Jika dipersilakan masuk ke pintu ala Doraemon yang menyediakan teleportase masa, Naya memilih bertualang ke masa lalu. Ia akan membiarkan masa depan tetap sebuah misteri.
Mungkin terdengar menggiurkan untuk melihat masa depan, tetapi baginya, pengetahuan tentang itu justru membuat hidupnya kehilangan daya tarik. Remaja 14 tahun ini ingin menjalani kehidupan dengan tantangan dan kejutan.
Naya merasa bahwa mengetahui wajah masa depan bakal jadi membosankan, mirip dengan keputusan untuk memeriksa halaman terakhir buku yang sedang dibaca. Mengintip alur cerita membuatnya sadar kalau kejutan dan ketidakpastian adalah elemen yang membuat hidup penuh warna.
Dengan memilih mengunjungi masa lalu juga membuat Naya bisa kembali pada momen-momen berharga untuk mengeksplorasi kebahagiaan yang pernah dirasakan.
Jika Lelah, Ambil Jeda
Meninggalkan utopia Dokodemo Door yang mengawali perbincangan kami, saya menemukan keseruan dan keseriusan lain manakala mengulik pandangan seorang perempuan muda yang kini bermukim di Yogyakarta.
Abinaya Ghina Jameela, nama lengkapnya. Sosok yang kalem namun sorot matanya menyiratkan lesatan imajinasi sekaligus kedalaman pada banyak hal yang dipelajari.
Yang paling mengemuka dalam obrolan kami adalah tentang dunia kepenulisan. Ya, menjelajahi semesta aksara sebagai wahana kreativitas, membawanya rutin berkarya sehingga namanya dikenal khalayak.
Apakah Naya pernah merasa capek melakoni peran dan sorotan sebagai penulis?
Belia kelahiran 11 Oktober 2009 ini mengaku sejujurnya tidak merasa menjadi pusat perhatian. Saat menulis, itu hanya sebagai ekspresi diri tanpa membayangkan seberapa banyak orang yang akan membaca dan menilai tulisannya. Kegiatan menulis adalah kesenangan dan Naya tidak terlalu memikirkan apakah diapresiasi atau tidak.
Misalnya saja, buku puisinya yang terbit pada 2017 bertajuk ‘Resep Membuat Jagat Raya’ tak disangka bisa mendulang banyak pengakuan, salah satunya penghargaan dari ajang prestisius Kusala Sastra Khatulistiwa sebagai peringkat 2 dari 10 besar nominasi.
Di lain sisi, Naya yang sejak usia 5 tahun sudah mengakrabi buku dan bertemu banyak pembaca karyanya, tetap merasa seperti anak perempuan biasa. Meskipun sering bolos, ia berusaha menikmati bermain dengan teman-teman tanpa mendapatkan perlakuan khusus karena statusnya sebagai penulis.
Bila lelah, Naya akan berbicara dengan sang Bunda dan mengambil waktu istirahat, seperti yang terjadi di awal tahun 2023 lalu. Namun, ia juga menyadari bahwa istirahat terlalu lama tidaklah produktif, ia pun bergegas kembali dengan semangat baru.
“Naya percaya kalau semua pengalaman ini akan memperkaya hidup ke depannya. Naya menjalani semuanya dengan menyenangkan, meski terkadang melelahkan,” ungkapnya.
Sepanjang berkarya, Naya sudah menelurkan lima buku, di antaranya 1 buku cerpen, 1 buku puisi, 1 novel, dan 2 buku esai. Saat ini ia juga tengah mempersiapkan sebuah buku novel terbaru yang sempat tertunda proses perampungannya dan diharapkan bisa segera diterbitkan.
Ingin Jadi Detektif hingga Penyihir
Lantas, apakah menjadi seorang penulis memang cita-citamu, Nay?
Rupanya sejak kecil, Naya tidak pernah memiliki rencana atau cita-cita menjadi seorang penulis. Layaknya bocah dengan segudang imajinasi, cita-cita Naya selalu berubah sesuai dengan buku yang disantapnya. Misal, usai membaca Dunia Sophie, ia pun bercita-cita menjadi filsuf, dan setelah membaca Sherlock Holmes, beralih ingin menjadi detektif. Di saat berbeda, ia bahkan ingin menjadi penyihir seperti Harry Potter.
Belakangan Naya tengah tertarik pada dunia psikologi, tetapi belum yakin apakah ingin menjadi psikolog. Begitu juga dengan menulis, walaupun sejak kecil tekun mengakrabi dunia kepenulisan, tapi belum ada kepastian apakah ia akan menjadikannya sebagai profesi masa depan. Yang pasti, ia tidak ingin berhenti melakukannya.
Alasan di balik keinginan untuk setia menulis berawal dari kebiasaan memiliki buku harian sejak TK. Kala itu, Naya membiasakan diri untuk mengisi jurnal setiap hari, mencatat kegiatan dan perasaan sehari-hari. Tujuannya sederhana: agar pengalaman masa lalu bisa diingat kembali di kemudian hari.
Namun, seiring berjalannya waktu, menulis menjadi kebutuhan dan kebiasaan untuknya. Meskipun tidak semua karyanya diterbitkan atau dibaca orang lain, ia merasa tidak lengkap jika ide-ide setelah membaca buku tidak diabadikan dalam tulisan.
Lebih lanjut, Naya menyadari bahwa menulis adalah cara yang lebih efektif untuk menyampaikan gagasan dan ide-ide daripada berbicara di depan umum.
“Jujur, kemampuan berbicara di depan umum Naya kurang baik, jadi merasa lebih nyaman mengekspresikan diri melalui tulisan.”
Keseruan menelisik dunia Naya juga dapat diintip dari buku dan film kesukaanya. Ia memiliki beragam buku dan film favorit yang menurutnya akan sulit diuraikan satu per satu. Beberapa penulis seperti Jin Yong, Mieko Kawakami, Pramoedya Ananta Toer, hingga Roald Dahl.
Dahl, sejak membaca bukunya yang pertama, “Matilda” yang berkisah tentang seorang anak perempuan jenius yang memiliki kekuatan telekinetik dan kecintaan pada buku. “Naya bahkan mengoleksi semua karya anak-anak Dahl, loh! Dalam bahasa Inggris maupun terjemahannya,” sergah Naya bungah.
Kenapa Roald Dahl? Diakui Naya bahwa sebelum menyelami karya novelis asal Wales itu, ia cenderung membaca buku yang bersifat ‘serius’ dengan diksi rumit. Dahl membawa kegembiraan dengan bahasa yang ramah anak-anak, meski terkadang bersifat sarkastik. Gaya bahasa yang sederhana dan cerita yang unik membuat karyanya selalu menakjubkan.
Lepas dari Jerat Perundungan
Membahas tentang isu perundungan yang kerap terjadi, Naya punya kisahnya sendiri. Ketika masih duduk di kelas 1 SD, seringkali Naya mengalami insiden atau perundungan. Ia kerap menjadi sasaran perlakuan negatif, mulai dari kotak pensil yang disembunyikan, rok yang diangkat, hingga dijauhi oleh beberapa teman sekelas.
Bahkan, ada kejadian di mana sepatu dilemparkan dan masuk ke dalam kotak bekalnya. Saat itu, ia bahkan tidak tahu apa penyebab teman-temannya melakukan hal-hal tersebut padanya.
“Mungkin karena Naya berbeda. Saat itu, tubuh Naya kecil, agak cerewet, tidak bisa berbahasa Jawa, dan lebih suka menghabiskan waktu istirahat atau jam kosong dengan membaca buku kesukaan,” tukasnya.
Kendati begitu, Naya tidak pernah menganggap serius tindakan teman-temannya. Ia hanya merasa kesal sesaat, tidak mempedulikannya, dan kemudian kembali ceria, melanjutkan melakukan hal-hal yang disukainya. Mungkin karena masih anak-anak dan melihat hal tersebut sebagai permainan atau keisengan teman-teman. Sebagai hasilnya, semua kejahilan yang dialami Naya tidak terlalu berdampak pada dirinya.
Jalan keluar lain dari jerat panjang perundungan adalah karena di rumah, Naya memiliki tempat untuk bercerita. Bunda dan Mimo selalu mendorongnya untuk berbagi pengalaman baik atau buruk yang dialami di sekolah. Ketika menceritakan kejahilan teman-temannya, mereka selalu memberikan reaksi yang membuatnya merasa didengarkan.
Apakah Naya bisa menyelesaikannya sendiri bersama teman-teman? Apakah Naya memerlukan Bunda atau Om untuk membantu di sekolah? Menurut mereka, mungkin itu bukan hal yang besar sehingga tidak perlu campur tangan orang tua.
Meski demikian, ada satu pengalaman yang membuat Naya merasa cemas terkait kejahilan teman-teman. Cerita itu akhirnya diabadikan dalam buku “Aku Radio bagi Mamaku.” Kejadian tersebut membuatnya percaya bahwa Bunda adalah Ibu yang cerdas. Ketika Bunda merasa kegembiraan anaknya terancam karena kejahilan teman-teman sekelas, Bunda mengambil tindakan cerdas yang tidak membuat malu Naya, teman-teman Naya, dan melibatkan orang tua dan guru.
“Naya nggak pernah membayangkan bahwa satu kalimat sederhana yang tidak merendahkan soal kejahilan tersebut bisa memiliki dampak luar biasa. Hasilnya, teman-teman yang suka menjahili itu berubah menjadi teman yang melindungi dan memperhatikan Naya.” Demikian Naya mengenang situasi yang membuatnya menemukan ‘jalan lain’ menangkis perundungan yang dialaminya itu menjadi hal manis.
Lebih jauh, ketika disodorkan pertanyaan soal peran Bunda. Naya mengaku merasa beruntung menjadi anak dari sosok perempuan yang pintar, kuat dan mandiri. Walaupun sang Bunda memiliki peran ganda sebagai Ibu sekaligus Ayah, semua bisa teratasi dan terpenuhi.
Di mata Naya, ibunya juga menjadi role model tentang bagaimana perempuan perlu bersikap dan bertindak, terutama di tengah dunia yang begitu patriarki dan hegemonik ini.
Anak dalam Pusaran Informasi
Membahas sejumlah kasus perundungan yang marak terjadi dan tersebar di berbagai platform, Naya pun prihatin dan berharap hal ini mendapat perhatian serius. Contohnya saja, seorang anak yang membakar sekolahnya karena guru-gurunya tidak merespon atau melakukan apa-apa atas kasus perundungan yang pernah terjadi padanya. Selain itu, ada juga seorang anak membacok seorang guru, penganiayaan, hingga kasus bunuh diri.
Menyoroti aksi brutal tersebut, sebagai seorang anak, Naya melihat pelaku merupakan sedikit contoh dari banyaknya anak yang kekurang perhatian dan apresiasi, bahkan tidak memiliki orang kepercaayaan untuk berkomunikasi tentang banyak hal.
Pemicu paling berpengaruh lainnya adalah media sosial. Di mana perkembangan teknologi menyebabkan ledakan informasi. Anak dan remaja tidak hanya bisa mengakses dan menyebarkan, melainkan juga bisa menjadi produsen informasi. Sayangnya, hal itu tidak berbanding lurus dengan kemampuan literasi.
“Seperti memakan hidangan tanpa melalui proses food tester terlebih dahulu. Jadi sangat memungkinkan terjadi kasus keracunan hingga meninggal dunia,” pungkas Naya menganalogikan situasi mengenaskan yang kerap menghiasi beranda media belakangan ini. ***
***Deasy Tirayoh