Meniti Jembatan Suara untuk Difabel Netra

Masa kecilnya memang jauh dari buku-buku. Meski begitu, ia tumbuh dengan dongeng-dongeng yang dikisahkan ayahnya sebelum tidur. Namun saat dewasa, dongeng-dongeng itu tak pernah ia temukan dalam buku apa pun yang dibacanya.

Indah Darmastuti. Begitu nama lengkapnya. Perempuan kelahiran Surakarta ini sehari-harinya bekerja di sebuah perusahaan batik di Solo. Di sela padatnya pekerjaan, Indah masih punya waktu untuk menggeluti sejumlah kegiatan sosial, seperti berkecimpung di komunitas sastra Pawon dan Difalitera.

Mengenal sosok Indah, selalu lekat dengan kehangatan. Dalam pertemuan di sejumlah even literasi, ia selalu tampak riang menyapa sesiapa dengan senyuman. Maka tak heran, ia punya banyak kawan dan kaya akan pengalaman.

Perbincangan bersama Indah pun membawa berbagai persepsi tentang dedikasi dan semangat menghidupkan mimpi.

Pertemuan yang Menajamkan Mata Batin

Bermula pada medio 2016, Indah bersua dengan mahasiswa difabel netra, yang menjadi salah satu pembicara di acara sastra yang digagas Pawon Sastra dan Solo Pos FM. Agatha namanya. Ia curhat kesulitannya mengakses sumber-sumber literatur. Sebab novel-novel dengan huruf braille terbilang sedikit sekali, kalau dibacakan dengan screen reader pun kurang enak didengar.

“Kebetulan Agatha punya pengalaman membaca saat masih kanak. Ia kehilangan daya lihatnya ketika menginjak remaja. Jadi ketika mengalami total blind terasa sekali kesulitan untuk membaca, ” terang Indah.

Curhatan Agatha belum sepenuhnya menyadarkan Indah akan pentingnya bahan literasi yang ramah difabel netra. Sampai akhirnya, sebuah rekaman perbincangan disimaknya ulang. Dari sanalah terpantik rasa gelisah untuk melakukan sesuatu.

Sebagai pegiat literasi, Indah berharap kawan difabel netra bisa mengakses pengetahuan dan pengalaman dengan mudah. Terlebih ia juga ingin mereka bisa menikmati beragam sumber literatur sebagaimana dirinya.

Sejatinya, menurut Indah, fasilitas huruf Braille sudah ada untuk menjembatani kebutuhan para difabel netra. Tapi itu belum cukup. Apalagi saat ini teknologi makin melesat dan nyaris selalu ada yang baru setiap harinya.

“Harus ada inovasi yang menjawab tantangan kebutuhan membaca bagi difabel netra. Yakni melalui buku bicara atau audio book,” tukasnya.

Takdir menemukan jalannya. Dalam upaya meredam gelisah itu, Indah kedatangan mahasiswa yang meminta izin untuk memindahkan sejumlah karya tulisnya kebentuk audio untuk dinikmati oleh teman-teman netra. Sebuah ilham pun datang!

“Kalau mengubah buku-buku menjadi braille, akan butuh waktu cukup lama. Diadaptasi ke dalam audio saja lebih mudah,” kata penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer ini.

Sebuah Kelahiran Bernama ‘Difalitera’

Bagi pecinta sastra, nama Indah Darmastuti tidak asing lagi di jagat literasi. Karya-karyanya berupa cerita pendek, cerita pendek berbahasa Jawa (cerkak) dan cerita anak berlayar di berbagai media cetak baik lokal maupun nasional.

Ia juga produktif menelurkan buku. Baik antologi bersama kawan-kawan sastra di komunitasnya atau pribadi. Tercatat sejumlah bukunya ; novel Kepompong (2006), Makan Malam bersama Dewi Gandari (2006), Pengakuan Bobot Dosa (2020) dan Oscar Belajar Pergi (2022).

Lebih lanjut, bagi sosok yang pernah diundang sebagai Emerging Writer di Ubud Writers and Readers Festival (2012) ini, karena membaca merupakan pengalaman personal, maka cara baca, tempo, intonasi sangat menantang untuk didekati sehingga cerita menjadi lebih bernyawa dan berasa.

Berbekal itu, Indah memberanikan diri mulai memikirkan konsep dan bergerak mencari partner yang bisa mendukungnya.

Setelah melalui proses, akhirnya karya perdana sastra suara Difalitera diciptakan 1 Juli 2018. Lalu berlanjut, pada 10 November tahun yang sama, website Difalitera yang beralamat  di www.difalitera.org dirilis. Laman ini bisa diakses secara gratis.

Tak hanya menyajikan cerpen, Difalitera juga menyediakan karya sastra suara berupa cerita anak, puisi, geguritan (puisi dalam bahasa Jawa), cerkak, cerpen berbahasa Inggris, serta cerita-cerita berbahasa daerah.

Memang, diakui Indah, konsep Difalitera ini bukan sesuatu yang baru. Di luar sana sudah banyak yang memulai. Namun, ia menawarkan sesuatu yang berbeda dari audio book lainnya. Yakni keberpihakan.

“Karena kan sejak awal,  kehadiran Difalitera difokuskan untuk teman-teman difabel. Memang, didedikasikan untuk difabel netra. Tapi, kemudian kupikir kenapa tidak merangkul difabel lain untuk memproduksi sastra suara ini, ” terang Indah. “Karena itu, sejak berproduksi hingga website-nya pun dirancang agar dapat diakses dengan mudah,” imbuhnya.

Ruang Berproses Bersama

Indah menghidupkan Difalitera dengan menggandeng beberapa kawan dari berbagai kota, seperti Purwodadi, Makasar, Bima, Biak, dan Aceh, dan ada juga yang dari Inggris. Setelah memetik berbagai cerita-cerita dari berbagai orang, barulah ia melakukan proses rekaman.

Dalam memilih karya untuk dialih-wahana, Indah terbilang sangat selektif melakukannya. “Ya, biasanya kalau sudah dapat naskah yang sesuai, kupelajari dulu, cocoknya dengan karakter suara siapa, baru naskah itu kuserahkan narator. Kemudian hasil rekaman kuserahkan ke editor dan ilustrator musik,” bebernya.

Indah juga tak menampik jika dalam perjalanannya membangun Difalitera, bahkan ia sempat ingin menyerah lantaran mengalami kesulitan menjaga timnya untuk konsisten.

Saat sedang kehilangan daya itu, Indah pun mendapat pesan dari seorang difabel netra yang mengaku keberadaan laman Difalitera yang sangat membantu dirinya mengakses banyak cerita. Mendengar itu, semangat Indah pun kembali berkobar.

Dari momen itu juga, berangsur-angsur banyak yang datang mengulurkan tangan membantu Difalitera bertumbuh. “Atas dukungan banyak kawan, akhirnya Difalitera kubuat berbadan hukum,” ujar Indah yang menyisihkan gajinya untuk tali kasih kepada para kontributor yang berkenan membantunya.

Adil di Dalam Pikiran

Sebagai pelahap buku, Indah mengaku ada banyak buku yang memberi pengaruh besar pada hidupnya. Ia menyebut buku anak, biografi tokoh, sampai novel. Buku-buku itu berjasa bagi dirinya karena membuatnya bisa menulis.

“Jika dikerucutkan, aku sangat mengingat karya Pramoedya Ananta Toer dengan kutipannya: seorang pembelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan, ” tutur Indah bungah.

Menurut Indah, kutipan itu relevan untuk menggedor hal-hal mendasar menjadi manusia. Adil dalam pikiran dan perbuatan itulah yang membuat Indah mengajak teman-teman volunter terlibat dalam pendampingan teman-teman netra

“Jujur, aku tak mampu mendampingi dalam bidang advokasi karena aku menghadirkan Difalitera bukan berangkat dari aktivis difabel. Pengetahuanku masih terbatas soal difabel sebelum membuat Sastra Suara Indonesia -Difalitera, ” papar sosok yang diganjar penghargaan Prasidatama untuk kategori Tokoh Sastra Indonesia dari Balai Bahasa Jawa Tengah (2023).

Bagi Indah, sastra (literasi) harus adil, harus bisa menjangkau semua orang tanpa kecuali difabel (netra). Keadilan itu yang ia coba hadirkan melalui sastra suara.

Termasuk ia bersama volunter pendamping mengajak teman-teman difabel netra  untuk mengakses ruang-ruang publik seperti candi, museum, dan sebagainya. Bersama mereka, Indah menjelajah kemegahan Candi Sukuh dan Plaosan, menikmati khusyuk hening di Oemah Petruk, dan menikmati alam dengan Lava Tour Merapi. Mereka juga berziarah ke Gua Maria, Mojosongo, serta belajar membuat tembikar di Lokananta.

Juga tentang transportasi kota, mereka mengakses bersama-sama untuk melihat apakah ruang publik dan transportasi itu sudah adil untuk teman netra.

“Saya senang, kawan-kawan menikmati perjalanan ke mana-mana. Mereka tidak hanya bersenang-senang saja, tapi juga belajar banyak hal, ” tutur Indah haru.

Hambatan adalah Jembatan

Mengutip penyataan Indah di media sosialnya: “Teman yang banyak adalah berkah. Kurasa Ibu Kartini setuju soal itu. Beliau rajin berkirim surat, berteman secara teks. Perawat persahabatan dengan caranya sendiri. Secara wadah beliau ada di Jepara. Tetapi imajinasi dan pemikiran jauh mengembara….”

Tampaknya, Indah terinspirasi sosok Kartini yang menghargai betul arti persahabatan. Itu sebabnya, bergaul dengan kawan-kawan difabel netra membuat hidup Indah terasa berwarna. Ia mengakui bisa belajar banyak dari mereka. Belajar bagaimana hidup sebagai manusia dengan hambatan-hambatan. Itulah yang membuatnya selalu ingin berbuat lebih.

“Keinginanku, teman-teman difabel netra bisa memiliki pergaulan lebih luas dan menghadirkan iklim belajar pada mereka,” ungkapnya optimistis.

Selain itu, Indah juga memiliki harapan besar teman-teman difabel netra dapat belajar menulis. Tujuannya untuk mencari peluang, mencari kemungkinan, agar mereka dapat bertahan hidup melalui menulis.

Buah dedikasi Indah membantu teman-teman difabel netra, membuatnya diberi kesempatan bertualang hingga ke Irlandia pada tahun 2022 lalu. Di mana Kedutaan Irlandia di Asia Tenggara menggelar kompetisi untuk memilih wanita yang kreatif, inovatif, dan inspiratif sebagai perayaan Saint Brigid’s Day.

“Ini semacam Hari Kartini di Indonesia. Intinya, perayaan yang menekankan pada peran perempuan,” katanya dengan penuh semangat.

Dalam poster yang diunggah di akun Instagram Kedutaan Irlandia itu berbunyi; Ajukan kawan dekatmu yang menurutmu inspiratif dan kreatif tetapi harus teman yang kamu kenal dengan baik.

Indah pun diajukan kawannya di Difalitera sebagai nominasi dalam kompetisi perempuan kreatif dan inspiratif. Atas usulan tersebut, Indah pun berhasil masuk dalam enam nominator. Alhasil ia bersama temannya berangkat ke Irlandia. Dalam kurun 10 hari, ia memanfaatkan waktu untuk mengunjungi berbagai tempat seperti museum dan universitas, serta destinasi ikonik di negeri emerald itu.

Pengalaman itu menghadiahkan Indah kesempatan untuk mengeksplorasi tempat-tempat baru, juga membuka jalan bagi pertemuan dengan orang-orang baru yang memberikan wawasan berharga.

Menutup perbincangan, Indah menegaskan “Percaya pada tekad baikmu. Sebab siapa pun boleh dan berhak mendapatkan kesempatan belajar untuk meraup pengetahuan seluas-luasnya.” ***

***Yeti Kartikasari/Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top