Sepucuk surat kelar dituliskan. Menampung buah pikir berbalut kekaguman dan deret pertanyaan seorang bocah yang ingin terhubung dengan dunia. Demikianlah jalan sunyi yang ia tapaki hingga akhirnya membuka gerbang kesempatan untuk berbuat lebih –yang bukan hanya berkitar pada diri sendiri.
“Dear Mr. President…” Jemari kecil Debby Lukito menerjemahkan ribuan takjub bagi sang penerima surat. Ia lantas menjabarkan betapa dirinya tergila-gila dengan autograf para pemimpin dunia. Baginya, yang kala itu baru duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, mereka adalah orang paling keren di negaranya.
Surat demi surat telaten ia layangkan. Sampai usianya menginjak kepala tiga, Debby tak lagi menyimpan sendiri hobi uniknya. Ia pun membukukan 162 autograf itu. Tak disangka-sangka, buku tersebut mencatatkan namanya sebagai penerima penghargaan MURI di tahun 2010.
Masa kanak-kanak menjadi wahana Debby menemukan banyak hal, bukan cuma menekuni hobi unik yang jarang dilirik. Rasa penasaran memberangkatkannya pada penemuan demi penemuan. Ia ingat betul suatu ketika, tidur pulasnya di akhir pekan sedikit terganggu oleh aroma masakan yang merangsek ke cuping hidungnya.
Dalam helaan napas yang menghirup panjang; Debby terheran-heran mengapa ibunya tidak beristirahat padahal di pengujung pekan. Ia sontak beranjak dari tempat tidur, bergegas menghampiri sang peracik aroma sedap yang mengusik pikirannya.
“Mi, bau apa, sih, ini?” suara Debby kecil memecah kesibukan sang ibu di dapur. Ia lantas disambut dengan senyuman hangat, “Selamat pagi, Nak. Mami nanti mau ngajar anak-anak sekitar sini, dan kebetulan hari ini agendanya memasak.”
Debby tidak mengerti bahkan tak habis pikir, mengapa Mami melakukan bersibuk ria dengan hal itu? Padahal, ia sendiri sudah sibuk dengan profesinya sebagai guru, mengajar anak-anak seusia putrinya dari Senin sampai Sabtu.
Terlebih lagi, Debby tahu betul ibunya bukanlah orang yang berlimpah harta. Lantas, mengapa ia rela menyisihkan pundi-pundi demi membeli bahan makanan yang hanya dipergunakan untuk mengajari anak kampung memasak?
“Mami mengajarkanku bahwa berbagi bukan hanya sebatas materi. Sejak saat itu, aku pun terbiasa dengan kegiatan-kegiatan sosial. Peduli terhadap sesama, utamanya mereka yang terpinggirkan, kini sudah menjadi kebiasaan.”
Seiring bertambahnya usia, Debby pun paham. Kelas memasak tersebut hanya dalih semata. Sebab sebetulnya, Mami ingin memberikan anak-anak itu makanan sehat secara cuma-cuma. Ya, Mami adalah insan yang bergerak atas dasar kemanusiaan.
Perempuan kelahiran Surakarta itu akhirnya mewarisi kebiasaan sang Mami. Begitu beranjak dewasa, Debby aktif berkecimpung dalam dunia kerelawanan. Bahkan, ia menjadi salah satu pendiri Kanaditya Anjani Dharma, sebuah yayasan sosial yang berbasis di Bali, serta turut aktif menebar virus literasi bersama Forum Taman Bacaan Masyarakat ke seluruh Indonesia.
Memanusiakan Manusia
Tonggak Kanaditya Anjani Dharma sendiri sudah dipancang sejak 2011. Itikad ini bermula dari kebiasaan Debby yang kerap blusukan di Pasar Badung. Nuraninya tergaruk begitu melihat realita di sana: banyak anak kecil yang menjadi buruh suwun alih-alih bersekolah.
Debby tak kuasa melihat tubuh mungil mereka memanggul beratnya belanjaan orang-orang demi harga jasa yang tidak seberapa. Hatinya makin teriris setelah mengetahui gelapnya kehidupan para buruh suwun; tubuh mungil itu juga kerap menjadi sasaran empuk pedofilia.
Dari sanalah, Debby bersama beberapa rekannya melahirkan Kanaditya. Dengan harapan, yayasan ini bisa menjadi mentari di tengah gelapnya kehidupan anak-anak terpinggirkan. Seperti namanya, akronim dari Kanaka dan Aditya yang berarti matahari.
“Kanaditya itu laksana matahari yang menyinari bumi tanpa pamrih, tidak melihat siapa yang ia sinari, dan tetap bersinar. Kami pun begitu; memancarkan kebaikan tanpa pamrih dan kami universal. Kami tidak terikat dengan agama, ras, politik. Kami tidak melihat kamu siapa.”
Kanaditya tak cuma menaruh hati pada buruh suwun, melainkan juga berfokus membantu anak-anak penderita kanker. Debby bersama 24 relawan lainnya berkeliling dari bangsal ke bangsal bak Santa Claus; memberikan goodie bag dan buku bacaan untuk mereka yang baru merampungkan pengobatan.
Kalau sekiranya si anak sedang dalam kondisi prima usai kemoterapi, Debby dan para relawan akan membacakan dongeng. Terkadang, mereka juga mengajak anak-anak untuk membuat kerajinan tangan, menggambar, atau mewarnai.
Perhatian Debby turut menjalar ke penghuni lapas perempuan. Melalui Kanaditya, ia dan para relawan menginisiasi kelas memasak dan home industry untuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Tujuannya jelas: Debby berharap mereka bisa kembali berdaya usai lepas dari lapas.
Apa yang dilakukan Debby sudah persis seperti Keating, tokoh utama dalam film kesukaannya, Dead Poets Society. Ia dan si guru sama-sama bertekad mengembalikan semangat orang lain, utamanya anak-anak, yang tengah menghadapi masalah dalam hidupnya.
Seize the day. Make your lives extraordinary akan selalu menjadi kutipan yang terpatri dalam nurani Debby. Nukilan dari sienas kesukaannya itu merupakan pengingat untuknya bahwa, “Lakukanlah yang terbaik. Berhenti mengeluh tentang segala hal, sebab itu akan membuat energi kita menjadi negatif.”
Merayakan Hidup Bersama
Bak pedang bermata dua, hadir dan berbagi dengan sekitar tak melulu berujung bahagia. Bagi Debby, di satu sisi, ia senang bisa jadi insan Tuhan yang menolong orang-orang kesulitan. Tapi di sisi lain, dirinya kerap menjadi korban dari pihak yang hanya mencari keuntungan.
Ya, Debby adalah tipikal orang yang segan menolak suatu permintaan. Ia berprinsip demikian bukan tanpa alasan; sebuah insiden memilukan saat dirinya baru pindah ke Bali adalah salah satu pemicunya.
Kala itu, Debby belum lama menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Ia tak kenal siapa-siapa, hanya Tante dari sebuah kios pulsa yang kerap dijumpainya. Seiring waktu berlalu, mereka jadi semakin dekat. Begitu akrabnya sampai si Tante memberanikan diri meminjam uang ke Debby.
“Mbak, aku boleh pinjam lima ratus ribu dulu? Nanti gantinya pakai pulsa, jadi Mbak ambil saja pulsa senilai harga yang sama.” Debby iba, hatinya tergerak ingin membantu. Namun, omnya yang sedang duduk di sampingnya, memperingatkan bahwa itu bisa saja penipuan.
Memang, kala itu penipuan sedang marak-maraknya. Terlebih lagi Debby bisa dibilang orang baru di Bali, sehingga tak menutup kemungkinan dirinya menjadi sasaran empuk si tukang tipu. Ia pun menuruti anjuran omnya.
Selang tiga hari kemudian, Debby kembali menjalani kesehariannya seperti biasa; mengawali hari dengan membaca koran. Betapa terkejutnya ia begitu melihat kabar bahwa suami dari si Tante kios pulsa kehilangan nyawanya di tangan penagih utang.
Kronologinya begini: penagih utang mendatangi Tante dan suaminya, namun mereka belum bisa melunasi pinjamannya. Entah apa yang merasuki sang penagih utang, tiba-tiba ia beranjak mengambil gas LPG yang ada di kios.
Suami Tante berusaha menghalangi. Namun, si penagih utang kadung termakan emosi. Ia pun memukul kepala suami Tante dengan gas seberat tiga kilogram itu.
Hati Debby terasa seperti tersengat listrik jutaan volt. Ia segera menyesali keputusannya tiga hari lalu. Ia menyalahkan diri sendiri karena tak mengikuti nuraninya. Bahkan hingga saat ini, penyesalan masih menyesak di dadanya.
Ia pun berandai-andai, “Kalau saja hari itu aku bantu, pasti insiden ini tidak akan terjadi.” Berangkat dari penyesalan itulah, Debby selalu teguh menolong siapa pun. Ia senantiasa membebankan diri untuk memasang senyum di wajah orang.
Mirisnya, dalam sekian pengalaman, justru niat murni Debby dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Barangkali dari perspektif mereka, Debby adalah si polos yang mudah dipeloroti. Di titik terjauh, penulis buku anak ini pun lantas berpesan pada dirinya sendiri:
“Ayolah, Debby! Padukan intuisi dengan pengalamanmu. Itu akan mempertajam mata hati dan terhindar dari orang yang tanpa belas kasih, yang datang cuma mengambil keuntungan.” ***
***Deasy Tirayoh / Nurisma Rahmatika