Iin Purwanti, ia berjibaku di tengah rimbun pohon ganja, merawat helai-helai daun dengan saksama. Ada proses panjang, sebelum akhirnya ia menjadi bagian dari pengelolaan ladang ganja secara legal di Amerika.
Kini, perempuan Indonesia ini bermukim di timur laut Amerika. Awal perjalanannya ditempuh lewat jalur pendidikan. Dengan latar belakang sastra Inggris dari UI pada tahun 1996, ia awalnya tertarik pada bidang visual media setelah melihat potensinya di YBLHI, di mana film menjadi corong bagi suara-suara terpinggirkan.
Pada saat yang sama, ia pun terlibat dalam kerja kolektif dengan seorang dari Amerika dalam pembuatan dokumenter. Pada akhirnya, kolaborasi itu yang membuka peluangnya berangkat ke Negeri Paman Sam.
Akan tetapi, perjuangannya tidaklah mudah. Iin juga menghadapi tantangan sebagai pembelajar sekaligus pendatang, dan yang mengemuka tentulah biaya. Tak patah semangat, ia mendaftar beasiswa lantas menyelesaikan tesisnya. Seiring berjalan, ia pun terlibat dalam berbagai proyek produksi bersama teman-temannya di New York. Dari sana, perempuan berdarah Solo ini pun merancang langkahnya di bidang broadcasting.
Iin berhasil meraih gelar Master of Fine Arts (MFA) dalam Penulisan/Pengarah Dokumenter Film dari City College of New York (CCNY) pada tahun 2009. Setahun berselang, ia dan suaminya George, mendirikan Outpost. Sebuah PH di mana ia menjabat sebagai Produser Eksekutif. Rumah produksi ini pun melayani berbagai klien di tingkat global, mulai dari bidang periklanan, pemasaran, hingga industri film.
Ruang Perempuan dan Cinta Hutan
Sampai sekarang, sosok energik ini masih terlibat dalam berbagai produksi, khususnya dalam pembuatan dokumenter yang fokus pada isu-isu kemaslahatan umat. Ia ingin hadir dan memberikan kontribusi lebih besar bagi orang lain. Awalnya, melihat kebutuhan dirinya sendiri, dia yakin bisa memberikan dampak positif yang lebih untuk kemanusiaan.
Iin mulai mempertimbangkan, “Apa yang bisa saya lakukan di sini yang, walaupun dalam skala kecil, dapat memiliki dampak positif yang nyata?” Gagasannya itu kemudian disampaikan kepada rekan-rekan di Yayasan Kampung Halaman di Yogyakarta, sebuah wadah yang telah bergerak selama hampir 17 tahun dengan fokus utamanya adalah mendukung remaja perempuan Indonesia di bidang visual media.
Melalui proses refleksi tersebut, Iin ambil langah dan mulai rancangan konsep untuk memberdayakan perempuan muda di Indonesia. Inilah titik awalnya sebagai seorang penggagas yang terlibat dalam upaya memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, terutama dalam mendukung perkembangan remaja perempuan.
Tekad baik itu diwujudkan pada tahun 2019, Iin turut mendirikan Cinta Hutan Foundation setelah memiliki pengalaman bertahun-tahun di bidang media, gerakan keadilan sosial, dan pengorganisasian komunitas.
Cinta Hutan, sebagai organisasi nirlaba, memiliki misi untuk menciptakan peluang bagi perempuan muda yang terpinggirkan di Indonesia dan Amerika dengan menggunakan media visual sebagai alat untuk aktivisme sukarelawan dan pertukaran budaya. Fokusnya adalah berkontribusi pada komunitas kreatif global yang dinamis dan inklusif.
“Saya ingin perempuan muda di Indonesia mendapatkan kesempatan untuk belajar di Amerika, begitupun sebaliknya. Jadi akan ada pertukaran pengetahuan dan bisa bergulir panjang. Ketika mereka kembali ke tempat masing-masing, diharapkan dapat membangun screening community di tempatnya.”
Tak berhenti di situ, baginya, generasi muda, terutama perempuan, memerlukan dukungan dan dorongan untuk aktif berperan dalam masyarakat, maka lahirlah Cinta Hutan Foundation sebagai wadah bersama.
“Sebenarnya motivasi ini muncul terinspirasi oleh gerakan-gerakan dari teman-teman saat masih di kampus UI, yakni sejak tahun 1998,” kenang perempuan yang menyukai kucing ini.
Berkenalan dengan Ganja
Di Massachusetts, salah satu negara bagian di Amerika, ganja telah dilegalkan. Setiap elemen diatur dengan cermat, dimulai dari perolehan izin hingga pengecekan latar belakang bagi para pekerja. Pengawasan yang ketat diterapkan pada setiap tanaman ganja, termasuk dalam proses produksi yang melibatkan pencatatan dan dokumentasi yang teliti.
Sebuah ladang pun digarap dengan baik di bawah naungan Wiseacre Farm yang dimiliki oleh Jon Piasecki seorang Landsacape Architect lulusan Harvard. Ia bersama kawannya David Jadow menginisiasi desain untuk budidaya komersial ganja secara legal. Di ladang tersebut, Iin bergabung mengurusi manajerial sekaligus terjun mengawasi pertanian.
Saat masih di Indonesia, pengetahuan tentang ganja sama sekali tidak dimiliki Iin. Meskipun mungkin ada orang di sekitar yang mengonsumsinya, tetapi pemahaman pribadi tentang ganja tidak ada. Namun, ketika berada di Massachusetts, muncul minat untuk belajar lebih lanjut. Motivasi ini lahir setelah dirinya menyadari stigma negatif terhadap ganja di Indonesia sebagai hal yang patut dicermati kembali.
“Ketika saya memahami lebih dalam tentang tanaman ini, ternyata manfaat medisnya sangat luar biasa. Saya juga menyaksikan sendiri, contohnya ada seorang anak yang menderita epilepsi. Selain itu, ada orang yang mengalami masalah kejiwaan. Jadi, ternyata pohon ganja tidak hanya digunakan untuk tujuan rekreasi saja, tapi punya manfaat medis yang signifikan,” terangnya.
Rupanya terdapat jenis-jenis ganja seperti Indica, Sativa, dan Hybrid yang memiliki karakteristik dan spesifikasi berbeda, berikut fungsi yang terkandung di dalamnya. Semakin dia belajar, semakin terpesona dengan manfaat medis yang disebut sebagai “keajaiban.”
Iin sendiri bukanlah konsumen ganja, tapi dengan realita yang ditemui, dia mulai melihat bahwa efeknya tidak se-menakutkan seperti yang sering dipersepsikan di Indonesia. Sehingga menjadi penting untuk mengedukasi diri sendiri dan masyarakat sekitar tentang manfaat medis ganja dan merombak stigma yang sudah ada.
Stigma terhadap ganja, dalam pandangan Iin, sejatinya berasal dari persepsi bahwa segala jenis tanaman atau zat dapat disalahgunakan. Namun tentu saja, jika suatu substansi diatur, pendidikan menjadi kunci untuk memahami esensinya. Ketakutan terhadap suatu hal dapat diatasi dengan belajar, agar pengetahuan menjadi lebih komprehensif.
Keputusan Menjadi Petani Ganja
Setelah memahami magical bennefit dari ganja, pandangan ibu anak satu ini menjadi lebih luas tentang sisi lain dari tanaman yang selama berabad silam, sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Nusantara untuk kepentingan ritual, pengobatan, bahan makanan dan pertanian.
Pada awalnya, pertanian ganja yang dikelola cukup kecil, hanya sekitar 5000 meter persegi dengan jumlah yang ditanam sekitar 200 pohon. Seiring waktu, Iin dan petani lainnya berhasil mengembangkan lahan tersebut. Pada tahun lalu, proyek mereka berkembang lebih besar dengan penanaman sekitar 6.000 pohon. Fokusnya adalah pada varietas ganja yang digunakan untuk keperluan medis.
Sebagai informasi, ladang ganja legal hanya diperuntukan sebagai sektor agrikultural yang tidak bisa membuat produk jadi, hanya menanam. Lalu hasil panen didistribusi ke dispensary yang nantinya mengolah jadi produk berlisensi. Semua prosesnya bukan cuma legal, tetapi juga terikat pada sistem peraturan yang ketat, termasuk penggunaan scanner dan pengawasan dari Cannabis Control Comissison (CCC).
Dalam operasional pertanian ganja sendiri, terdapat serangkaian regulasi yang harus diikuti, mulai dari lisensi untuk pertanian, lisensi agen, hingga lisensi untuk setiap pohon, dari biji hingga tahap pertumbuhannya. Setiap tahap direkam secara cermat untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan. Proses ini juga menjadi langkah pencegahan penyalahgunaan, dan sebagai pelaku, Iin belajar banyak dari setiap aspek yang dilakukannya.
“Semua terinventarisir dengan rapi, dari biji hingga siap panen. Jadi minim celah!” ucapnya.
Cannabis, Persepektif Medis dan Bisnis
Selama perjalanan, Iin melihat bagaimana stigma yang melekat pada ganja tidak sepenuhnya beralasan. Meskipun ada potensi penyalahgunaan, manfaat medis yang terkandung di dalamnya sangat berharga. Tidak berhenti sebagai pengobatan, melainkan bisa bergulir panjang sebagai rantai ekonomi.
“Saya pun tertarik untuk mendalami industri ganja ini, dan ternyata, selain aspek medis tadi, ada banyak peluang bisnis yang bisa digarap secara profesional.”
Industri ganja di Amerika ternyata menjadi peluang pekerjaan yang inklusif. Sebagai contoh, latar belakang kriminal atau orientasi seksual tidak menjadi hambatan untuk terlibat dalam industri ini. Batasan usia juga tidak seketat industri lainnya; dari usia 21 hingga 73 tahun masih memiliki kesempatan untuk terlibat. Kesetaraan gender juga diperhatikan, membuat industri ini seperti “berkebun” tanpa diskriminasi.
Sayangnya, di Indonesia upaya untuk mengubah stigma ini tidaklah mudah menurut Iin. Di mana beberapa organisasi, termasuk Lingkar Ganja Nusantara, terus bekerja keras untuk mengatasi stigma yang telanjur mengakar tersebut. Masih perlu upaya panjang untuk bisa melegalisasi ganja, kendati itu dalam konteks pengobatan.
“Saya merasa tergerak untuk membantu menghancurkan stigma yang ada dan membawa pemahaman yang lebih baik tentang potensi positif yang dimiliki oleh industri tanaman ini,” tukasnya.
Lebih dalam, Iin membayangkan jika saja ada pola yang mengintegrasikan ganja secara medis dan memanfaatkan potensinya, dengan regulasi yang matang di Indonesia maka tentu sangat bermanfaat. Di mana perspektif itu terbilang krusial dengan melihat banyak sekali contoh kasus medis yang sedianya bisa terbantukan melalui kebijakan penggunaan ganja yang tepat sasaran.
Menurutnya lagi, tentu semua aspek ini harus dipersiapkan dengan baik sehingga ketika ganja diintegrasikan secara legal, semua elemen dapat berjalan beriringan, termasuk pemahaman masyarakat yang terbebas dari stigma.
“Memang perlu waktu ya! Tapi dengan kesinambungan pendidikan dan dukungan regulasi yang tepat, kita bisa mencapai tahap di mana paradigma soal ganja, terutama untuk tujuan medis, dapat diterima dan dimanfaatkan,” pungkas Iin.***
***Deasy Tirayoh