasil membuatku kelimpungan mencari-cari bangunan mana yang sekiranya kau jadikan tempat persembunyian.

Tapi sayang, barangkali kau lupa, sudah bertahun-tahun lamanya kita bermain petak umpet di sini—kawasan Candi Borobudur. Jadi, aku tahu betul persembunyianmu. “Ketemu!” Begitu seruku sesaat melihat sosok berbalut kemeja putih dengan rok merah dari balik stupa.

Kau merengut manja dalam balutan celoteh. “Kowe kok gampang men nemokke aku?” Kawanmu hanya bisa tertawa. Waktu tak terasa berlalu, hari bermain itu berakhir begitu ayahmu rampung membersihkan lumut di dinding bebatuan candi.

“Galuh! Ayo awake dewe mulih.” Kau melambaikan tangan padaku, lantas berlari menghampiri ayahmu yang sudah siap mengayuh sepeda ontelnya. Tubuhmu yang mungil berupaya sedemikian rupa menaiki boncengan belakang. Dari kejauhan, rautmu begitu riang.

Hari-harimu terus berlalu seperti itu; berangkat dan pulang sekolah bersama ayah, lalu bermain denganku sembari menunggunya selesai bekerja. Bagimu—seorang Galuh Larasati yang lahir di kaki Candi Borobudur—peninggalan Dinasti Syailendra ini adalah segalanya: tempat bermain juga pelarian tatkala hendak merilis lara usai berselisih paham dengan ibunda.

Namun, kau terpaksa mengubur semua kebiasaan itu bersamaan dengan dipugarnya Candi Borobudur. Waktu itu tahun 1983. Rumahmu yang letaknya tak jauh dari sana kena gusur. Kau pun kehilangan semuanya: taman bermain juga teman-teman di desa. Kau tak lagi leluasa memasuki Borobudur seperti sedia kala.

Nyatanya, kau dan Candi Borobudur tidak pernah benar-benar berpisah. Ketika dirimu beranjak remaja, kau senang memperhatikan seni pahat pada candi tersebut. Kau, yang saat itu juga telaten menggoreskan tinta di kertas, bahkan mulai tertarik menggambar patung-patung dan relief pada dinding candi.

“Tahun 1983 menjadi momen yang tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hidup saya. Sebabnya? Itu adalah masa di mana saya mulai berjarak dengan Candi Borobudur. Ya, sejak dibangun pagar besi yang mengelilinginya,” demikian kenangmu.

Galuh, barangkali kau tak sadar, goresan itu bukan hanya meninggalkan bekas di kertas; tetapi juga hatimu. Keingintahuan tentang arti bangunan batu bersusun ini mulai memupuk di batinmu. Kau pun memuaskan rasa penasaran itu dengan cara ilegal: menguntit pemandu wisata yang tengah bercerita tentang Borobudur.

Akhirnya Jadi Pemandu Wisata

Bak mendengar petuah sakti; kau mendapat ilham. Kau lantas merapal kisah itu berulang-ulang hingga melekat di kepalamu. Kau pun tidak lagi menganggap Candi Borobudur sebagai tempat bermain, apalagi pelipur lara. Borobudur adalah tempat suci untuk mereka yang ingin belajar tentang pencerahan hidup.

Sembari menghafal, kau juga setia mengasah lidahmu agar fasih berbahasa Inggris. Kau pun memberanikan diri mencari tamu sendiri—wisatawan yang hendak mendapat pencerahan dari Borobudur. Padahal, saat itu kau masih duduk di bangku SMP. Sungguh, itu adalah keberanian yang luar biasa, Galuh!

“Tapi, sekarang yang jadi pertanyaan adalah: bagaimana bisa kau meyakinkan orang-orang dewasa itu untuk mendengar celotehan dari anak kecil sepertimu?” tanyaku penasaran. Alih-alih memberi seribu penjelasan, kau hanya memasang senyum hangat tanpa sepatah kata.

Ah, ternyata seperti itu caramu menarik turis! Ya, dengan wajah yang ramah, kau mendekati mereka di bus yang juga kau tumpangi sepulang sekolah. Kau berkenalan dengan mereka, bercerita layaknya seorang pemandu wisata betulan, lantas ‘memanfaatkan’ mereka agar bisa ikut naik ke Candi Borobudur.

Boleh jadi, waktu itu kau merasa sudah cukup menghargai keberadaan Borobudur. Betapa tidak, saat anak-anak lain seusiamu tertarik dengan fesyen atau romansa, kau malah memilih mendalami budaya leluhumu. Namun, pandanganmu berubah begitu menginjakkan kaki di Negeri Sakura.

Pola hidup orang-orang di Jepang membuka matamu. Bahwasanya, kau sebenarnya sudah berjarak bahkan tidak lagi peduli dengan budaya sendiri.

Kendati menyadari, kau tak serta-merta mengambil langkah nyata. Kau justru pindah ke Yogya, meniti karier di bidang perhotelan lantas membangun keluarga kecil. Dua puluh tahun lamanya, Galuh, kau berpisah dari rumah keduamu. Selama itu pula, kau merasakan pasang surut kehidupan hingga mencapai titik terendah—begitu rendahnya sampai-sampai kau merasa ingin menyerah.

Saat itulah, kau teringat kembali dengan rumah keduamu. Kau kembali ke Candi Borobudur dan mencoba mengingat semua cerita yang pernah kau pelajari dulu. Entah apa yang ada di kepalamu, kau mantap mendedikasikan diri menjadi pemandu wisata. Kali ini adalah pemandu sungguhan, bukan yang tiba-tiba berceloteh dengan orang asing di bus!

Kaleidoscope of Java Tour

Sesekali kau menyempatkan diri berselancar di internet dengan khidmat. Bukan untuk mengakses drama recehan apalagi informasi terkini terkait selebriti; kau sibuk membaca ulasan dari klienmu tentang pelayanan Kaleidoscope of Java Tour—yang tak lain adalah private tour-mu.

Senyum sumringah terbesit di wajahmu saat menggulir ulasan demi ulasan. Kata klienmu, perjalanan yang kau tawarkan berbeda dari yang lain. Memang tak berlebihan bila mereka menyebutnya begitu, sebab kau tak hanya mengajak mereka menyusuri Borobudur, tetapi juga menjelaskan filosofinya.

Kau tahu, Galuh? Aku tak heran dengan bintang lima yang terpampang di sebelah nama private tour milikmu. Sebab aku tahu betul, tekadmu untuk terus mendalami segala hal tentang Borobudur, akan membawa pencerahan bagi kehidupan orang lain.

Tekadmu memang tak main-main. Kau sampai membeli banyak buku tentang Borobudur dan ajaran sang Buddha. Informasi di dalamnya lantas membuatmu makin mengerti akan makna di balik setiap simbol yang terukir di candi. Kau pun tak lagi sekadar menghafal materi, tetapi juga merefleksikannya dengan kehidupan pribadi.

“Setelah memahami itu semua, Borobudur bukan lagi sekadar taman bermain, pelipur lara, atau tempat suci untuk mendapat pencerahan. Itu adalah mahakarya terindah di bhumi. Hadiah terbaik bagi manusia yang ingin belajar mengenal dirinya sendiri. Sebuah mahakarya untuk belajar memahami diri, belajar bagaimana menjalani kehidupan ini secara harmoni dan terbebas dari segala nestapa.”

Bukan hanya seputar Borobudur, penjelasanmu sebagai pemandu wisata juga merambah lebih dalam ke budaya Jawa. Sebabnya? Kau ingin mengembalikan budaya leluhur yang sudah mulai rapuh. Kau ingin menghapuskan stigma tradisi Jawa yang identik dengan hal-hal klenik. Intinya, kau ingin mengenalkan Jawa dalam selayang pandang.

Sayangnya, regulasi di negeri ini membuatmu tak lagi leluasa mewartakan warna Borobudur. Tahun 2023 mengingatkanmu akan kejadian 47 tahun lalu; tahun di mana orang-orang menjadikan Candi Borobudur sebagai objek mesin pencari uang, memisahkanmu dari rumah keduamu.

Meski begitu, kau tak patah arang. Otakmu menemukan 1001 cara lain untuk mengungkapkan makna tersembunyi di balik bangunan kuno itu. Salah satunya, kau memandu tamu-tamu dengan miniatur Borobudur dan buku tulisanmu: Borobudur, Temple of Life.

Peduli Pola Asuh

Galuh, kau tahu betapa hebatnya dirimu? Kau tak cuma berupaya melestarikan budaya Jawa, tetapi juga peduli akan pola didik penerus bangsa. Kau bahkan sampai mendirikan sekolah yang kau sebut Asah Asih Asuh.

Asih sendiri diambil dari kata welas asih atau belas kasih. Kata ini mengadopsi pola didik untuk membentuk pribadi yang memiliki rasa welas asih (belas kasih), rasa ewuh-pakewuh (sadar diriatau tenggang rasa), murah hati, sabar, rendah hati, mau mengalah, tepa selira (memahami yang lainnya), unggah-ungguh (etika), ngajeni dening liyan (menghormati sesamanya,) rasa tentram (kejujuran), rasa bungah (bahagia), pemaaf, dan memiliki rasa keindahan atau sense of beauty.

Sedangkan, Asah merupakan pola didik yang mewariskan semua keterampilan hidup sehari-hari. Seperti memasak, tanam-menanam, membersihkan rumah, menjahit, menata rumah, membenahi rumah, merawat barang-barang, pengetahuan tentang obat-obatan alam, pengetahuan keterampilan khusus yang bisa dilakukan untuk mencari nafkah.

Adapun Asuh merupakan pola didik yang melibatkan peran orang tua yang terus mulat (memperhatikan perilaku anak), milala (membesarkan hati), palidharma (memberikan teladan), palimarma (memafkan jika anak melakukan kesalahan dan membimbingnya dengan kata-kata luhur yang mulai dikenalkan sesuai dengan kesalahan yang dibuat.

Kau merumuskan kurikulum sedemikian rupa hingga anak-anak tidak lagi menelan ilmu eksakta sebagaimana yang diajarkan guru-gurunya di sekolah. Buah pikirmu itu melahirkan sekolah berbasis alam dengan nama Asah Asih Asuh; tempat di mana kau mengajarkan mereka cara belajar hidup, sebuah ajaran luhur yang juga sudah mulai luntur.

Ilmu iku kelakone kanti laku. Artinya, ilmu itu bisa kita dapatkan hanya kalau kita mengalami atau mempraktekannya. Kalau sekadar belajar hafalan dari teori, bagi orang Jawa belum dikatakan kita memiliki ilmunya. Karena semua hanya berdasarakan teori orang lain yang belum tentu benar.”

Jangan Berlarut dalam Kesedihan!

Galuh, langkahmu sudah jauh. Sungguh bukan pilihan mudah ketika kau, dengan sukarela, mendedikasikan diri untuk melestarikan budaya Jawa melalui dua jalan sekaligus: Kaleidoscope of Java Tour dan Asah Asih Asuh. Mengatur jalannya kedua anakmu dengan selaras, jelas tak segampang membalikkan telapak tangan. Jadi, kau hebat!

Tentu saja, aku bukannya tak tahu akan getir kehidupanmu. Karena itu, aku sangat kagum padamu! Kau tidak berhenti, menyerah, apalagi putus asa. Prinsipumu begini: selagi apa yang kau lakukan adalah benar dan baik untuk kehidupan ini, kau akan terus berjalan dan berdiri lagi saat jatuh.

Kau yang saat ini sudah jauh lebih tegar ketimbang dulu. Galuh, yang dulu suka bermain petak umpet denganku, kini tak lagi hidup terlarut dalam kesedihan. Kau sudah mengerti bahwa hidup ini memang kadang datang rasa sedih, kadang datang rasa senang.

Galuh kecil, kini kau sudah menemukan jalanmu. Jalan di mana kau bisa menerima semua rasa yang ada. Jalan yang membuatmu merasa bahwa dirimu selalu berada di pihak yang beruntung. Jalan yang memberimu kebebasan penuh untuk belajar apa saja dalam hidup ini.

“Belajar tidak mengenal umur. Apapun ilmunya, semua kamu sendiri yang melakukannya dan kelak kamu sendiri juga yang menuainya. Kegigihanmu dalam menggapai yang engkau inginkan, akan tercapai suatu hari nanti jika kamu disiplin dan bersungguh-sungguh dalam kesadaran penuh.”

Galuh kecil, sekarang kau juga tak mudah menyerah. Kau paham bahwa jika satu jalan menuju destinasimu tertutup, masih ada jalan lain yang bisa kau coba. Sekarang, kau menjadi pribadi yang menyenangkan dan penuh rasa welas asih. Pribadi baik yang selalu hidup dalam kesadaran penuh. ***

***Deasy Tirayoh / Nurisma Rahmatika

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top