Natal kali ini bukanlah sekadar perayaan semata, melainkan saat untuk merenung dan menggali makna pengorbanan yang telah dilakukan.
Sriyanti, Terapis Spa.
“Pagi hari masih sibuk melayani pengunjung spa, dan sorenya baru bersiap untuk pergi ke misa Natal di Gereja.” Demikian ucapnya dengan tenang.
Jutaan kisah dari perantau kerap membawa haru tersendiri. Salah satunya adalah cerita tentang Sriyanti Peniro, seorang remaja putri jelang usia 20 tahun. Gadis asli Tana Toraja ini memilih merasakan Natal tanpa kehangatan keluarga.
Jarak ke kampung halaman membutuhkan waktu sekitar 8 jam perjalanan darat dari Kota Makassar. Belum lagi kemungkinan terhenti atau terhambat kemacetan di sepanjang perjalanan, terutama menjelang Natal saat bus-bus penuh sesak. Oleh karena itu, Natal kali ini ia lebih memilih mengirim uang kepada orang tua sebagai pengganti kehadirannya.
Cerita Sri adalah cerminan dari beragam perjuangan perantau dengan pengalaman serupa ketika hari raya tiba. Sri pindah setahun yang lalu. Sebelumnya, tamat SMA ia sempat bekerja di toko kue di kampung halaman namun merasa kurang berkembang lantas memilih untuk merantau. Kini, ia berprofesi sebagai terapis di salah satu spa keluarga di wilayah Panakukkang, Makassar.
Meskipun Natal selalu diiringi keceriaan, Sri memilih menunda pulang merayakannya bersama keluarga. Di kampung, orang tuanya adalah petani yang juga bertanggung jawab sebagai penjaga kerbau orang lain yang biasanya digunakan untuk upacara adat pemakaman Rambu Solo. Kondisi ekonomi keluarganya memicu dorongan Sri untuk meraih perubahan dalam hidup.
Menjadi seorang terapis adalah awal bagi Sri, walau tak jarang ada rasa letih dan jenuh. Akan tetapi ia berjanji pada dirinya untuk terus mengasah diri dan kelak menemukan kesempatan belajar hal lain yang membuatnya berkembang. Mendengarkan beragam kisah sukses pelanggan pijat, tak jarang dapat menjadi motivasi.
“Awalnya saya tidak memiliki keterampilan, hanya tekad belajar sambil bekerja,” kata Sri mengenang.
Selama dua bulan, Sri belajar berbagai teknik memijat, mulai dari teknik refleksi hingga body massage dengan teknik hot stone. Ia melewati masa pelatihan yang melelahkan, namun akhirnya berhasil menerapkan ilmu yang telah dipelajarinya. Setiap harinya, ia dapat menangani maksimal empat pelanggan perempuan. Ia berharap suatu hari nanti dapat memberikan pijatan kepada ibu dan ayahnya yang letih sepulang dari sawah.
Sri adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dan ia satu-satunya yang memilih merantau. Dalam kehidupan yang sederhana, Sri memiliki impian yang besar. Dengan bekerja keras dan memegang teguh prinsip kejujuran, ia yakin bisa menjadi sumber kebanggaan bagi kedua orang tuanya.
Bagi Sri, Natal kali ini bukanlah sekadar perayaan semata, melainkan juga saat untuk merenung dan menggali makna dari pengorbanan yang telah dilakukan.
“Jika orang tua saya dapat merayakan Natal dengan gembira, rasa lelah dalam diri saya juga segera sirna,” pungkasnya. ***
Deasy Tirayoh