Merawat Perempuan Papua dalam Satu Tungku Tiga Batu

Tiga tahun lalu menandai tapak pertamaku dalam misi kemuliaan. Tak sepenuhnya mulus, mengingat masyarakat Fakfak kadung lekat dengan pengobatan Mama Biang. Bagi mereka, keberadaan dukun beranak sudah seperti leluhur yang kastanya setara orang tua. Maka, kuawali tekadku dengan merangkul Mama Biang.

Dokter Amira Abdat

Menjadi bagian dari merawat peradaban tentu bukan perkara gampang, terlebih dengan penuh tantangan aku dorong diriku terbang ribuan mil jauhnya dari rumah. Semula di Bogor, kini aku bermukim di Fakfak, Papua Barat, untuk berdiri di garda kesehatan dengan berprofesi sebagai seorang Dokter Spesialis Obgyn dan Kandungan. Namaku Amira Abdat. Usiaku 33 tahun dan beginilah ceritaku…

Awal bertugas, yang kuhadapi bukan hanya aneka rupa pencegahan, kesehatan reproduksi perempuan, ibu hamil, serta operasi . Tetapi juga bagaimana aku bergelut dengan rasa terasing, dan lebih jauhnya adalah dianggap ancaman eksistensi Mama Biang, dukun beranak yang dikultuskan masyarakat Papua sejak berabad silam.

Bertugas di RSUD Fakfak, aku bukan duduk manis di ruang berpendingin lantas menunggu nama pasien sesuai atrean. Tidak jarang aku harus berjalan keluar memberi pelayanan, mengetuk pintu dari rumah ke rumah, bahkan menumpangi kapal kecil menyusuri lautan demi menemui perempuan-perempuan yang butuh pertolongan.

Bahkan untuk ibu hamil di pedalaman, dikarenakan mereka memiliki banyak anak, maka lebih seringnya terhambat untuk datang ke lokasi pertemuan. Sehingga aku langsung datang ke rumahnya dan memberikan edukasi. Di lain kasus, aku bersama tim juga menjemput pasien untuk dilakukan USG. Tak melulu menemui ibu hamil, sebab kasus-kasus di luar kebiasaan pun seakan menjadi santapanku di meja periksa.

Menjadi Dokter Kandungan di Fakfak

Satu ketika, seorang ibu dan anak perempuannya datang. Kupandang perempuan belia yang berbaring dengan perut buncitnya di meja seberang. Rautnya jelas memampang penyesalan. Entah bagaimana nasibnya mulai sekarang: akankah berhenti sekolah lalu menikah? Mata ibunya turut gamang. Ia terpaku menyaksikan sang putri yang terbaring di ranjang.

“Ini siapa yang menghamili?” kataku. Sorot kosong si Mama langsung beralih. Ia menarik nafas dalam-dalam lantas berucap, “Teman sekolahnya yang masih kelas 2 SMP juga.” Aku menelan ludah pahit. 

Matanya berkaca-kaca. Ini bukan kali pertama aku menemui kasus kehamilan usia dini. Dari wajah Ibu yang memucat itu seolah tersirat: rasa bersalah karena terlampau sibuk mengurusi kebun demi menghidupi kelima buah hati, sampai abai mencermati putri sulungnya.

Aku terenyuh. Saban hari aku justru kian merasa dekat dan lazim menyaksikan pemandangan serupa di tempatku bekerja. Kondisinya belum berbeda jauh dari sepuluh tahun lalu—saat pertama kali aku menjejak di Bumi Cendrawasih. Aku harus berbuat sesuatu, benakku.

Tahun 2013. Selang setahun aku merampungkan pendidikan dokter di Universitas Trisakti. Dua tahun lamanya aku menjadi dokter umum dengan penempatan di puskesmas pelosok Fakfak. 

Kala itu, dokter spesialis kandungan terbilang ada dan tiada. Sulitnya pelayanan terhadap perempuan hamil, perempuan usia tua, dan anak perempuan di bawah umur yang mengalami kekerasan seksual masih terus bergulir. 

Itulah yang membuat nuraniku terpantik untuk melanjutkan pendidikan spesialis kandungan dan kebidanan. Kementerian Kesehatan kala itu laksana perpanjangan tangan Tuhan. Mereka memberiku beasiswa untuk menimba ilmu di Universitas Airlangga. 

Terhitung mulai 2015 aku berupaya meraih gelar Spesialis Obstetri dan Ginekologi. Selang lima tahun kemudian, aku pun kembali ke Fakfak untuk mewujudkan misi yang kucanangkan sejak jadi dokter umum: memuliakan perempuan di pedalaman.

Merangkul Mama Biang, Jemput Bola dan Tunaikan Misi

Tiga tahun lalu menandai tapak pertamaku dalam misi kemuliaan. Tak sepenuhnya mulus, mengingat masyarakat Fakfak kadung lekat dengan pengobatan Mama Biang. Bagi mereka, para dukun beranak itu sudah seperti leluhur yang kastanya setara orang tua. Maka, kuawali tekadku dengan merangkul Mama Biang. Sebab akan mudah bagiku dan rekan-rekan untuk menjangkau para perempuan di pedalaman jika sudah mengantongi hati orang yang mereka hormati. 

Ah, aku hampir lupa! Ada hal lain yang membuat masyarakat Fakfak segan bertandang ke pelayanan kesehatan: jarak tempuh dari kampung ke kota menghabiskan waktu berjam-jam. Banyak pula yang belum memiliki kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Setelah kurenungkan, jalan tengah atas semua permasalahan adalah bermuara pada terbentuknya Gerakan Jemput Bola, sebuah layanan door to door yang berakar dari heart to heart.

Aku, dan juga tim, menyambangi daerah pelosok untuk melayani pasien yang tidak terjangkau puskesmas. Kami menghabiskan waktu selama 4-6 jam melewati perjalanan laut dengan perahu berteman angin kencang, ombak, juga hujan deras. 

Sering sekali perahu kami dihadapkan dengan ombak tinggi yang menyebabkan air masuk. Hujan deras yang mengharuskan kami berteduh di pulau kosong. Bahkan, kerusakan mesin yang memaksa kami mematung di tengah laut.

Perahu kecil itu mengangkut kami berlima. Kami pun masih harus berbagi ruang dengan bensin dan genset yang menjelma perbekalan agar alat USG bisa menyala, mengingat akses listrik belum masuk di pedalaman.

Setibanya di tujuan, kami melakukan pemeriksaan ibu hamil di rumahnya masing-masing, melakukan upaya deteksi dini kanker mulut rahim dan infeksi menular seksual, edukasi di setiap jenjang kehidupan seorang perempuan, serta membantu mengurus administrasi BPJS.

Perjuangan kami tak sia-sia: 60 persen angka kematian ibu dan anak teratasi, mama biang pun teredukasi. Kau tahu, apa yang lebih menyentuh hati? Sejumlah pasien yang persalinannya kubantu memberi nama anaknya Amira sebagai bentuk terima kasih. 

Sebegitu berharganya diriku di mata para pasien. Begitu juga mereka untukku; aku sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Mereka adalah segalanya bagiku, sampai suatu ketika aku pernah meminta begini kepada sang Pencipta:

“Ya Tuhan, jika memang ada yang harus pergi, jangan biarkan pasienku yang pergi. Biarkan aku saja karena pasienku masih dibutuhkan oleh suami dan anak-anaknya.”

Satu Tungku Tiga Batu

Gerakan Jemput Bola bukan satu-satunya caraku membuat masyarakat Fakfak melek akan kesehatan reproduksi. Satu Tungku Tiga Batu juga menjadi landasanku untuk melanggengkan edukasi di tempat peribadatan, entah itu gereja ataupun masjid.

Tujuannya sama seperti edukasi yang kulakukan di sekolah-sekolah: untuk menekan kekerasan seks di bawah umur. Termasuk, pemberian pemahaman tentang konten pornografi yang bisa diakses dengan mudah oleh orang yang bukan target pasarnya.

“Karena tidak ada batasan orang tua kepada anak dalam penggunaan gadget, maka kami masuk (memberi edukasi) ke berbagai tempat ibadah. Sebabnya? Di sini kami mudah bertemu dengan anak-anak, orang tua, dan guru-guru juga tokoh agama.”

Tiga tahun sudah diriku membawa pelita di tengah ‘gelapnya’ Tanah Papua. Lantas apakah aku berpuas diri dan jadi jumawa? Tentu tidak! Masih banyak mimpiku yang harus diperjuangkan, salah satunya: membangun rumah sakit khusus perempuan. 

Jika suatu hari diriku diberi kesempatan untuk meraup rezeki berlebih—dan juga diberi kemudahan dari Yang Maha Esa untuk memperluas koneksi—aku ingin memiliki rumah sakit khusus untuk perempuan yang gratis.

Tujuanku masih sama: membantu perempuan-perempuan yang membutuhkan pelayanan apa pun. Entah itu masalah anak-anak, perempuan usia reproduktif, perempuan menopause, dan segala permasalahan seputar kandungan dan kebidanan.

Di Ujung Sana, Ada Cahaya…

Mimpiku besar, jadi aku harus menjelma bak karang yang tegar. Tapi, sedikitnya orang tahu, jauh di lubuk hatiku adalah sebatang dandelion yang mudah bertaburan jika disentuh. Dan, ia yang yang mampu menjamahnya hanyalah Ibu.

Dialah sosok yang paling menginspirasiku menjadi wanita tangguh. Sepanjang hayat dikandung badan, Ibu mengajarkanku kemandirian, kedisiplinan, kejujuran, dan prinsip-prinsip kehidupan yang sesuai dengan agama juga adat budaya.

Sebagaimana yang tersirat dalam buku kesukaanku, The Secret Life of The Unborn Child. Bacaan itu menggambarkan bagaimana dua insan yang bahkan belum bertemu sudah menjalin komunikasi lagi kontak batin. Segala kelebihan dan kekurangan si buah hati sudah diketahuinya sejak masih di dalam rahim. Karena itulah, hanya seorang Ibu yang paling mampu meluluhkan anaknya.

Aku ingat betul beliau selalu berpesan: keberhasilan bukan dilihat dari nilai akademis, melainkan bagaimana kau mampu berdiri di atas kaki sendiri dan bisa berkembang dengan jati diri yang kau miliki.

“Ingat, kau boleh kehilangan segalanya dalam hidupmu, tapi  jangan pernah kehilangan jati diri sebagai perempuan tangguh yang mampu menghadapi badai kehidupan dan tetap bangkit dari segala masalah yang ada.”

Begitu juga dengan Ayah, yang selalu menekankan pentingnya agama dan moral agar bisa seimbang menghadapi segala situasi. Kalau dipikir-pikir lagi, betapa beruntungnya diriku: terlahir dari keluarga yang memahami harapan dan mendukung penuh putri kesayangannya.

Didikan itulah yang membuatku mampu terus melangkah, meski sudah berkali-kali patah. Mereka mengajarkanku untuk tidak menyerah pada keadaan. Segelap apapun jalanku, pasti di ujungnya ada cahaya—yang sebenarnya ada di dalam diriku sendiri.***

***Deasy Tirayoh / Nurisma Rahmatika

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top