Kendal Berkain, Kebaya dan Sebuah Cermin

Belum seberapa, jalanku masih teramat panjang. Tapi sekurangnya dari sini aku sadar, jika akar yang meneguhkan langkah adalah identitasku sebagai Perempuan Jawa. Kebaya hadir memupuk sekaligus menumbuhkanku. Ia bukan hanya tentang busana, melainkan juga tentang bagaimana aku merayakan warisan leluhur di dunia yang terus berubah. Dan inilah ceritaku….

Namaku Arbida Nila, perempuan dari Desa Weleri, sebelah barat Kabupaten Kendal. Menaklukkan Kota Jakarta jadi salah satu impian masa kecilku. Dan pelan namun pasti aku sedang bergerak ke sana, di mana saat ini aku menjalani profesiku sebagai reporter di salah satu stasiun televisi nasional. Di usiaku menjelang seperempat abad, ada spirit baru yang menantangku untuk berbuat lebih dari sekadar berkutat dengan diri sendiri.

Mulanya aku merasa seperti buronan. Sorotan tajam kerap memburuku tiap berpapasan dengan kerumunan di jalan. Mereka menatapku yang berlalu dengan penuh keyakinan. Entah bagian diriku yang mana yang menarik perhatian: rambut keriting atau gaya berpakaian?

Bohong kalau kubilang tatapan itu tidak membuatku gugup. Jantungku berdegup kencang begitu memikirkan asumsi-asumi yang bisa jadi terlintas di benak orang-orang ini. Apakah mereka menganggapku nyentrik? Atau barangkali, mereka melihatku sebagai sosok aneh, alih-alih kolot?

Deg! Dugaan yang terakhir membuatku terbesit dengan ucapan Mami. Tahun lalu, aku kembali ke kampung halaman di Kendal, Jawa Tengah, sembari berkebaya. Kau tahu? Rencanaku melestarikan budaya Nusantara itu malah ditanggapi begini:

Mbok kamu tuh pakai baju yang lain. Kelihatan tua kalau pakai kebaya.”

Aku mengerti, Mami bukannya tanpa alasan berkata demikian. Ia mirip cenayang; sudah punya bayang-bayang bakal seperti apa jadinya kalau putrinya, yang mengadu nasib di ibu kota yang metropolitan justru memakai kebaya sebagai pilihan berpenampilan.

Benar saja! Kekhawatiran Mami jadi nyata. Tak jarang lirikan dengan alis berkerut melahapku. Beberapa kenalanku bahkan sering ngenyek, “Wih, ada wanita berkebaya, nih.” Kalau kau pikir itu adalah bentuk dukungan, kau salah besar. Penampilanku hanya dijadikan bahan gurauan.

Sejatinya realita ini sudah kuprediksi sejak 2018. Kala itu, lima tahun lalu jadi titik berangkat aku terkoneksi dengan kebaya. Semuanya bermula dari sebuah lapak di daerah Beringharjo. Di sana aku tersihir dengan toko kebaya. Lapak kecil itu yang memajang aneka patern dan desain lawas yang membuatku terlempar pada satu situasi yang entah apa. Mencari sekaligus menemukan dalam waktu yang sama. Pada akhirnya, sensasi yang sulit kuurai itu berakhir dengan empat buah kebaya di kantong belanja.

Tak lantas kukenakan, ibarat sebuah lukisan yang tersimpan apik dan belum tahu kapan akan dipajang. Penundaanku pada empat buah kebaya itu lantaran masih dilingkupi rasa ‘malu’ tampil berbeda dari kawan seusiaku. Dengan dalih, aku masih di fase ingin menjajal rupa-rupa bentuk busana, juga mengeksplorasi gaya nyentrik lainnya.

Rasa malu dalam diriku mulai terkikis begitu dipertemukan dengan Mbak Lia, seorang senior di kantor berita tempatku bekerja yang mendedikasikan dirinya menjadi wanita berkebaya. Ia tak sungkan-sungkan mengenakan pakaian adat Jawa ini di tengah jantung ibu kota.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk lantas mengikat janji pada diri sendiri. Bahwasanya, “Aku ingin menjadi seperti Mbak Lia.” Aku pun merealisasikan ucapan itu dengan bulan Juli 2022 sebagai saksinya; saat di mana Arbida Nila mulai konsisten berkebaya.

Jalanmu Masih Panjang, Bida!

Setahun berlalu. Ratusan hariku terekam dalam balutan berkebaya. Selama itu pula aku tekun membagikan ‘persona’ yang baru ke jagat maya. Sedikit demi sedikit kawan jurnalis pun mulai terpengaruh untuk mengenakan tampilan serupa.

Sulit ditepis, masih ada rasa ingin berbuat lebih. Melihatku menjadi pengaruh bagi lingkaran terdekat, menjadikan hal itu sebagai alat tagih yang baru. Aku harus merealisasikan impianku yang tertunda empat tahun lamanya. Aku memutar otak, dan dari sanalah aku menjemput ilham.

“Sebelum membulatkan tekad, aku sering melihat akun media sosial yang mengampanyekan gerakan-gerakan berkebaya. Begitu aku memantapkan hati di tahun 2022, aku sadar kalau peranku enggak boleh berhenti sebatas pemakai. Aku juga harus punya komunitas sendiri.”

Tekad yang kali ini kembali mengingatkanku dengan Mbak Lia. Ia pernah memberi tahuku bahwa dirinya adalah salah satu pendiri komunitas berkebaya. Segera saja kuhubungi beliau lalu menawarkan diri, “Mbak, aku boleh gabung komunitasmu, ndak?”

Singkat cerita, dengan hangat aku disambut menjadi bagian dari Komunitas Perempuan Berkebaya (KPB) dan Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI). Menariknya, aku adalah yang termuda dari puluhan sosok di sana.

Titel “anggota termuda” membuatku seperti mendapat rumah kedua. Tempat di mana aku memeluk kehangatan dan kasih sayang dari orang-orang yang lebih tua, juga membuatku merasa aman bila berada di dekat mereka. Tiap kali aku absen dari perkumpulan, mereka pasti menanyakan, “Bida ke mana? Kok enggak ikut?”

Komunitas yang berbasis di Jakarta itu sekaligus menjadi sekolah bagiku. Tempat di mana aku belajar sejarah dan filosofi kebaya dari para peneliti yang tergabung untuk membuat disertasi; membuat diriku kian menghargai eksistensinya dan merasa terkoneksi lebih erat dengannya.

Kendati demikian, lagi-lagi masih ada tanda tanya tersisa di dada. Aku tak tahu apa yang kurang. Bukankah aku sudah menunaikan tugasku untuk konsisten berkebaya dan mempelajari busana tersebut sampai ke akar-akarnya?

Lagi, aku menggali isi kepalaku. Dan…voila! Membangun komunitas sendiri adalah jawabannya. Perayaan satu tahun seorang Arbida Nila berkebaya, tepatnya pada Juli 2023, sekaligus menandakan berdirinya Kendal Berkain.

Bermedia Sosial untuk Berkebaya

Kendal Berkain sendiri eksis bukan tanpa alasan. Aku tersadar usai berjejaring dengan tim dari Cagar Budaya Kendal, bahwasanya, kampung halamanku punya akulturasi kain yang sarat akan historikal pembatik. Sayang rasanya bila generasi muda tak tahu soal ini.

Karena itulah, aku merintis sebuah komunitas bersama dengan dua pegiat kain bernama Agnes dan Riris. Kami merintis sebuah komunitas yang bisa menjadi wadah bagi kawula muda untuk melestarikan budaya Nusantara. Aku pun membuatkan ‘si kecil’ sebuah akun Instagram, media yang nantinya akan menyebarkan informasi lebih luas.

Akun Kendal Berkain kuperlakukan sebagaimana aku memanfaatkan media sosial pribadiku. Bedanya, di sini aku tampil sebagai bagian dari satu kesatuan yang peduli akan kearifan lokal Kendal, bukan sebagai Bida semata.

Lain cerita dengan media sosialku, tempat berekspresi sekaligus membangun identitas diri sebagai “Bida, si wanita berkebaya.” Di sini, aku leluasa membagikan segala aktivitas dengan kebaya yang melekat di tubuhku, entah saat menunaikan tugas sebagai wartawan, berkumpul bersama teman, bahkan melakukan pendakian.

Tujuannya jelas: aku ingin mengajak orang lain untuk turut melestarikan kebaya dengan memakainya setiap hari. Di samping itu, tanggung jawabku juga mencakup bagaimana caranya mengubah persepsi tentang busana adat Jawa yang satu ini.

Stigma yang memandang kebaya sebagai sesuatu yang pakem—busana yang seakan-akan hanya dipergunakan ketika upacara adat atau ritual sedang dilangsungkan—sudah kadung mendarah daging di masyarakat. Padahal, kebaya tidak melulu seperti itu.

“Kebaya juga punya fungsi sebagai item fesyen. Dalam artian, ketika kamu pakai kebaya yang memperlihatkan udel-mu, itu tidak masalah dan tidak menggeser maknanya. Karena, esensi dari kebaya itu sendiri adalah pakaian yang menutupi tubuh. Jadi, dipakai seperti apa pun boleh, asal tetap santun.”

Sambil menyelam minum air; aku memanfaatkan media sosialku untuk berjualan kain dan kebaya, sekaligus membuatku menjadi konsultan kebaya. Ya, label yang kulekatkan pada diriku sendiri membuatku sering dimintai pendapat oleh orang-orang yang ingin mulai berkebaya.

“Bid, kebaya model A bisa dipadupadankan sama apa ya?” atau “Warna ini cocok enggak buatku?” adalah sejumput pertanyaan yang kerap masuk ke Direct Message-ku. Puji Tuhan, kebingungan mereka bermuara pada pembelian kebaya dari usaha yang kurintis.

Dengan Kebaya, Aku Utuh…

Kebersamaanku dengan kebaya memang belum terlalu lama. Namun, darinya aku sudah mengais banyak pelajaran. Ia membantuku mencintai diri yang selama ini kubenci; mengubahku menjadi sosok yang utuh.

Kalau menilik ke belakang, Bida kecil memang sudah ‘terluka’ sejak dini. Ia tersiksa dengan minimnya rasa ketidakpercayaan diri. Entah apa yang sudah dilaluinya sedari umur lima tahun—barangkali lelah dengan rambut keriting yang mengundang banyak ejekan.

Tapi yang pasti, saat itu aku berkeinginan menyerah dengan kehidupan. Seandainya bisa kuputar waktu, ingin sekali kupeluk tubuh mungilku dulu. Akan kubisikkan di telinganya, yang tersembunyi di balik rambut megarnya, bahwa semua akan baik-baik saja.

“Bida, keep spirit and still believing that someday, suata saat kamu akan penuh dengan kepercayaan diri. Akan tiba saat di mana kamu yakin harus tetap hidup untuk menghidupi orang lain. Bukan perihal materi, melainkan dalam bentuk memanusiakan manusia.”

Luka yang menggores jiwaku di masa lalu justru menjadi semangat baru bagiku. Kini, di setiap helaan napasku, bergantung kebahagiaan diri sendiri dan orang lain yang selalu aku upayakan. Aku tak ingin diriku, juga orang-orang yang kusayang, kembali terluka.

Rendah diri tak lagi membayang-bayangi langkahku. Semenjak berjumpa dengan kebaya, aku bisa melihat sosok Bida yang sempurna. Bida yang utuh. Bida yang cukup. Dan, Bida yang tak lagi memusingkan standar kecantikan.***

***Deasy Tirayoh / Nurisma Rahmatika.

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top