Suara Tanah: Perempuan dalam Reformasi Agraria

Panggung debat Capres 2024 menggelar berbagai isu krusial. Salah satu yang turut mengemuka adalah mengenai “Reformasi Agraria”. Dalam adu gagasan ketiga cawapres, seorang Dewi Kartika duduk selaku panelisnya.

Berangkat dari “Catatan Seorang Demonstran”, langkahnya mengayun hingga sekarang. Seorang senior mengenalkannya pada tulisan Soe Hok Gie itu. Ia mengkhidmati halaman demi halaman, hatinya pun terpaut dengan dunia aktivisme.

Sosok panelis di Debat Capres 2024 ini, ditunjuk KPU untuk turut menyusun pertanyaan-pertanyaan bersama panelis lainnya. Ia memang dikenal sebagai perempuan yang militan dalam mendampingi aspirasi masyarakat.

Dewi, begitu ia akrab dipanggil, merupakan pemimpin perempuan pertama di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Ia bergabung dengan KPA sejak tahun 2007 dan ikut serta dalam upaya perjuangan reforma agraria. KPA, sebagai sebuah organisasi masyarakat di Indonesia, gigih memperjuangkan hak-hak agraria. Berkat keterlibatannya yang aktif, ia pun berhasil meraih beasiswa studi transisi agraria di Institute of Social Study (ISS), Den Haag, Belanda pada tahun 2011.

Konsolidasi Gerakan Pertanian Banten. (Source: Dewi Kartika Doc).

Dewi mengaku tak pernah merencanakan perjalanan panjang di dunia aktivisme akan bermuara pada agraria. Perempuan yang bertugas sebagai salah satu perwakilan Dewan Global dari Asia itu berujar, jika sebenarnya ia sudah kepincut dengan kerja-kerja aktivisme sejak ia duduk di bangku kuliah.

“Ketika masih kuliah saya selalu tertarik dengan isu agraria, masyarakat adat, dan pedesaan karena rujukannya memang hubungan antar manusia dan kebudayaan,” kenangnya.

Ketertarikannya terus berlanjut tatkala ia mulai menceburkan diri pada gerakan-gerakan akar rumput di masyarakat. Dewi menyadari satu hal, dia hampir selalu menemukan kasus agraria, yang tak jarang sudah berjalan hingga puluhan tahun lamanya.

“Ketika mengunjungi satu wilayah ternyata ada banyak krisis agraria, dan itu baru disadari ketika saya bergabung di KPA,” tukasnya.

Perjalanan mencocokkan teori yang didapatnya melalui kelas-kelas, dengan konflik yang ada di lapangan membuat alumni Universitas Padjajaran itu semakin ingin menggeluti landreform. Ia menyadari, jika permasalahan agraria bukan perkara gampang, terlebih orang-orang yang berada di dalam gerakan akar rumput.

Dibalik Tirai Gerakan Landreform

Bukan tak awas, Dewi tahu jika gerakan akar rumput sejatinya banyak didominasi oleh aktor-aktor maskulin. Gerakan landreform juga tidak terlepas dari dominasi tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, ia semakin meyakini, jika perempuan justru memiliki peran krusial dalam memperjuangkan hak atas tanah.

Tidak sedikit ia melihat para perempuan berjibaku dalam gerakan, memikirkan bagaimana nasib tanah milik mereka. Tidak sedikit pula perempuan yang turut mengambil risiko mengalami represi bahkan kekerasan saat melakukan kerja-kerja aktivisme.

Akan tetapi, lampu sorot itu tidak pernah mengarah pada porsi yang tepat. Perempuan selalu digambarkan media sebagai angka ikut, partisipan demonstrasi, atau pemanis organisasi. Apalagi jika gagasan kesetaraan itu berhadapan dengan dalih budaya, agama, atau bahkan hanya karena kebiasaan saja. Padahal menurutnya gerakan agraria bisa bertahan hingga jauh dan mengakar adalah karena kegigihan perempuan.

“Perempuan itu justru lebih punya keuletan dan kesabaran dalam perjuangan, dan itu pelan-pelan mulai disadari dan diakui, kalau tidak ada perempuan, gerakan agraria tidak akan sekuat ini,” kata Dewi.

Dalam organisasinya sendiri, ia mengamini, jika dominasi laki-laki masih ada di sana-sini. Tapi bukan Dewi, jika ia tidak gigih dan berstrategi, ia tidak ingin berhenti berorganisasi karena ia yakin jika nilai-nilai kesetaraan itu bisa diupayakan.

“Dulu saya mengawali diri sebagai aktivis agraria di KPA itu mungkin nobody, pendatang baru lah ya, anak bawang di gerakan agraria,” ucap dia. “Tapi sebagai perempuan yang punya passion punya keinginan untuk lebih di rekognisi, dan (sekarang) sampai bisa mengambil peran dalam posisi strategis, itu (kesempatan yang sama) bisa diupayakan, maka ruang itu akan dibuka dengan sendirinya,” imbuhnya.

Menjabat pada posisi strategis selaku Sekjen, membuat ia ingin membuka pintu kesempatan yang sama bagi saudara sesama perempuan. Salah satu upaya yang ia lakukan adalah mewajibkan tiap organisasi ranting KPA, untuk mendelegasikan anggota perempuannya dalam setiap rapat kerja.

Keberadaan perempuan dalam gerakan akar rumput seharusnya bukan lagi soal angka. Namun bagaimana suara dan pemikiran perempuan mendapat ruang yang sama dengan laki-laki. “Eksistensi perempuan itu ada, tapi menjadi visibel itu perlu kerjasama antar semua pihak,” tuturnya. Sudah saatnya benar-benar mempraktikkan slogan adil sejak dalam pikiran dengan aksi nyata, dan apa yang dilakukan Dewi tidak hanya sekadar kata-kata.  

“Tidak hanya gerakannya sendiri yang berubah, tapi perempuannya juga harus mendobrak!” tegas Dewi.

Saat di Persimpangan Jalan…

Pada perjalanan panjang aktivisme yang sunyi, siapa sangka jika Dewi sudah legowo menerima kenyataan bahwa aktivisme sama dengan tidak mapan. Meski mengakui jika bukan hal yang mudah, namun bagaimana ia mengabdi pada cita-cita besar reformasi agraria untuk kelompok marginal.

Layaknya orang tua, bapaknya pernah mengkhawatirkan statusnya sebagai aktivis. Menurut bapak, menjadi aktivis memiliki risiko berbahaya, dan tentu, tidak bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Berulang kali bapak menganjurkan agar Dewi berkarir saja. Namun tebal betul kuping Dewi, ia lebih memilih berkecimpung dalam gerakan apapun harganya. Hal ini sempat membuat bapaknya yang keras itu semakin membatu apalagi jika Dewi terlihat ulet dengan kegiatan aktivisme-nya.

Hingga suatu ketika, Dewi tidak bisa berangkat ke kantor KPA. Ia sendiri juga kelimpungan bagaimana caranya agar ia bisa tiba tepat waktu. Melihat anak perempuannya kepayahan mencari solusi, bapak yang selama ini menentang justru memberikan uang untuk bekal.

Entah berapa kali argumentasi, sampai bapaknya sudah tidak lagi bisa membendung kegigihan Dewi untuk mengambil jalan sunyi aktivisme. Bapak tidak pernah lagi protes pada pilihan menjadi aktivis, ia hanya sesekali berpesan agar hati-hati dalam setiap tindak tanduk Dewi.

“Namanya pengabdian kan kita tidak bisa mengukurnya dengan materi, karena kalau sudah sejak awal kita mengejar materi, mengejar karir, maka menurut saya jangan masuk ke dunia aktivisme, karena pasti akan menderita.” pungkas dia saat menyinggung soal metafora kemapanan.

Pernyataan yang ia lontarkan bukan tanpa sebab. Jika menilik perjuangan konflik agraria tidak sedikit yang berusia puluhan tahun. Maka perlu membulatkan tekad sebelum terjun payung pada gelanggang panas aktivisme.

Kembali Menapak Rumput

Sejak 2007 berada di gerakan reforma agraria di bawah KPA, tentu rasa bosan kerap menyergap di pundaknya. Perempuan berdarah Sunda itu tak memungkiri, jika dirinya pernah kepayahan menghadapi tubuh yang lelah. Kerja-kerja yang membutuhkan kematangan berpikir, energi dan waktu tentu bisa menumpuk stres, apalagi jika kerja-kerja itu tidak bisa melahirkan dana pensiun.

“Tentu rasa capek pasti ada, tapi kalau tubuh lagi egois seperti itu, biasanya bisa hilang kalau bertemu ibu-ibu tani di basis-basis,” terangnya mengakui.

Bagi Dewi, bertemu dengan perempuan-perempuan di akar rumput justru yang membuat tubuhnya terus bergerak. Ada api-api kecil yang terus menyala ketika ia berjabat tangan, bersenda gurau dan berada bersama mereka.

“Justru itu yang membuat saya semakin termotivasi, dan semakin tidak enak juga kalau meninggalkan organisasi, yang dia punya nilai-nilai baik, dan sangat penting untuk diperjuangkan terus menerus,” ujar Dewi. “Malu kalau kita aktivisnya gampang menyerah karena urusan materi,” imbuhnya.

Dewi meyakini apa yang ia dan kawan-kawannya lakukan tak ubahnya sebuah pengabdian pada nilai-nilai keadilan. Meski panjang dan sunyi, tapi bunyinya akan tetap menumbuhkan arti. ***

***Reka Kajaksana/Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top