Yang Sakral dan Tertinggal di Festival

Manusia adalah ruang cerita dengan pintu yang rapat atau terbuka. Dalam beberapa sudut, ruangku menjadi entitas fiksi, alih-alih menemukan daya ungkap yang lain untuk bersuara. Namaku Ita Siregar, perempuan Batak-Sunda yang nyaris separuh abad membaca narasi kehidupan.

Sepenuh tekad, aku memilih menjadi narator lewat tulisan atas pikiran maupun rekaman peristiwa yang kutemukan. Yang menarik, ada kebahagiaan meruah ketika bersua dengan ragam narator di penjuru negeri, melalui buku yang mereka tulis atau perbincangan tatap muka. Itulah mengapa aku suka sekali membuat festival sastra.

Dan inilah perjalananku…

Perubahan yang Diabadikan

Ia menentang dengan berani. Lantang dirinya membeberkan bukti perselingkuhan sang suami. Lututnya enggan bertekuk di depan si pengkhianat janji-sehidup-semati demi mengemis kasih. Kepalanya tegak melabrak orang ketiga tanpa derai air mata. Dengan ini, ia lepas dari kungkungan stigma: wanita Jepang adalah istri yang penurut lagi setia.

Aku melongo. Apresiasi dalam hati tak henti-henti kuberikan pada penulis naskah film yang barusan kutonton. Terima kasih kuhantarkan untuknya karena sudah menggambarkan perlawanan seorang puan, yang boleh jadi menginspirasi kalangan yang sekeadaan.

Belakangan, aku menggandrungi sineas Negeri Sakura. Kisah yang tadi kuceritakan termasuk salah satunya. Plot ceritanya menyadarkanku akan sesuatu: zaman sudah berubah. Dan, perubahan yang dilakukan itu, salah satunya dengan tulisan.

Memang sebegitu jelasnya tulisan menggores perubahan dalam kehidupan. Sesederhana yang pernah kulakukan di masa kanak: sekali-kali mampu mentraktir temanku makanan enak –dalam hal ini, bakso– dengan uang lebih yang kudapat dari membidani karangan fiksi.

Kala itu aku masih duduk di bangku kelas enam SD. Nama Ita Siregar, untuk pertama kalinya, terpampang di majalah Intisari. Entah apa yang kututurkan saat itu, tapi yang pasti, darinya aku mengantongi seribu rupiah.

Karangan demi karangan tekun kukirimkan. Dari yang semula tertoreh lewat tulisan tangan, kini naik kasta jadi ketikan. Sayang, ayahku mulai peka dengan kebiasaan itu. Beliau tidak begitu menyukainya. Katanya, “Tidak usahlah mengetik-ngetik, nanti mengganggu sekolah.”

Perihal larangan, aku memilih jadi anak pembangkang. Aku mengetik diam-diam ketika ayah sedang tidak di rumah. Maafkan aku, Bapak Siregar! Tapi berkat ketidakpatuhan itu, aku lancar menggurat romansa, persahabatan, bahkan relasi keluarga dalam cerpenku.

Seiring waktu, tulisan tidak lagi sekadar menjadikanku tukang traktir atau anak pembangkang. Lebih jauh, ia membawaku pada kesempatan yang luar biasa. Mempertemukanku dengan banyak jiwa. Membuatku melahirkan sederet festival sastra.

Jembatan Pertemuan Sakral

Tiga belas tahun lalu menandai momen pertamaku merintis festival. Langkah kecilku kala itu dibarengi beberapa kawan Kristen. Beberapa kali pula derap kaki menuntun kami menuju Remy Sylado. Darinya, muncul sebuah usulan: Festival Alkitab –yang lantas dimodifikasi jadi Festival Penulis dan Pembaca Kristiani.

Kami memang bekerja sama dengan Seruni (Seni Rupa Kristiani), tapi tetap saja dana di kantong tidaklah berlimpah. Apa boleh buat, festival tetaplah festival; harus ada pembicara yang membagikan kisahnya di depan massa. Lantas kuundang beberapa karib untuk jadi pembicara.

Kusampaikan pada mereka apa adanya, “Festival ini tak punya uang, bahkan untuk sekadar memberi honorarium sebagai bentuk apresiasi.” Puji Tuhan, mereka tidak mempermasalahkan soal pundi-pundi. Malahan, untuk sampai ke tempat gelaran, mereka rela merogoh kocek sendiri.

Jumat, 26 November 2010 lantas menjadi hari pertama Festival Penulis dan Pembaca Kristiani. Dengan meminjam Museum Mandiri di Kota Tua, kami suguhkan diskusi-diskusi sastra, monolog dengan narasi dari tafsir kitab suci, dan diskusi lirik-lirik dalam lagu-lagu rohani Kristen.

Ada juga workshop TV dan Visual Citizen Journalism, menulis cerita pendek, serta menulis untuk media massa. Semua kegiatan itu rampung dalam tiga hari. Minggu, 28 November 2010 pun menandai perjumpaan terakhir antara penulis dan pembaca Kristiani.

Apakah kesuksesan Festival Penulis dan Pembaca Kristiani membuatku berpuas diri? Tentu saja tidak! Malahan, selang sembilan tahun kemudian, gelaran ini bertansformasi menjadi sesuatu yang lebih akbar: Festival Sastra & Rupa (Sapa) Kristiani.

Diriku, selaku bagian dari penyeleggara, berupaya sedemikian rupa dalam merelevansi tema. Kutemui teolog STT Jakarta untuk memastikan sastra Kitab Suci. Kusambangi pula Ibu Melani Budianta di kantornya, di Fakultas Budaya UI, untuk meminta pendapatnya soal sastra religi.

Puji Tuhan, lagi-lagi, aku mendapat kekuatan dari mereka soal konten. Beberapa karib pun kuundang untuk jadi pembicara, di antaranya Sihar Ramses Simatupang, Dedy Tri Riyadi, Jeli Manalu, Eko Saputra Poceratu, serta perupa Made dan Gede Sukana.

Satu hal yang amat membekas di benakku dari gelaran kali ini ialah: aku menerbitkan belasan puisi Eko Saputra Poceratu yang dikirimnya ke panitia festival dalam buku Hari Minggu Ramai Sekali (2019). Buku itu pun menjadi salah satu nominator di Khatulistiwa Literary Award.

Sekarang Eko sendiri sudah menerbitkan buku-buku puisi yang lain, bahkan barangkali menjadi penyair prolifik di antara penyair seangkatannya. Namun, dari kejadian kali ini, aku menyadari satu hal.

“Dalam satu festival, seorang pengarang atau penyair yang baru menapaki dunianya, akan menemukan dan ditemukan. Kita tidak pernah tahu perjumpaan-perjumpaan sakral itu terjadi diam-diam dalam sebuah festival.”

Pandemi Membidani Festival Literasi

Pandemi covid-19 melanda. Larangan keluar rumah, apalagi mengumpulkan massa pun menggema. Tapi, itu tidak menyurutkan niat kami –para penyelenggara Festival Sapa Kristiani– untuk menggelar hajat yang kali kedua.

Semasa itu, Festival Sapa Kristiani digelar secara daring tiap minggu, selama empat bulan. Lelah memang, namun gelaran kali ini menjembatani pertemuan sakral dengan sosok yang tak kusangka-sangka: Fridolin Ukur, sekretaris PGI pada suatu massa yang ternyata adalah sastrawan angkatan ‘66.

Di momen yang sama, aku sedang terjebak di kota orang. Pandemi membuatku tak bisa berkutik dari Balige; sebuah kota mungil yang menanggung banyak cerita. Tempatku meneliti pertemuan Sisingamangaraja XII dan Nommensen dengan bantuan beasiswa residensi penulis dari Komite Buku Nasional.

Dua tahun lamanya aku leluasa melihat isi perut kota. Selama itu pula, aku sadar di dalamnya miskin sekali kegiatan seni dan obrolan-obrolan sastra. Nuraniku tak kuasa melihatnya. Lantas segera saja, aku dan sejumlah kawan mengadakan Festival Literasi Balige 2022.

Pontang panting diriku merintis sederet festival membuatku tersadar: banyak hal tak terduga muncul saat menyiapkan sebuah festival. Karena itu, aku selalu tertantang untuk membuatnya lagi, dan lagi.

“Tidak menguntungkan secara materi, memang, tapi memberi sukacita di dalam diri.”

Yang Memantik Itu Semua…

Pengetahuan serta keberanian yang jadi modalku merintis festival tidak datang dari mimpi yang lantas mengilhami pikiranku begitu saja. Semuanya bermula ketika aku bekerja di Femina; majalah yang mempertemukanku dengan informasi soal Ubud Writers & Readers Festival.

Waktu itu tahun 2004. Festival tersebut membuka penerimaan volunter. Di sana dijelaskan tugas-tugasnya. Aku tak terbayang seperti apa tanggung jawabnya, tapi tertarik. Lantas segera kudaftarkan diri dan membeli tiket untuk terbang ke Bali.

Festival Ubud tahun itu masih sederhana. Aku ingat betul diminta melakukan sesuatu yang tak tercantum di informasi yang dulu kubaca. Saat sedang wira-wiri di sekitar venue, seorang volunter Australia menarik lenganku.

Ia memintaku menjadi MC lalu memperkenalkan profil Arief Budiman selaku keynote speaker. Kuiyakan. Tanganku lantas gesit mencatat beberapa kalimat di kertas, membacakannya di depan segenap audiens.

Ruang panggung tak begitu luas. Tempat di mana aku berdiri tak berjarak jauh dari sang keynote speaker. Bisa kulihat dengan jelas bagaimana kepalanya mengangguk-angguk seraya profilnya dibacakan olehku.

Dari situ, diriku belajar bagaimana caranya mengupayakan fasilitas untuk gelaran sastra. Bagaimana caranya melobi venue festival, mencetak buku acara, peta program, merekrut volunter, hingga melaksanakan kelas kreatif selama gelaran berlangsung.

Nyaliku makin tajam begitu dipertemukan dengan Radhar Panca Dahana. Ia adalah seorang yang didapuk Kurnia Effendi untuk menjadi direktur festival pada 2012 silam. Sementara aku, adalah orang yang ditunjuk menjadi asisten.

Dari dekat kusaksikan betapa kerasnya tekad Mas Radhar selama mengupayakan terselenggaranya sebuah festival. Ia keras kepala, dan melatihku dengan keras juga. Kalau ia berkata akan melakukan ini, maka itu akan terjadi.

Pernah satu kali Teater Kosong akan manggung di Semarang, atas permintaan Pak Ganjar Pranowo. Semarang tidak punya gedung kesenian yang bagus. Waktu rehearsal, lampu gedung mati terus.

Mas Radhar tidak mencari penanggung jawab gedung, tapi malah berteriak kepadaku. “Ita, sekali lagi lampu mati, pertunjukan ini bubar.” Daripada berhadapan dengan marahnya beliau, aku lebih mending mengancam si penanggung jawab gedung.

“Pak, kalau sekali lagi listrik mati, kami akan bubar acara dan Bapak yang bertanggung jawab, melapor ke Pak Ganjar.” Masalah pun selesai. Sesederhana itu aku dibuatnya menjadi sosok yang tegas.

Karena Mas Radhar pula aku jadi berani. Pernah satu kali, kami hendak memberi Penghargaan Maecenas kepada Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Waktu itu orang-orang sekitar Pak Dedi sedang bermasalah dengan Habib Riziq, Ketua Front Pembela Islam. Ia pun mengancam akan memboyong massa ke TIM –tempat berlangsungnya acara.

Mas Radhar tak gentar. Ia sudah berpesan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menggagalkan acara ini kecuali Radhar Panca Dahana. Kupegang kalimat itu. Aku percaya padanya bahwa ia akan membuktikan perkataannya.

Hingga tiba saatnya seorang jenderal polisi mencariku, si penanggung jawab acara. Katanya, kegiatan ini harus dihentikan. Aku berdialog dengannya:

“Kenapa, Pak?”

“Karena ribuan orang FPI  berdemo di depan TIM.”

“Kalau begitu terima kasih Bapak akan mengamankan kegiatan ini.”

“Kegiatan ini harus dihentikan, Bu!”

“Tidak bisa, Pak. Ini acara kebudayaan, tidak mungkin dihentikan. Lagi pula kami sudah latihan selama tiga bulan, masak berhenti karena alasan takut massa? Dan, penanggung jawab acara ini adalah orang itu, Pak, silakan Bapak bicara dengan beliau.”

Si jenderal tak berkutik. Bapak itu tidak jadi menemui Mas Radhar. Begitulah seorang Radhar Panca Dahana; aku belajar untuk berdiri di atas idealisme dan cita-cita pribadi.

Tuhan Membersamaiku…

Apakah perjumpaan dengan Mas Radhar lantas membuatku jadi si pemberani? Tidak. Sebab pada dasarnya, aku adalah penakut, peragu. Aku bahkan tak cukup mampu mengekspresikan ketakutan itu kepada siapa pun. Tidak bisa.

Karenanya, diriku bergantung kepada Tuhan. Kepada-Nya aku bebas bicara apa saja. Darah yang mengalir di nadiku, si melankolik dan flegmatik, membuatku bisa menangis gerung-gerung kepada-Nya untuk suatu hal yang bahkan tak penting.

“Saya percaya bahwa dalam tradisi Kristen, semua peristiwa di dunia ini terjadi atas izin-Nya. Termasuk luka-luka yang sengaja atau tidak sengaja terjadi pada saya. Itu memudahkan saya untuk tidak terpusat pada luka-luka.”

Di lain waktu, aku menghadapi luka lagi takut itu dengan sikap yang datar. Aku yang dulu mungkin tak bisa begitu; aku sulit memahami dan menerima diri sendiri yang bisa berubah dalam satu menit. Tapi sekarang, no hurt feeling. Semua terjadi atas izin Tuhan.

Terima kasih sebesar-besarnya kuhantarkan untuk Bapa di Surga. Kepada Dia yang melindungi saat kebodohan saya berceceran di sana dan di sini, dalam anugerah-Nya yang tidak terhingga lagi tak terkekang masa.

Juga, terima kasih tak lupa kusampaikan pada Ita kecil. Terima kasih untuknya yang telah bertahan melewati masa-masa sendiri dan tidak mengerti.****

****Deasy Tirayoh / Nurisma Rahmatika.

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top