Merayakan Tubuh dalam Kendali Penuh

Merayakan kebertubuhan menjadi sesuatu yang niscaya bagi manusia, pun perempuan. Sebab yang kita kehendaki adalah memiliki kendali atas tubuh sendiri.

Debra Yatim.

Mari kita membincangkan bagaimana merayakan tubuh dengan sepenuh-penuhnya kendali diri. Sebagai pembuka, saya akan kenalkan sosok nenek yang seorang muslim sekaligus perempuan Aceh. Ia lihai memanjat pohon, menangkap ikan, bahkan pada eranya, ia juga sosok yang dihormati di kampung. Dan nenek tidak berjilbab, ia cuma mengenakan sehelai kerudung untuk menghalau sengatan terik.

Saya Debra Yatim, keseharian saya dikenal sebagai aktivis sosial, penulis dan jurnalis. Sengaja saya mengawali pandangan ini dengan figur nenek. Sebab beliau merupakan orang yang turut andil memupuk jati diri saya menjadi “Perempuan Indonesia”.

Ya! Nostalgia nenek juga memantik kegelisahan saat menilik situasi belakangan ini, utamanya kala menyaksikan perempuan muslim yang tidak berjilbab –yang mendapat stigma dari banyak pihak atas pilihan penampilannya. Padahal pada suatu tahap, merayakan kebertubuhan menjadi sesuatu yang niscaya bagi manusia, pun perempuan. Sebab yang kita kehendaki adalah memiliki kendali atas tubuh sendiri.

Agaknya, saya menyesalkan fenomena yang telah terjadi dalam kurun 25 tahun terakhir. Sebagai contoh tentang nenek saya tadi, di mana ia hanya mengenakan selendang saat berada di bawah sinar matahari atau ketika ada tamu. Saya tidak pernah melihatnya menggunakan jilbab. Namun, mengapa sekarang orang Aceh beranggapan bahwa tidak berjilbab berarti bukanlah seorang perempuan? Padahal nenek saya tetaplah seorang perempuan meskipun tidak sepenuhnya menutup kepala.

Tentunya, sebagai orang Indonesia, sangat akrab dengan ornamen penutup kepala layaknya selendang yang digunakan untuk melindungi diri dari panas. Terkadang mengenakan atribut tersebut dianggap sebagai bagian dari identitas ke-Indonesia-an, sehingga sulit bagi kita untuk menerima jika digunakan hanya atas dasar kesehatan semata.

Jika mengenakan atribut semacam jilbab tersebut merupakan bagian dari identitas dan dipilih dengan kesadaran, itu adalah keputusan yang patut dihormati. Akan tetapi, saya sangat menyayangkan jika penggunaan jilbab dianggap sebagai tuntutan dari tokoh agama tertentu. Saya menghargai kebebasan individu untuk memilih, namun saya tidak setuju jika itu dipaksakan oleh orang lain.

Saya tidak bermaksud sinis, tetapi saya heran melihat iklan layanan petunjuk di Transjakarta atau MRT yang seolah hanya ditujukan kepada perempuan tertentu yang telah disimbolisasikan dengan cara tertentu pula, yakni dengan gambar perempuan berjilbab. Ini tidak mewakili keseluruhan perempuan Indonesia, termasuk perempuan Budha, Hindu, Kristen, Katolik, atau kepercayaan lainnya. Pastinya iklan layanan tersebut kurang merepresentasikan publik transportasi di mana hak penggunaannya adalah bagi semua kalangan.

Kembali ke masa nenek saya pada tahun 60-an yang tidak mengenakan jilbab, jika saya melihatnya dalam konsep kekinian, maka saya akan berani dengan lantang mengatakan bahwa dia adalah seorang nenek yang sopan, baik, ahli dalam hal-hal seperti memanjat pohon kelapa dan menangkap ikan. Visualisasi tentang perempuan Indonesia yang autentik tidaklah seperti yang marak terlihat sekarang.

Betapa sejarah Indonesia menunjukkan kepribadian perempuan dengan tampilan yang sejati, seperti Kartini yang tidak mengenakan jilbab pada uang kertas, atau Cut Meutia di Aceh yang sempat menimbulkan perdebatan saat uang itu dikeluarkan.

Bertolak dari ihwal tersebut, sedianya gambaran mengenai perempuan Indonesia dapat terus diperluas dan tidak terbatas pada tuntutan-tuntutan tertentu, terlebih hanya terkait penampilan atau pakaian yang harus dikenakan.

Iklan Melahap Tubuh Perempuan

Pada tahap lain, mari melihat tekanan dari kapitalisme yang merasuki kita melalui gempuran iklan. Tak ayal semua produk berbondong-bondong mengusung mitos kecantikan. Di mana aneka produk semisal pemutih kulit atau perawatan wajah anti-penuaan menjadi tagline yang melekati konsumen perempuan. Bahkan, hal tersebut membuat banyak dari kita dibuat khawatir dalam mempersepsikan tubuh. Bayangkan jika perempuan muda berusia 20 tahun saja sudah demikian resah akan ancaman penuaan dini, lantas bagaimana dengan saya yang usianya sudah kepala enam?

Lebih lanjut, kadang kita juga dibuat ‘merasa’ tidak nyaman dengan pandangan yang dibangun oleh iklan mengenai rambut yang tipis, berwarna merah, atau tidak lurus. Sebagian besar masyarakat Indonesia, merasa kurang percaya diri karena ketidakterimaan terhadap keunikan rambut keriting mereka. Selain itu, pattern yang digemborkan industri juga menciptakan hantu kolektif terhadap bagian lain tubuh seperti mata sipit, hidung pesek, lengan kurus, atau badan yang dianggap terlalu gemuk.

Pertanyaan yang muncul adalah tentang definisi “terlalu” dalam pandangan terhadap berbagai aspek tubuh. Apakah kita terlalu kurus untuk melakukan sesuatu atau terlalu gemuk untuk memenuhi standar tertentu? Jika kita terus menerus menilai tubuh dengan standar tersebut, maka kemungkinan besar kita tidak akan merasa nyaman dalam tubuh sendiri. Mencapai kenyamanan dalam tubuh menjadi tujuan yang harus diupayakan sepanjang hidup.

Yang juga tak kalah miris ialah bahwa perempuan sering kali dianggap sebagai sumber ilham dalam pikiran laki-laki. Namun, hal ini sebenarnya menciptakan sebuah cerita fiksi baru yang diproduksi oleh kapitalisme.

Misalnya, keharusan saya menggunakan krim setiap malam untuk mencegah kerutan, sementara sebenarnya apakah kerutan kulit tersebut akan mempengaruhi kemampuan otak saya dalam berpikir atau menjalani kehidupan?

Media Melanggengkan Misoginis

Sebagai contoh, pada Kongres Perempuan Indonesia tahun 1998 di Jogja, ketika 600 perempuan berkumpul, pandangan dan pemikiran kami tidaklah seragam. Namun, media hanya mengemukakan konflik yang muncul dari ruang pertemuan tersebut, dengan sebuah judul kurang lebih demikian:

Jika dua perempuan dalam satu ruangan bisa menimbulkan konflik, bayangkan apa yang bisa terjadi pada kelompok yang lebih besar.”

Padahal, sebenarnya ada 16 butir penting yang kami diskusikan selama 4 hari 5 malam, namun hal tersebut tidak diberitakan yang justru memunculkan secuil dinamika dalam prosesnya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa masih saja posisi perempuan digiring pada konteks tertentu meski nyatanya kompleksitas pemikiran perempuan dalam sebuah diskusi, lazim adanya.

Tentu kami merasa kecewa karena media malahan abai memberitakan berbagai pendapat cemerlang dan keberhasilan perempuan yang berbeda-beda. Mengesankan kalau perempuan tidaklah monolitik dan sulit dipahami sebagai bagian dari proses sejarah.

Padahal, sebagaimana terjadi pada laki-laki di berbagai forum seperti BPUPKI atau DPR, konflik juga merupakan hal yang umum antara laki-laki dan perempuan. Jadi, seharusnya konflik pada pertemuan 600 perempuan tidak dianggap sebagai sesuatu yang aneh.

Inilah persoalan kita bersama. Belakangan ini, media seringkali memberikan sorotan yang lebih terhadap perempuan dalam situasi-situasi yang memunculkan konflik atau kontroversi. Mereka cenderung mengangkat cerita atau peristiwa yang melibatkan perempuan sebagai pusat dari masalah atau sumber ketegangan, yang pada akhirnya membentuk persepsi negatif atau stereotip terhadap perempuan.

Tak jarang kita membaca formulasi judul yang cenderung menebalkan aspek negatif atau kontroversial dari kehidupan perempuan –yang secara tidak langsung membentuk pandangan minor terhadap peran dan posisi perempuan di masyarakat.

Sastra dan Tubuh Perempuan

Saya tumbuh dalam pengaruh sebuah buku, yaitu “Hikayat Siti Mariah” yang ditulis oleh seorang penulis Melayu, Hadji Moekti. Buku ini berlatar kolonial Belanda di Indonesia, di mana alur dan penokohannya menyiratkan bagaimana otoritas terhadap tubuh perempuan tidak diakui atau dihargai dengan layak. Perempuan pribumi yang menjadi gundik atau nyai seringkali kehilangan kendali atas nasib tubuh mereka sendiri.

Tokoh perempuan diposisikan sebagai objek dalam hubungan yang tidak resmi dengan pria Belanda. Meskipun mereka terlibat relasi romansa, namun saat pria Belanda akan menikah secara resmi dengan perempuan dari bangsanya, perempuan pribumi tersebut dipaksa untuk meninggalkan statusnya sebagai nyai. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan atau keputusan terkait tubuh mereka tidak dipegang oleh mereka sendiri, melainkan ditentukan oleh keinginan atau keputusan pria Belanda.

Dalam konteks kekinian, perempuan Indonesia masih sering kali menghadapi berbagai tantangan dalam memegang otoritas tubuhnya. Seperti yang saya gambarkan di awal, terkait bagaimana stereotip perempuan masih berada dalam kerangkeng pemikiran laki-laki yang dinormalisasi lewat dogma, industri maupun media. Seolah perempuan tidak dibebaskan memilih dengan kewenangan dan kesadaran mengenai apa yang nyaman untuk tubuhnya sendiri.

Sementara di dalam sastra dan pemikiran, kita bisa merenung dan menjelajah ke berbagai tempat, tetapi tetap terikat dalam tubuh kita. Kebutuhan untuk memiliki kendali atas tubuh merupakan kebutuhan yang fundamental bagi manusia, baik laki-laki, perempuan, dan berbagai identitas gender lainnya. Oleh karena itu, mari bersama memasuki masa depan dengan kebebasan untuk menjadi manusia seutuhnya.

Perjuangan tentulah masih panjang, tapi tak lantas kita patah arang untuk mengupayakan bagaimana perempuan dapat merayakan tubuh dalam kendali penuh. Salah satu ikhtiarnya adalah, merumuskan pandangan ini bagi pembaca Puan Indonesia.***

***Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top