Lewat Radio, Suaraku Meratas Batas!

Berita yang dihasilkan media mainstream acapkali sulit diakses difabel netra. Penjelasan yang kurang deskriptif jadi penghambat tersampaikannya informasi.

Hannan Abdullah – Jurnalis Penyandang Tuna Netra

Suaranya renyah khas logat Surabaya. Hannan Abdullah, panggil saja Hannan. Ia adalah penyiar perempuan tuna netra pertama dalam sejarah jurnalistik Indonesia. Kendati demikian, ia tak mau jumawa, ia justru merasa banyak hal yang perlu diasah. 

Di tengah jadwalnya mengajar di SMPLB-A YPAB Surabaya, ia menyempatkan waktu untuk berbincang dengan Puan Indonesia. Mengawal obrolan, pertanyaan soal dunia jurnalistik pun jadi pemantik. Anggota Komisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur itu mengaku kepincut dengan serba-serbi pemwartaan sejak masih kanak-kanak.

Bagi Hannan, menjadi seorang jurnalis bukan perkara mudah, tapi disaat yang sama juga tidak ada batasan, siapapun bisa menjadi jurnalis asal tahu ramuannya. 

“Sebenarnya dari kecil aku sudah tertarik,” tuturnya. Menurutnya siapapun bisa menjajaki profesi ini, tanpa harus menunggu menjadi seorang wartawan yang terikat pada satu media besar. Modal dasarnya hanya butuh kemampuan menyampaikan informasi dan mengkurasi berita. “Kita harus punya kemampuan story telling, punya kemampuan mencari dan meng-akurasi berita,” lanjutnya menambahkan. 

Lebih dalam, Hannan mengibaratkan jika menjadi jurnalis sama dengan mengajar, meneruskan informasi, dan mengedukasi. “Karena jurnalistik itu, dari sedikit yang aku tangkep selama ini itu bisa di semua sektor, jadi idealnya harus ada jurnalis di setiap bidang. entah itu pendidikan, entah hukum, atau apapun,” ungkapnya.

Mengenal Media dari Gelisah 

Ketertarikan Hannan untuk terlibat dalam kerja-kerja media berawal dari keresahan yang selama ini ia temui sebagai penyandang tuna netra. Kecepatan informasi yang diterima kerap menemui kendala. Hanan berpendapat jika selama ini produk media yang  ada belum inklusif. 

“Selama ini yang memberitakan isu disabilitas itu bukan orang disabilitas. jadi, berita yang diproduksi kalau nggak prestasi, ya yang sedih-sedihnya,” terangnya.

Hanan berpendapat, jika produksi berita semacam itu hanya menambah stereotip pada disabilitas. “Jatuhnya setelah membaca berita itu, orang kalau gak kasihan ya ‘ih keren ya luar biasa,’ padahal ya biasa aja (orang dengan disabilitas).”  

Ihwal tersebut yang lantas menjadi modal dasar bagi Hannan dan kawan-kawan untuk membangun media yang berbeda. Mereka berkomitmen memberi ruang sekaligus membumikan bagi para disabilitas di luar sana. 

Sebagai tuna netra, cara paling cepat yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan informasi yakni dengan mendengarkan. “Cara tercepat mengetahui informasi (bagi saya) ya dengan mendengarkan, getting to know others, dan pergi ke tempat lain,” kata Hannan. 

Namun perubahan zaman memiliki tantangan tersendiri. Kini di era serba visual, audio deskriptif sulit ditemui. “Aku sendiri merasa, sebagai tuna netra, to be honest lumayan cukup kudet gitu, kalau ada informasi yang terbaru kita itu gak cepet tahunya,” keluh perempuan berkerudung itu.

“Karena mungkin tahu lah ya kalau semuanya (informasi) itu (lewat) video, disampaikan dalam bentuk visual yang durasinya cuman pendek tanpa tidak ada narasinya sama sekali,” terusnya bercerita. 

Radio Tunanetra Pertama di Surabaya

Berita yang dihasilkan media mainstream acapkali sulit diakses difabel netra. Penjelasan yang kurang deskriptif jadi penghambat tersampaikannya informasi. Apalagi jika penyiar atau pembawa berita hanya menggunakan kata tunjuk tanpa menjelaskan lebih detail. 

“Sekarang mayoritas orang kalau lihat jendela aja, pasti bisa melihat apapun, misal ada kendaraan, ada orang lewat. Sedangkan tuna netra, kita tuh nunggu diberitahu dulu, atau kita harus mendengar suaranya dulu, baru kita tahu ada apa di situ.” 

Hannan mengamini jika jeda informasi kerap dialami difabel karena teknis-teknis seperti yang ia jelaskan. Menyadari hal tersebut guru bahasa inggris itu ingin mendobrak batasan-batasan yang ada.

“Delay itu yang ingin aku kejar,” terang Hannan. 

Bak gayung bersambut, Hannan bertemu dengan pegiat difabel lain yang memiliki semangat yang sama. Melalui pergumulan panjang, terciptalah Radio Braille Surabaya. Radio tunanetra pertama tersebut lahir tepat pada peringatan Hari Disabilitas Internasional, yakni 3 Desember 2022. Media ini diharapkan dapat menjadi corong dan sarana advokasi bagi para difabel.

Radio Braille Surabaya dibentuk dari hasil kerjasama antara para pendidik di bawah Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (YPAB) dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya. 

Dengan menggunakan metode penyampaian informasi yang auditif, pendengar diharapkan mampu memahami apa yang disampaikan oleh penyiar. “Kalau ditanya perbedaannya ada pada sisi bagaimana kita menyampaikan informasi,” tuturnya.

Dalam menarasikan peristiwa maupun objek, maka Hannan punya formulasinya, “Jadi secara umum kita akan narasikan apapun, contoh oh ini kita sekarang lagi ada di depan sini ada sebuah jembatan, jembatannya berwarna merah,” imbuhnya.

“Nah orangkan kalau melihat video gak perlu menjelaskan lagi, karena udah keliatan oh di depannya ada jembatan, ngapain diomongin lagi? tapi kita berbeda, kita masih akan menarasikan hal-hal itu,” terusnya. 

Sementara itu, Konten siaran Radio Braille Surabaya sendiri dapat diakses melalui kanal Youtube Radio Braille Surabaya, beberapa program yang dapat dinikmati antara lain yaitu edukasi, reportase, dan ekspresi. Nyaris semua  isu-isu yang dibahas merupakan isu popular dengan menggunakan perspektif atau interseksi versi para penyandang disabilitas. 

Inklusif Sebagai Akar Perubahan

Sebagai Koordinator Distribusi dan penyiar di Radio Braille Surabaya, Hannan ingin masyarakat lebih memahami difabel. Bukan hanya perkara isu dan urgensitas, namun juga bagaimana berinteraksi dengan kawan-kawan difabel, dan membobol batas antara mayoritas dan minoritas. Menurutnya intisari inklusif bukan soal kesempatan semata, namun bagaimana aksesibilitas bisa menjadi mudah dan setara. 

Menyoal aksesibilitas misalnya, remaja perempuan tunanetra seringkali kesulitan mendapat informasi terkait kesehatan reproduksi. Topik menstruasi misalnya, hal ini cukup menarik perhatian Hannan. Sebab sebagai perempuan tunanetra ia juga mengalami kesulitan mendeteksi apakah ia sedang menstruasi, apakah hanya keputihan. 

“Sebagai perempuan menstruasi dialami bertahun-tahun dan tiap bulan, selama ini informasi mengenai menstruasi bagi perempuan difabel jarang dimuat di media massa, padahal itu sangat penting!”

Hal-hal demikian yang ingin Hannan muat dalam konten-konten Radio Braille Surabaya. Ia juga berharap apa yang diproduksi oleh radionya bukan hanya bisa dinikmati kawan-kawan difabel, melainkan juga bisa dicerna mayoritas non difabel, agar lingkungan inklusi bisa tercipta. ***

*** Reka Kajaksa / Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top