Perempuan, Perjuangan Kelas dan Media Alternatif

Daya juangnya terpantik, antara lain, oleh sebuah ungkapan Perempuan adalah setengah dari masyarakat, tak ada revolusi tanpa perempuan, yang merupakan nukilan dari Nawal El Saadawi. Karya bernas penulis Mesir itu terekam apik dalam pemikiran dan pergulatannya.

Ia sedianya tumbuh sebagai anak desa, ayahnya buruh, terpinggirkan dan akrab dengan kemiskinan. Ialah Luviana Ariyanti, yang kini menjadi Pimpinan Redaksi Konde.co, sebuah media alternatif yang mengangkat ragam isu perempuan, terutama kelas menengah bawah.

Bertempat di kantornya di bilangan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, janji temu untuk wawancara disambutnya dengan semringah. Tampak ia sudah menyempatkan waktunya, usai berjibaku dengan tim redaksi.

Tak ayal, perbincangan dengan Luviana pun merilis ragam wawasan juga pergolakan tersendiri, khususnya mengenai perempuan dan jurnalistik di Indonesia.

Pertarungan Panjang Melelahkan

Mengenal nama Luviana, tentu saja erat dengan aksi perlawanan atas diskriminasi. Pada tahun 2012 silam, ia berdiri tegak membawa sebuah pamflet pernyataan sikapnya di tengah terik Bundaran HI. Seorang diri. Langkah itu ditempuhnya demi memperjuangkan hak-haknya sebagai karyawan yang di-PHK sepihak oleh stasiun televisi tempatnya bekerja selama lebih dari satu dekade.

Dua belas tahun berlalu, namun peristiwa yang menimpa perempuan kelahiran Klaten tersebut masih demikian lekat dikenang. Kala itu, menurut Luviana, intimidasi sudah dilakukan pihak manajemen sebelum kasusnya diangkut ke publik. Tindakan berupa pengusiran dan penahanan dari pihak satpam kerap terjadi saat ia bersikeras masuk ke area kantor. Ia tidak diperkenankan bertemu dengan manajemen untuk menyelesaikan kasusnya.

Luviana dipecat sepihak lantaran manajemen menganggap sikap kritisnya mengancam perusahaan. Sebab ia lantang menyuarakan perbaikan untuk kesejahteraan karyawan, merencanakan pembentukan serikat pekerja, menyerukan sistem penilaian kerja yang lebih objektif, serta meminta peningkatan dalam program siaran yang sensitif terhadap gender dan HAM.

“Dua tahun lamanya kemelut itu berlangsung. Secara mental dan finansial, saya sudah babak belur. Tapi saya tegak lurus dengan apa yang menjadi perjuangan saya.”

Tidak sendirian, Luviana pun dikawal oleh 70 organisasi yang turut andil dalam barisan perjuangannya, termasuk Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) dan Lembaga Badan Hukum (LBH) Pers. Dengan demikian, ia pun kian getol melawan untuk mendapatkan haknya.

Setelah likuan panjang, perjuangan menuntut hak dan mengadili sejumlah oknum yang mengintimidasi aksinya pun berbuah manis. Pengadilan memutuskan haknya diberikan dan para pelaku intimidasi mendapat hukuman.

“Saya sebenarnya sempat trauma. Sekitar dua tahun menepi. Kemudian nurani kembali terpanggil untuk membentuk sebuah media alternatif.”

Akhirnya, pada 8 Maret 2016, seiring perayaan Hari Perempuan Internasional, media Konde.co pun diluncurkan dengan semangat mengelola ruang publik berperspektif perempuan juga kaum minoritas. Dan sebagai salah satu inisiator, sosok Luviana pun didapuk menjadi pimpinan redaksi.

Tidaklah gampang, Luviana mengaku pada masa awal pendirian media tersebut, ia harus struggling dalam hal keuangan. Bahkan ia mengalokasi dana pribadi dari pekerjaan lain untuk menggaji karyawan. Tapi sosok anggota Majelis Etik AJI ini tak gentar dengan langkahnya.

Tebukti hingga kini, sewindu sudah Konde.co tetap eksis dan setia menghidupkan wahana pemikiran kritis bagi perempuan Indonesia.

Pintu Gerbang Bernama Kajian Gender

Jauh sebelum Luviana menempuh pendidikan sebagai mahasiswi Ilmu Komunikasi di Atmajaya Yogyakarta dan Kajian Gender di Thailand, kehidupan perempuan kelahiran 28 Oktober 1972 itu bermula di rumah kontrakan sederhana yang disewa orang tuanya. Luviana kecil kerap menghabiskan waktu dengan mandi di sungai sembari menyaksikan kemiskinan yang jadi bagian kesehariannya.

Hingga tak jarang, saat masih bermukim di lingkungan buruh pabrik gula di Klaten itu, Luviana bersama kedua saudaranya pun terpaksa melewati masa-masa prihatin.

Ia masih bisa mengingat rasa seiris telur dadar dengan tambahan banyak garam, di mana lauk dari sebutir telur itu harus dibagi lima, untuk dimakan bersama nasi oleh seluruh anggota keluarga.

Yang juga tak bisa dilupakan Luviana, yakni saat ayahnya memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta demi menjemput nasib keluarga dengan cara melanjutkan pendidkan. Praktis ibunya memutar otak untuk mendapat penghasilan tambahan. Tabungan keluarga pun dijadikan modal untuk mulai beternak ayam.

“Sepulang sekolah saat masih SMP, saya dapat tugas nyari kangkung untuk pakan ternak. Saya ingat betul bagaimana kami diajari Ibu untuk saling bahu membahu dengan peran masing-masing,” kenangnya.

Sejak itu, pelan namun pasti karier ayahnya naik dan usaha keluarga pun berkembang. Hingga mereka tak perlu ngontrak lagi. Bahkan hal manis sekaligus menggugah yang nempel di benak Luviana adalah kebiasaan sang ayah yang membekali sumber bacaan di rumahnya, dengan berlangganan koran juga majalah.

“Bapak gak bisa ngajak kamu melihat banyak tempat, tapi dengan membaca semua ini kamu bisa menjelajahi dunia,” ucap Luviana menirukan. Itulah pernyataan yang menjadi pendorongnya untuk terus membaca hingga sekarang.

Luviana melanjutkan sekolahnya di SMA BOPKRI, salah satu yang favorit di Yogyakarta. Kesempatan itu membuatnya bisa bersua dengan berbagai kalangan. Mulai dari anak bupati hingga anak tokoh terkemuka lainnya bersekolah di sana. Dengan begitu, ia juga menyaksikan adanya keragaman kelas sosial yang lantas memantik kegelisahan lain di benaknya.

“Saya akhirnya menuliskan isi kepala dalam tulisan, temanya bermacam-macam, mulai dari naksir-naksiran sampai isu kemiskinan. Nggak nyangka, banyak teman yang menunggu lembaran tulisan saya saat itu.”  

Kebiasaan membaca dan menuliskan gagasan membuatnya akrab dengan dunia pewartaan. Luviana kian mengasah keterampilan itu dengan masuk ke jurusan jurnalistik, setelah mendapat anjuran dari kerabat jauhnya. Bahkan sembari menimba ilmu itu, ia juga sempat membentuk kelompok kajian gender dengan segelintir kawannya.

“Saat itu saya aktif sebagai relawan untuk perempuan di Koalisi Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Lalu tergabung juga dalam Divisi Pemudi dan Mahasiswa. Kemudian, ketika isu buruh perempuan kian marak di perbincangkan, saya pun terlibat di AJI sebagai koordinator dan bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi,” ungkapnya mengingat.

“Jadi, saya telah berkecimpung dalam isu perempuan, buruh dan kemiskinan ini lebih dari separuh usia saya,” lanjut penerima deretan penghargaan prestisius di bidang jurnalistik itu.

Setelah menyelesaikan kuliah komunikasinya, Luviana mengawali karier sebagai jurnalis di sebuah stasiun televisi. Di sana, ada pertaruhan hebat dalam hatinya. Ia melihat bentuk ketidakadilan dalam manajemen yang merugikan dirinya dan rekan-rekan sejawat.

Hal yang mengusiknya adalah sistem kerja yang tidak adil, rendahnya kesejahteraan karyawan, hingga pemberitaan yang kurang peka terhadap isu gender, semuanya itu menjadi objek kritiknya.

Media sebagai Pelantang Suara Perempuan

Dibeberkan Luviana, jika kelahiran Konde.co merupakan bentuk reaksi terhadap dominasi kepemilikan media oleh segelintir individu yang diintervensi berbagai kepentingan, baik di ranah ekonomi maupun politik.

Untuk itu, konten dalam media alternatif yang dibentuknya hadir sebagai wajah pembaruan yang menyuguhkan keragaman angle, dengan menyoroti kelompok terpinggirkan yang sering diabaikan.

Hal lain yang juga menjadi sorotannya adalah menyoal media mainstream dengan struktur redaksi yang kaku, bersifat top-down, dan kebijakan yang tidak progresif. Kebanyakan media melarang pembentukan serikat pekerja, pembatasan hak cuti haid, serta kesulitan dalam mengakses pendidikan atau pelatihan.

“Kondisi begitu makin menegaskan dominasi dan kontrol yang kuat dari pihak manajemen, yang lebih mementingkan keuntungan dari pasar ketimbang hak-hak pekerjanya, iya kan?” tukas lulusan pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Paramadina itu.

Lebih lanjut saat ditanya apakah media alternatif bisa jadi arus perlawanan yang signifikan. Luviana tetap optimis, banyak masyarakat yang masih perlu diberi ruang sekaligus corong atas suara yang kurang didengarkan.

“Kami di sini melihat arus pertumbuhan media dengan kualitas pemberitaan makin liar dan mengumbar sisi sensasional belaka. Ruang-ruang untuk narasumber hanya berkutat pada mereka yang punya jabatan tinggi dan yang tinggal di perkotaan,” ungkap Luviana.

Untuk itu, menurutnya, media dengan spirit pembenahan dan penyediaan terhadap pemikiran kritis menjadi perlu. Di sini, beragam wacana seperti kemiskinan, diskriminasi, serta pola pikir berbasis humanisme senantiasa menjadi ranah utama dalam gerakan jurnalisme publik.

Bahkan yang tak kalah penting adalah memberi perhatian pada masyarakat kelas bawah seperti buruh, PRT, hingga kaum marginal lainnya. Salah satu program yang digagas adalah mengajari mereka menulis sebagai aktualisasi dan media kampanye.

“Hasil tulisan mereka itu kami muat dalam laman khusus di Konde.co.”

Jalur Alternatif Jadi Pilihan

Menyangkut arus liar media online yang tak terbendung, Luviana kembali mengajak untuk meniliknya dalam deretan tanda tanya.

Apakah sudah bergulir secara imbang? Apakah lebih banyak tulisan tentang fashion sebagai gaya hidup daripada tentang dampak negatif fast fashion terhadap buruh perempuan? Apakah kita sering mengucapkan, “Ibuku tidak bekerja, dia hanya di rumah sebagai ibu rumah tangga”? Juga apakah mayoritas kita memandang mobil sebagai solusi yang murah dan nyaman ketimbang penyebab kemacetan?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggugah sesiapa untuk memeriksa kembali preferensi dan pola pikir masyarakat dalam menghadapi berbagai isu yang berkaitan dengan gender, kesejahteraan sosial dan ekonomi secara lebih holistik serta berimbang.

Bahkan, jika hard news dianggap rumit, harusnya berita dari dunia hiburan jadi potensi sebagai pintu masuk untuk meningkatkan literasi warga dalam berbagai isu.

Sayangnya, praktik infotainment yang ada tidak selalu menyajikan informasi yang bermutu. Sebaliknya, mereka cenderung memperkuat “noise” yang lebih fokus pada konflik dan drama tanpa relevansi dengan kehidupan publik.

“Makin berseliwerannya berita tanpa nilai itulah yang menyebabkan masyarakat terbiasa memberikan perhatian pada isu yang nggak penting, sementara isu-isu yang lebih substansial terabaikan,” tegas perempuan yang menulis sejumlah buku tentang media dan jurnalistik itu.

Panduan Pemilu Perspektif Perempuan

Kita baru saja menyaksikan kontestasi dalam Pemilu 2024. Ada berbagai sisi yang jadi perhatian, antara lain maraknya penumpang gelap demokrasi yang menggerus paradigma masyarakat lewat atraksi para buzzer, influencer berbasis cuan, seruan tak sedap dari netizen, hingga keberpihakan media demi mencari keuntungan.

Dalam keriuhan Pemilu itu, isu perempuan terasa nihil dan tidak dimunculkan sebagai isu bersama. Luviana pun menggedor melalui Buku Panduan Pemilu Berperspektif Gender. Dalam rumusannya, ia bersama tim menyusun berbagai urgensi perempuan dalam setiap pesta demokrasi tersebut.

“Diskusi tentang Pemilu dan Pilkada seringkali memprioritaskan kontestasi politik saja, termasuk debat antar-calon yang abai memberi ruang terhadap isu-isu yang relevan dengan perempuan,” tegasnya.

Menurutnya lagi, debat politik seringkali tidak menyentuh topik-topik yang berkaitan dengan substansi perempuan. Selain bahwa masih jarang adanya buku panduan Pemilu yang mempertimbangkan perspektif gender, kalaupun ada masih bersifat general, maka kehadiran buku ini akan melengkapi materi sebelumnya dengan inklusi gender.

Luviana berharap melalui buku panduan, dapat memperluas pandangan politik dari sekadar fokus pada kandidat laki-laki, dan memperhatikan peran yang dimainkan oleh perempuan dalam proses politik. Terutama, karena perempuan juga memiliki relevansi dalam konteks Pemilu.

“Tidak lagi berkutat pada judul dan isi berita yang mengulik perbandingan tampilan Selvi Ananda dan Atikoh saat kampanye Pilpres,” sergahnya.

Yang juga disayangkan, liputan media seringkali cuma memberi perhatian pada representasi 30% dari kuota perempuan. Padahal ada banyak substansi lainnya yang menempatkan peran perempuan dalam kancah politik.

“Dengan begitu, ke depan kita bisa menajamkan perspektif perempuan dalam Pemilu,” pungkas Luviana menutup sesi wawancara.

Kembali menyambung sebuah nukilan Nawal El Saadawi: Kita tidak dapat memiliki demokrasi tanpa perempuan. Sejatinya kutipan dari buku “Perempuan di Titik Nol” itu bisa menjadi titik pergerakan bagi perempuan di Indonesia. Semoga!***

***Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top