Dari Drama Korea ke Dapur Napi

Dulu, gue  membawa pulang piala lomba puisi, berharap Ayah senang dan bangga. Ternyata ekspresinya dingin saja. Sampai kemudian gue tahu, dia membanggakan prestasi itu kepada tetangga dan kawan-kawannya. Sejak itu, gue selalu ingin memenangkan tantangan apapun.

Di kantornya, sebuah Production House di bilangan Jakarta Selatan, ia menyambut riang kedatangan Puan Indonesia untuk sesi wawancara. Tampaknya siang itu, ia cukup sibuk dengan deretan tamu yang ingin menemuinya.

Namanya Tia Hendani, seorang produser film di Dreamers HQ. Tia, begitu ia kerap disapa, memang sudah malang melintang di belakang layar tayangan televisi dan film. Debutnya dimulai sebagai asisten kostum.

Sejak awal tahun 2000-an, tangga kariernya terus berlanjut ke industri audio-visual. Tia mendapat kesempatan mengelola kuis, reality show, Indonesian Idol, juga sinetron. Dan sampai saat ini Tia masih berkecimpung di dunia yang dicintainya tersebut, dengan menjadi produser film.

Tidak Ada Kata Terlambat

Tiap orang punya titik berangkatnya sendiri, demikian juga dengan Tia. Perempuan berdarah Pasundan ini menemukan panggilan hatinya  justru ketika  berusia kepala empat. Di mana saat itu, ia justru merasa seperti kembali berusia 17 tahun lantaran mendapati dirinya berada di pekerjaan impian, yakni menjadi bagian dari industri produksi.

Sensasi itu terus berlangsung, meski pada momen tertentu, Tia pun berada dalam energi yang kompleks. Keinginan yang berkobar di saat fisik mulai meredup.

Bayangin, tiap hari gue merasa stres karena harus bangun pagi, kemudian mengedit hingga larut malam, bahkan sampai subuh,” ungkapnya.

Ya, proses editing sendiri memang menyita waktu dan harus dilakukan dengan teliti dari awal hingga akhir. Terlebih, sebagai insan pertelevisian maka setiap jam 10 pagi, akan ada laporan rating program yang menerornya. Rutinitas itu membuat Tia ingin beralih ke wahana lain, yakni film dan series. Walau butuh proses panjang, namun keinginannya itupun bisa diwujudkan.

Saat ditanyakan apakah menjadi produser adalah cita-citanya sejak kecil? “Jujur sih dulu awalnya pengen jadi  artis tapi kan sadar kalau muka pas-pasan.” Tia terkekeh. “Jadinya pas kuliah gue ambil jurusan teater di STSI Bandung, tapi gue dropout dan memilih jalan yang berbeda,” lanjutnya.

Kendati  begitu, diakui Tia kalau dropout bukanlah  kegagalan, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang membentuknya. Ia harus bekerja ekstra untuk menghadapi tantangan dan kesulitan. Tetapi justu hal itu yang membuatnya menemukan jati diri. Terbukti dengan ketekunannya belajar dan bekerja, produser film Toko Barang Mantan dan Katarsis ini pun mendapat tawaran potensial untuk terus berkembang.

“Gua percaya kalau orang-orang yang bekerja di industri film itu  sedang diberi kepercayaan oleh Tuhan. Mereka memiliki tanggung jawab  menggunakan ruang untuk menyampaikan pesan-pesan moral,” sergah perempuan yang pernah berkarir di MNC Picture tersebut. “Istilahnya perpanjangan tangan Tuhan gitu,” imbuhnya. 

Dalam pandangan Tia, jika berkecimpung dalam produksi series maupun film, konten adalah wahana penyampainya. Jadi penting bagi kreator untuk bertanggung jawab menyampaikan pesan yang kuat, latar belakang, juga  memberikan pemahaman tentang efek dari tindakan-tindakan tersebut.

“Intinya, dalam situasi apapun, pesan yang ingin disampaikan ke penonton harus jelas dan tegas. Ini juga berlaku untuk isu-isu seputar perempuan, di mana kita perlu memastikan pesan yang disampaikan gak cuma  menarik, tetapi juga berani dan mencerminkan nilai-nilai yang kuat,” beber Tia.

Bercermin dari Drama Korea

Terkait narasi perempuan dalam lingkup sinema, bagi Tia, menjadi tugas bersama semua jajaran untuk memastikan tidak mengkhianati kekuatan dan pondasi yang telah diberikan. Dasarnya perempuan itu kuat. Pondasi itu yang menurut Tia perlu terus didorong agar saat  menghadapi rintangan atau kesulitan, mereka mampu bangkit dengan keberanian. 

“Coba perhatikan, di drama-drama Korea, karakter perempuan digambarkan sebagai sosok yang tangguh, meski mereka berada dalam kondisi miskin, sulit atau terpuruk.” .

Contoh tersebut menjadi semacam patokan bagaimana industri ini bisa menjadi alat untuk menunjukkan posisi  perempuan yang memiliki kekuatan luar biasa, bahkan ketika mereka dihadapkan pada lingkungan yang tidak mendukung. Dan di Indonesia, menurut Tia, upaya itu masih harus diperjuangkan.

Mengulik produksi film dengan perspektif gender, Tia mengemukakan “Saat gue masih kerja di Vidio.com, kami berkolaborasi dengan Wahana Kreator untuk bikin series judulnya Dapur Napi. Isinya tentang sekelompok perempuan mantan narapidana yang membuka usaha bersama. Ada pesan moral yang dibawkaan dengan akting mengesankan di film itu.”

Lebih lanjut, Tia dan tim melihat garapan sebuah film dengan isu perempuan, salah satu persoalnya adalah pengembangan karakter. Poin itu menjadi penting supaya pesan dari film dapat dipahami dengan baik, tanpa harus terlalu frontal.

Olehnya, Tia selalu terpantik menciptakan karakter perempuan yang kuat, namun tetap bisa related dengan perempuan Indonesia, yakni dengan memperhatikan formula yang pas menggambarkan karakter. Tidak terlihat lemah atau terlalu keras.

Dalam project teranyar, Tia dan tim tengah menggarap sebuah film horor bertajuk ‘Ketindihan’ yang menempatkan tokoh perempuan sebagai corong gagasan alurnya. Meski berbalut kisah horor, namun peran perempuan di film tersebut didesain dengan karakter yang kuat.

Gue rasa ada banyak produser Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki yang sudah memulai spirit ini, gue cuma salah satunya.”

Namun demikian, Tia percaya jika ide-ide yang lahir dari perspektif perempuan akan lebih sesuai dan autentik dalam menyampaikan cerita kaumnya. Untuk itu, ia  tidak heran jika film-film yang berkualitas tinggi seringkali diproduksi oleh tim yang memiliki pengalaman dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan perempuan.

Narasi Perempuan dalam Sinema

Saat ini, eksistensi perempuan di balik layar lebar maupun kaca sudah jauh lebih baik. Tia bahkan menyebutkan nama seperti Shanty Harmain dan Susanti Dewi, yang menunjukkan kalau peran perempuan di lingkup produksi sangat diterima dan diakui.

Untuk itu ia merasa cukup beruntung sebab ketika bergabung menjadi bagian dari keluarga besar sinematografer Indonesia, diskriminasi terhadap kru perempuan minim terjadi.

Gue mau bilang ke teman-teman, temukan passion sedini mungkin dan buat itu sebagai pondasi. Terutama bagi perempuan yang ingin bekerja dalam industri produksi. Jangan menunda-nunda kayak gue!”

Pernyataan itu dikemukakan Tia ketika saat menjawab pertanyaan apa yang perlu dilakukan oleh pembaca Puan Indonesia yang ingin memulai langkahnya sebagai insan kreatif di industri film.

Sejurus dengan pertanyaan itu, Tia kembali menganjurkan agar perempuan bisa lebih awal menemukan jalannya di usia produktif. Karena dengan begitu akan lebih banyak energi yang bisa digunakan untuk mengeksplorasi dan menghasilkan karya.

Masih tentang perempuan dan passion-nya. Tia paham bagaimana alur berliku yang dilaluinya. Ibu dari seorang putra ini lantas mengenang bagaimana dirinya dulu dikenal sebagai pribadi yang ‘sumbu pendek’. 

Gue dulu sangat emosional dan reaktif terhadap segala sesuatu, terutama kalau ada hasil kerja yang gak sesuai. Duh pokoknya ngamukan banget,” ungkapnya tersipu.

Namun, semakin Tia mengenal diri, semakin ia menyadari pula bahwa ternyata untuk menghadapi masalah  harus bisa mengevaluasi niat sebelum bertindak, dan lebih cermat melihat duduk persoalannya..

Saat ini, diakui Tia, dirinya  tidak terlalu ambisius seperti dulu. Lebih dewasa dalam mempertimbangkan apa yang diinginkan dan bagaimana cara saya mencapainya. Misalnya, ketika ia  me-review naskah, maka akan  lebih memperhatikan esensi pesannya daripada detail teknisnya. Kadang-kadang, ia  bahkan tidak terlalu peduli dengan pendapat orang lain, tetapi itu bukan berarti tidak konsisten.

Lebih lanjut dijelaskan Tia, bahwa tidak ada yang pasti dalam industri ini. Baik film maupun serial adalah teka-teki. Kesuksesannya kadang sulit sekali diprediksi. Itu menjadi  tantangan tersendiri. 

Sebuah Titik Balik

Darah kesenian Tia sejatinya mengalir dari sang Ayah yang merupakan seorang pemain sandiwara keliling. Saat kecil, minat menjadi seniman sudah tumbuh, namun ia tidak diperbolehkan untuk mengikuti jejak ayahnya.

“Jadi dulu, gue pernah  membawa pulang piala lomba puisi, berharap Ayah senang dan bangga. Ternyata ekspresinya dingin saja. Sampai gue tahu, dia membanggakan prestasi saya itu kepada tetangga dan kawan-kawannya. Sejak itu, gue selalu ingin memenangkan tantangan apapun.”

Seiring waktu, Tia pun memilih untuk kuliah  jurusan teater. Keputusan itu sontak ditentang ayahnya karena menganggap pilihan itu tidak menjanjikan masa depan yang baik. Namun, Tia melihat hal itu sebagai ketakutan daripada keyakinan.

Gue rasa bokap gak setuju karena kekhawatirannya yang berlebihan. Dan akhirnya kondisi dingin antara kami pun semakin terasa,” gumam Tia mengenang. 

Tak hanya itu, pergumulan Tia juga akhirnya memberangkatkannya jadi sosok yang selalu ingin berbeda. Bukan tanpa sebab, sejak kecil, pamannya kerap membanding-bandingkan Tia dengan anggota keluarga lainnya. Bahkan pamannya itu  juga sering membandingkan dirinya dengan sepupunya yang memiliki kesamaan minat dan bakat.

Tak mau disamakan, Tia  memilih melawan arus dengan bermain layang-layang. Bahkan sering kali ia pulang larut karena masih asyik bermain kelereng hingga menjelang Maghrib. Misinya jelas hanya ingin berbeda dari yang lain.

“Sejak dulu gue  sudah dianggap berbeda. Gue berusaha keras demi mendapatkan perhatian dan pengakuan dengan ikut beladiri untuk mendapatkan apresiasi dari Paman itu.” 

Ketika akhirnya Tia mendapat perhatian serta dukungan yang diidamkannya, ia merasa senang sekaligus bangga. Pengalaman tersebut membuatnya yakin pentingnya untuk menonjol dan berbeda dengan kebanyakan orang adalah jalan meraih impian.

Menemukan Diri Kembali

Setiap kehilangan menandakan titik balik hidup. Barangkali ungkapan bijak itu bisa menggambarkan seorang Tia saat ini. Diakuinya bila proses perpisahan yang di alaminya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dicerna dan diselami. Tia bahkan harus mengikuti kelas-kelas self healing yang membantunya  memahami diri dengan lebih baik. 

“Sekarang gue akhirnya tahu  apa yang saya benar-benar gue mau dan perlukan dalam hubungan. Yang terpenting, gue belajar untuk fokus pada diri sendiri terlebih dahulu, bukan orang lain.”

Disadari oleh Tia, memang  sulit untuk mentranslasikan self love bagi setiap orang.

“Kadang kita banyak terjebak dalam teori-teori psikologis, padahal yang perlu dilakukan adalah kembali mengenal diri kita sendiri dengan lebih baik. Penemuan itu yang akan membawa kita pada pemulihan yang selaras.” ***

***Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top