Menenun Identitas dan Ekonomi Berkelanjutan

Di Bumi Kartini, cita-cita Anis Machfudoh lahir sebagai serat yang membawanya pada kelindan gagasan. Lewat kain tenun, ia bersuara sekaligus bergerak mengintergrasikan sektor ekonomi dan ekologis secara bersamaan.

Bekerja di tengah kota, menikmati hiruk pikuk metropolitan adalah gambaran paling umum yang terpatri di benak sejawatnya. Namun tidak bagi seorang Anis, lulusan UGM itu merasa cukup dengan menambatkan hatinya pada kain tenun di Kota Ukir, Jepara. 

Pengembaraannya pada kain tenun bermula saat ia bertemu dengan sekelompok anak muda yang sedang menggelar workshop tenun di Yogyakarta, 2019. Kala itu, ia tidak sengaja terlibat dalam proyek yang sama, dan bersinggungan dengan muda-mudi asal Jepara. 

Saat berkenalan lebih lanjut, hal yang menarik bagi Anis justru bukan karena motif atau cara pembuatan kain tenun itu sendiri, melainkan sistem berbisnis mereka yang tidak mengatasnamakan perorangan, melainkan kolektif.  

“Konsepnya tuh kayak kolektif, kepemilikan bersama yang fokusnya sinergitas.  Jadi bukan dipunyai perseorangan terus ada bos dan karyawan gitu,” tukas perempuan 28 tahun tersebut. 

Bagi Anis, model bisnis secara kolektif jarang ditemui. Dengan demikian, perempuan kelahiran Demak itu mulai menggali dan terlibat langsung dalam proses pembuatan kain tenun di Omah Petrok. 

Di Balik Tenun Jepara

Saat awal mengenal sistem alternatif, Anis langsung tertarik lantaran pola bisnis yang terbentuk di Omah Petruk. Ia melihat di ruang berkreasi yang berdiri di bilangan Pecangaan, Jepara itu menciptakan nilai sosial dan lingkungan yang positif, yang mendorong kolaborasi aktif antara anggota kelompok, yang dapat menghasilkan sinergi dan kekuatan lebih besar daripada usaha individu.

Ngelihat itu aku merasa kayak wah ini nih alternatif sistem yang bagus, ya akhirnya kesempyok gitu sama dunia tenun,” ungkapnya pada Puan Indonesia. 

Semakin mendalami tenun, Anis mulai memahami tantangan yang dihadapi para pengrajin, khususnya di Jepara. Motif tenun misalnya, sudah berabad lamanya Jepara terkenal sebagai kota industri sekaligus menjadi rujukan pedagang untuk memproduksi kain tenun beragam pattern.

Bahkan hingga kini, Kabupaten Jepara terus memproduksi motif nusantara lainnya, seperti Toraja, Sumba sampai Lombok yang digarap dengan harga murah. 

Sayangnya, menurut Anis, lantaran terlalu lama membuat pesanan tenun luar Jawa, para pengrajin tidak memiliki waktu cukup untuk memikirkan motif mereka sendiri. Alhasil tidak ada motif khas Jepara yang bisa mewakili identitas orang-orangnya. 

Lebih lanjut, di era serba digital ini pengrajin yang tadinya hanya memproduksi, kini juga turut menjual hasil keringatnya. Ada masa dimana ketika pengrajin Jepara menjual produknya, justru dilabeli sebagai plagiarisme. Hal ini disebabkan karena motif yang berada di kain tenun mereka merupakan motif-motif daerah lain.  

Anis kembali menjelaskan, jika hal tersebut bisa terjadi karena masih minimnya perhatian pemerintah terhadap pekerja rumahan, sehingga menyebabkan selisih paham. Terlebih di era digital sekarang, pedagang bisa mendistribusikan sendiri produknya, alih-alih tanpa preferensi tentang produk yang dihasilkannya.

“Jadi rancu. Orang-orang Jepara yang tadinya cuman bikin, akhirnya sekarang bisa jual sendiri lewat online. Konsumen pun melihat produknya sebagai motif yang berasal dari Jepara.”

Menuruti Anis, hal itulah yang bikin rancu publik. Kendati tenunan dibuat di Jepara, tapi ketika diklaim sebagai tenun Jepara, maka orang-orang daerah Lombok, orang-orang daerah Flores, Toraja bisa melayangkan protes. Hal itu pun yang memantik risaunya.

Sejalan dengan gerakan yang diusungnya, maka pada tahun lalu, Anis bersama seniman perempuan dari Jepara mendirikan kolektif perempuan yang diberi nama Jaladara Collectiva. Di mana agenda terdekatnya adalah membantu rekan-rekan peneliti di Belanda dalam pengumpulan data tentang Kartini.

Sedangkan untuk penelitian terbarunya adalah riset kreatif di Kediri pada bulan Oktober 2023, yang menggambarkan Pranata Mangsa dalam kerja-kerja kolektif petani. Output dari riset ini adalah sebuah instalasi seni yang dikembangkan bersama tiga rekannya, yaitu Romi, Triomei, dan Taufiqur, yang merupakan bagian dari kolektif KamArt Kecil.

Kontemplasi Menggali Identitas

Anis mengakui jika perbincangan perihal motif seni Jepara cukup menarik. Pasalnya di kalangan elit-elit kebudayaan, juga gagal memahami kultur Jepara sebagai kota produsen. Secara historis, masyarakat Jepara adalah pekerja seni, pengrajin, dan produsen. 

“Tadinya banyak yang belum paham. Sampai ada, beberapa kawan yang membuat penelitian lewat skripsi dan tesis di sini. Hasil riset mereka itu sampai ke elit kebudayaan pusat, barulah kesadaran itu muncul,” beber Anis. “Secara historis kan Jepara bukan mengklaim. Bukan plagiat. Tapi mereka memang produsen,” mimiknya menirukan ekspresi Budayawan. 

Kini lebih dari seratus motif tenun Jepara sudah terdaftar HKI pada tahun 2020. Lulusan Antropologi itu juga mengaku lega karena ada secerca harapan bagi penenun-penenun di Jepara terkait sengketa motif. 

Untuk itu, bersama kawan-kawannya di Omah Petrok, Anis pun semakin banyak mengeksplorasi motif tenun. Prosesnya yang membutuhkan riset mendalam dan diskusi panjang tidak membuatnya menyerah malah semakin mencintai tenun. 

Anis mengungkapkan, “Yang menarik adalah lingkungan dari teman-teman kolektif saat itu. Mereka merupakan anak-anak seni berlatar sebagai seniman sangat kental. Mereka menuangkan gagasan seni ke dalam motif-motif yang kami gunakan. Saya merasa mereka tidak hanya menciptakan motif sekadar estetika, melainkan ada proses yang mendalam di baliknya.”

Proses pewarisan budaya pada penuangan motif di Omah Petrok melewatkan beberapa tahap yang harus dilalui. Untuk menggalinya, mereka harus mengupas tuntas apa landasan dari desain tersebut. 

Tak jarang, motif yang dihasilkan juga berasal dari ukiran motif pada mebel kayu di jaman kerajaan, misalnya di ornamen di singgasana raja, ada motif khusus yang sangat disukai raja. Penggalian secara historis juga amat lekat dalam proses pembuatan motif tenun.

Kembali Anis menjabarkan, jika jejak sejarah juga berperan besar dalam perkembangan motif kain tenun Jepara. “Kita itu ada kolaborator namanya rumah Kartini, memang tempat risetnya teman-teman buat riset keseluruhan tentang Kartini. Apalagi di penggalian soal Kartini itu kita akhirnya menemukan banyak banget hal baru di masa-masa itu di akhir tahun 1800 sampai awal 1900.”

Anis menambahkan bahwa motif-motif yang digunakan oleh perempuan desa, secara harfiah mencerminkan kehidupan di pedesaan Jawa yang sederhana dan tanpa keistimewaan tertentu, berbeda secara mencolok dengan motif-motif yang dipakai oleh orang-orang di lingkungan bupati atau di kabupaten.

Demi Bumi yang Lestari

Sebuah komitmen berselaras dengan alam jadi komitmen Anis dan rekanannya di Omah Petrok yang sepakat menggunakan pewarnaan alam. Pilihan ini menjadi sebuah kesadaran untuk berada dalam barisan pengembangan Ekonomi Hijau. 

“Ya mereka berangkat dari kekecewaan pada industri yang nggak ditata dengan regulasi keberlanjutan. Industri ini diakui sebagai salah satu penyumbang APBD, tapi, bahkan pemerintah tidak terlibat untuk mengelola atau memberikan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan itu sendiri,” terangnya menegaskan.

Selain itu, Anis menilai industri tradisional sangat rentan dan minim perlindungan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya undang-undang yang menjamin pekerja maupun lingkungan di dalamnya.

“Karena harusnya yang paling bisa mengatasi itu ya negara, mereka punya kewenangan untuk mengatur bagaimana mengelola industri yang baik, meskipun itu industri rumahan, gitu,” jelasnya lagi.

Meskipun tersedia pelatihan-pelatihan untuk pengembangan industri tradisional, namun yang sering terlupakan adalah pelatihan untuk pengelolaan limbah dari industri tersebut. Dampak dari kurangnya perhatian terhadap pengelolaan limbah ini terlihat jelas, seperti penggunaan sungai sebagai tempat pembuangan limbah, yang kemudian berdampak buruk pada kualitas air di sekitarnya.

“Negara belum sepenuhnya hadir untuk masalah itu!” serunya.

Anis merisaukan limbah yang diserap oleh tanah dan membaur dalam air akan menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan tubuh, juga lingkungan. Ia berharap ada mekanisme dan implementasi yang serius dari pemerintah dalam menanggulangi limbah industri, dan melindungi pekerjanya. 

Anis sadar dan kembali mengungkapkan, “Saya memahami betul bahwa tidak mudah bertahan sebagai pengrajin pada usia muda, namun saya yakin, cinta saya pada kain tenun akan selalu membawa saya untuk berkembang, bertumbuh, dan mekar.” ***

*** Reka Kajaksana/Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top