Melahirkan Trilogi dari Rahim Jurnalisme

Catatan ini dibuka dengan kisah pada 79 Masehi di zaman Romawi Kuno yang terletak di Italia. Debu letusan Gunung Vesuvius yang menimbun Pompeii, menyebabkan kota ini hilang selama lebih dari 1.600 tahun. Era klasik tersebut menyisakan dua nama: Plinius Muda dan Plinius Tua.

Dalam standar jurnalistik kekinian, kedua sosok tersebut telah memberikan kontribusi besar terhadap budaya pelaporan informasi, utamanya  melalui pendokumentasian tragedi Pompeii yang hilang.

Jadi, Plinius Tua, sebagai administrator syahbandar Romawi yang terkenal karena surat-suratnya kepada Kaisar Trajan yang berisi catatan tentang letusan Gunung Vesuvius, memberikan contoh awal standar penyelidikan teliti dan laporan berita yang bertanggung jawab.

Sementara itu, Plinius Muda, melalui karyanya yang luas, “Naturalis Historia”, memberikan dasar bagi pendekatan ilmiah terhadap penulisan sejarah dan dokumentasi geologis, memuat landasan untuk penyelidikan modern tentang tragedi tersebut.

Belajar dari akar yang ditanamkan pendahulu, budaya pewartaan adalah peran yang dihormati oleh bangsa Romawi yang diwariskan hingga saat ini. Prinsip itu juga yang membawa seorang Rieska Wulandari mencintai perannya sebagai insan pers di Negeri Bel Paese.

Tragedi Berujung Trilogi

Wawancara secara daring bersama Rieska terasa bagai refleksi memanjang, tak berhenti di penggalian akan serba-serbi profesi jurnalistik yang tekun digelutinya, tetapi juga sampai pada labirin pemikirannya memotret sejarah, budaya, hingga psikologi.

Rieska merupakan perempuan Indonesia yang kini menetap di Eropa, tepatnya di Milan, Italia. Di usianya 44 tahun, ia menjabarkan jika separuh hidupnya dijalani dalam dunia media. Sebelumnya, sarjana komunikasi dari Universitas Padjadjaran ini mengawali karier sebagai koresponden di Suara Pembaruan pada 2001, lantas ia terus mengasah kemampuannya dengan bergabung di media Jepang.  

Hingga kini, ketika hijrah ke Italia, ia pun setia mengalirkan informasi sebagai reporter di South East Asia Today (SEA Today).

Lebih dari dua dekade berkecimpung dalam rimba raya pemberitaan, mulai dari magang hingga pengalaman formal di berbagai media kredibel, membuatnya lekat dengan pola kerja jurnalistik, baik kantor berita maupun koran cetak. Tantangan dan capaian itu menggiring langkahnya jadi kian yakin jika profesi ini sudah tepat digelutinya.

Saya bersyukur atas seluruh kesempatan yang hadir. Saya berharap dapat terus berkembang dalam karier yang saya pilih ini.

Lalu, ada sebuah peristiwa nahas yang membuatnya harus berada di ruang perenungan yang dalam. Perempuan energik ini mengalami kecelakaan ketika bermain ski. Saat kejadian, ia berusaha untuk berhenti, tetapi kakinya gagal mengerem dan alat ski-nya pun gagal lepas secara otomatis.  Posisi tubuhnya saat jatuh sangatlah buruk hingga menyebabkan tendon kakinya terputus.

Awal peristiwa, cedera yang dialami tidak terlihat parah, orang-orang pun dirinya sendiri tidak menyadari kalau sebenarnya ia telah mengalami cedera yang serius.

Mungkin orang lain mengira saya hanya mengalami keseleo atau cedera ringan, sehingga saya tidak langsung mendapatkan pertolongan.

Rieska akhirnya naik sendiri dalam kesulitan luar biasa untuk bergerak, semua tenaga pun dikerahkan dengan cara mendorong mundur tubuhnya sendiri sejauh 30 meter ke atas tebing untuk kemudian mendapat pertolongan lanjutan. Dan ketika akhirnya tiba di rumah sakit, situasinya ternyata cukup kompleks.

Saya memilih nggak membagikan insiden tersebut di media sosial karena nggak mau bikin orang khawatir. Terlebih saya ingin fokus proses pemulihan.

Salah satu perawatan yang ditempuhnya adalah terapi ultrasonik yang mengharuskannya intens dalam posisi tertentu selama kurun 8 jam. Hal itu membuatnya merasa tidak nyaman bahkan mengakibatkan dirinya berada dalam kegelisahan kronik. Ia sempat mengalami gangguan mental seperti insomnia dan depresi.

Di antara pedih yang tak terelakkan, ia lantas menuliskan catatan pribadi sebagai pengalihan perhatian. Tak ayal, kubangan malang sempat menenggelamkannya, karena mengalami kecelakaan yang membuatnya harus menjalani terapi pengobatan yang menyita waktu juga energi.

Namun bukan Rieska Wulandari namanya jika lesap meratapi nasib buruk yang menimpa. Sebagai gantinya, ia mengoptimalkan waktu dan perhatian untuk membaca hal-hal yang disukai, seperti sejarah, jurnal kebudayaan, sampai memeriksa ulang apa-apa yang sudah berhasil dilewatinya di masa lalu.

Dalam periode itu, tak hanya pemulihan pada cedera di kaki yang jadi fokusnya, sebab akhirnya sebuah embrio karya trilogi mulai memunculkan denyutnya. Dan hikmah lain adalah; ia seakan menemukan gerbang baru yang terbuka, membuatnya belajar mengenali diri lebih dalam lagi.

Dengan menulis, saya merasa seperti ikut serta dalam perjalanan tersebut secara mental. Cerita ini mengingatkan saya pada saat saya mulai menjalani karier sebagai jurnalis, yang merupakan momen yang memorable dan romantis bagi saya.

Ia merasa sangat senang ketika orang-orang membaca tulisan yang dibagikan, terutama teman-teman jurnalis yang juga memiliki posisi dan pengalaman serupa.  Kemudian ada yang menyarankan agar cerita yang ditulisnya segera dibukukan. Sejak itu, dengan dibantu oleh sahabatnya Gunawan di Makassar, buku Indonesia Unexplored pun menjemput takdirnya untuk menemui pembaca. 

Saya tidak pernah menjadi pejabat atau figur terkenal di kantor atau media sosial. Tetapi dengan menjadi seorang jurnalis, saya memiliki pengalaman yang unik. Saya yakin bahwa saya memiliki perspektif yang berbeda, terutama sebagai seorang jurnalis perempuan di Indonesia. Itulah sebabnya saya merasa bangga dengan trilogi ini, karena mencerminkan perjalanan karier saya yang bergerak dari media lokal, nasional, dan internasional.

Lebih lanjut, Rieska juga mengaku jika buku yang ditulisnya tersebut merupakan langkah pertama baginya. Mengapa? Karena ia merasa bahwa tiga buku garapannya mencerminkan momen di mana hidupnya  mengalami perubahan signifikan. Secara mental, fisik, dan situasional, ia berhasil melewatinya dan juga merekam fase-fasenya.

Selalu Out Of The Box

Eksistensi Rieska selama meniti karier di panggung jurnalistik pun kerap  dianggap ‘out of the box’ dalam beberapa hal, dan ini bisa membuat orang jengkel karena mereka sudah memiliki motif, ide, dan ekspektasi tertentu. Ketika mereka bertemu dengannya, mereka mungkin berharap sesuatu yang berbeda.

Misalnya, pengalamannya saat bekerja di media Jepang. Tantangan yang berat karena setiap hari ia harus memberikan sesuatu yang berbeda, tetapi tetap menghadirkan fakta yang akurat. Fakta dan data kadang membenturkan perspektif yang segar pandangan yang utuh, dan orang-orang yang beragam. Semuanya harus ia godok secara baik, dan itulah juga alasan mendasar ia sejak awal menyukai pekerjaan sebagai seorang pengulik berita.

Di media Jepang, persaingannya sangat ketat. Mereka sangat menghargai informasi yang semakin eksklusif informasi tersebut, semakin mahal di mata pembaca.

Waktu itu, kami yang bekerja di media Jepang memiliki ekosistem sendiri. Meskipun kami berteman dengan sesama media cetak, namun dalam pertemuan, persaingannya sangat kompetitif.

Di tempat lain, mungkin dalam skala nasional, orang-orang saling menyalin berita. Mereka bisa mendapatkan apa yang dikatakan seseorang dan mengungkapkannya kembali. Tapi bagi media Jepang, pola itu tidak berlaku.

Oke, saya berasal dari Indonesia, tetapi itu tidak membuat saya kurang terampil dibandingkan dengan jurnalis dari negara-negara maju. Saya melihat bahwa media Jepang, ketika berada di Indonesia, memiliki komitmen yang tinggi terhadap kualitas pemberitaan.

Terkadang, menurut Rieska, apresiasi mereka terhadap jurnalis dan informasi lebih kuat daripada di negara mereka sendiri. Ini menunjukkan bahwa popularitas bukanlah segalanya; yang lebih penting adalah menghargai pers dan memberikan informasi yang berkualitas. Bahkan, ia merasakan jika iklim media dalam negeri seringkali terkesan lebih toksik, sementara media Jepang saat itu cenderung lebih objektif dan profesional.

Kian Menemukan Arti

Dunia pers diilhami perempuan berdarah Jawa ini sebagai wahana penuh likuan dan pembelajaran, demikian juga dengan proses pemulihan yang memakan waktu berbulan-bulan. Suasana pandemi COVID-19 yang menggerogoti dunia pun tak urung memberi andil dalam momen kepenulisan buku. Tentu saja, semua rangakaian itu menghadiahinya arti tersendiri.

Menjalani hidup di benua nan jauh, menjadikan ia lebih leluasa berbagi cerita mengenai suasana lockdown maupun penanganan korban di negara Italia. Tak disangka reportase tulisannya tiba-tiba viral. Baginya, fenomena tersebut terjadi karena pada saat itu situasi di Italia sangat berbeda.

Saya tidak bermaksud mengkritik pemerintah atau sejenisnya, saya hanya menceritakan apa yang terjadi di Italia. Hal tersebut menjadi penting karena selama itu jarang ada yang menceritakan situasi di luar negeri. Momen pertama dunia memiliki masalah yang sama, dan ingin tahu apa yang terjadi di tempat lain.

Berbarengan dengan itu semua, Rieska pun mengalami insomnia akut bahkan berada dalam ambang depresi. Dalam upayanya menyiasati situasi untuk dicatatakan kembali, ia berusaha keras mengakses ingatan secara runut tentang masa lalu. Bagaimana ia merasa sakit dan kecewa ketika masih kecil. Nihil. Ia hanya bisa meresapi rasanya, namun tak ingat persis bagaimana peristiwa tersebut melukainya.

Rieska akhirnya mengerti bagaimana ia menjadi pelupa dan perasaannya mudah berubah-ubah. Semua itu membuatnya sampai pada satu pemahaman baru: dirinya memiliki impulsivitas yang mengarah pada gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD.

Pada akhirnya, dengan pengalaman sakit yang saya alami, itu membuka gerbang baru dalam hidup saya. Saya kembali ke masa lalu dan menemukan formulasi serta definisi tentang diri saya sendiri. Orang-orang sering mengatakan bahwa sakit itu seperti kesempatan kedua dalam hidup.

Karena trauma yang dialami, tubuh dan otaknya mencoba menghapus rasa sakit itu dengan mengalihkan perhatian lewat lonjakan waktu yang membuat sistem otak meniadakannya. Ketika ia mencoba menulis hal-hal lain, ia sadar jika itu sudah terlupakan begitu saja.

Otak saya secara sadar membuat saya melupakan pengalaman tertentu, dan ini membuat saya terkejut. Itulah mengapa orang seringkali sulit on time atau mengatur apa pun, karena ada trauma atau rasa sakit yang membuat semua terlupa. Memori bisa loncat-loncat, dan kadan saya memerlukan bantuan teman untuk sekadar mengingatkan bahwa besok harus mengambil MRI atau hal lainnya.

Jembatan itu Bernama Jurnalisme

Terlepas dari semua yang dialaminya itu, Rieska juga menemukan kesadaran lain, betapa profesi jurnalis memang dirasakan cocok untuk individu dengan ADHD seperti dirinya. Karena penderitanya memang akan cenderung penasaran dan suka melakukan penyelidikan. Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa ia sangat gigih dalam meliput bahan menginvestigasi sebuah informasi

Gayung bersambut, ketika memilih untuk pindah mengikuti suaminya ke Milan. Di sini, ia punya wahana untuk melanjutkan peran jurnalistiknya. Betapa tidak, respons masyarakat Italia terhadap profesi jurnalis memiliki akar yang dalam dengan sejarah budaya mereka. Profesi ini lebih dihormati dan memiliki kebanggaan tersendiri.

Menariknya, jurnalis di Italia juga dihargai sebagai sejarawan, karena mereka bertindak sebagai pengawal sejarah dan memberikan laporan yang akurat dan detail tentang peristiwa-peristiwa penting.

Sebagai contoh, laporan tentang sejarah Kota Pompeii yang hilang dan ditemukan kembali setelah beribu tahun kemudian, dalam artefak naskah yang memberikan informasi yang sangat berharga tentang kronologi peristiwa tersebut. Untuk itu, catatan tersebut sangat dihargai karena mereka membantu dalam memahami kejadian sejarah dengan lebih baik.

Lain dengan di Indonesia, situasinya mungkin berbeda karena dalam sejarah kita, kita memiliki tradisi menulis tetapi menggunakan aksara yang berbeda dari yang kita kenal saat ini.

Meski demikian, tidak berarti bahwa kebutuhan akan jurnalis tidak ada di masyarakat. Rieska menekankan, kendati teknologi dan kemampuan menulis telah berkembang, pentingnya jurnalis sebagai pengumpul dan penyaji informasi yang akurat tetap ada, terutama dalam masyarakat yang semakin kompleks dan terhubung secara global seperti sekarang ini.

Kembali pada awal catatan ini dibuka, kisah pendokumentasian dan pelaporan Plinius Muda dan Plinius Tua, yang menjadi rujukan sejarah beberapa abad setelah peristiwa terjadi. Di mana kerja jurnalistik purba yang bangsa Romawi lakukan menjadi penting dalam pemahaman modern tentang bencana, dan naskahnya membantu para sejarawan merekonstruksi peristiwa yang terjadi puluhan abad lalu.

Mari kita bergeser ke saat ini. Saya kira tak ubahnya dengan jurnalisme modern yang sepatutnya menjadi jembatan penghubung akan informasi yang benar dan dapat dipercaya.

Menutup sesi wawancara, Rieska pun berharap jurnalisme dapat memainkan peran dalam menyebarkan berita yang akurat, transparan, dan berimbang, sehingga masyarakat dapat membuat keputusan yang berdasarkan fakta dan pemahaman yang kuat. Dunia sungguh membutuhkan itu! ***

***Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top