Melahirkan ‘Methu’ dari Perempuan Perkasa

Melalui goresan seni, kisah perempuan perkasa bertemu penikmatnya; /məˈtü/ (Methu) adalah memoar reflektif dengan bahasa visual. Perpaduan tersebut melahirkan seri ilustrasi bernarasi yang mengambil inspirasi dari buku Perempuan-perempuan Perkasa, karya oleh Peter Carey dan Vincent Houben. 

Bertempat di Butik Tulisan, di Dharmawangsa Square, pada 20 April 2024. Sebuah acara dihelat untuk menandai peluncuran simpul Bhinneka terbaru karya @madebytalullah yang kombinasi warnanya dapat dipadukan dengan 6 tas terbaru karya Melissa Sunjaya.

Tas dengan corak apik tersebut, tak hanya menonjolkan pattern yang harmonis tetapi juga menunjukkan serat historis di tiap goresan gambarnya.

Menoreh Wanita Bangsawan Jawa

Berbincang perihal karya, Melissa Sunjaya mengaku jika tiap karya yang dia alih-wahana memiliki kisah tersendiri. Pada series Methu yang terinspirasi dari penceritaan kembali arketipe wanita bangsawan Jawa yang terlupakan sebelum Perang Jawa (1825-1830). 

Riset yang memakan waktu dua tahun ini menemukan fakta menarik tentang kehidupan perempuan-perempuan jawa pada akhir abad ke-18, perempuan istana di Jawa memegang peran penting dalam membentuk peradaban kaya kita di era pra-kolonial. Para perempuan ini terampil dalam peperangan, literasi, ekonomi, politik, dan seni. 

Melissa mencoba untuk mengingatkan sejarah pra-kolonial di Jawa dengan pengaruh matriarki Polinesia yang kaya. Ia mengajak publik untuk  melihat sisi perempuan Indonesia yang lain dan sama sekali berbeda dari yang banyak diceritakan selama ini.

Pemilihan judul series methu sendiri berkaitan dengan munculnya fakta sejarah yang selama ini terlupakan. Dalam kesempatan singkat itu, Melissa menceritakan proses kreatifnya.

“Jadi awalnya tahun 2020 mungkin awalnya kerjasama dengan Peter Carey salah satu penulis buku itu, peter itukan memang sudah bikin penelitian di Indonesia tentang perang jawa, Diponegoro, terus kondisi istana di kesultanan di Yogyakarta sebelum masuk kolonial,” tuturnya.

Lebih jauh mengenai penelusuran, Melissa pun bersua dengan sebuah narasi dalam satu buku dengan sketsa dari perang, di mana pada tahun 1800 itu belum ada foto jadi cara orang me-record moment itu dari ilustrasi.

“Nah ada ilustrasi cepat yang dibikin pada saat peperangan, salah satunya ada wanita dengan jubah keprajuritan pakai kuda dan itu mengejutkan sekali,” imbuhnya.

Riset Menemukan Perempuan Perkasa

Fakta bahwa pada era sebelum pra kolonialisme tahun 1830 perempuan di kesultanan Yogyakarta memegang peran militer, membuat ia semakin yakin bahwa perempuan adalah sosok yang lebih perkasa dari yang selama ini publik tahu. 

Pendiri Butik Tulisan itu juga bercerita jika riset yang ia kerjakan justru membuka khazanah kebenaran, bahwa perempuan adalah makhluk yang sangat cerdas dan berdikari. “Ternyata mereka benar-benar memegang peran di militer, di ekonomi, bahkan banyak dari mereka yang bisa berbahasa lebih dari tiga bahasa,” terang Melissa.

Keterangan ini juga didapatkan dari catatan kesaksian Herman Willem Daendels dan Thomas Raffles yang menyaksikan kemahiran para prajurit perempuan perkasa dalam memakai panah dan bedil. “Bahkan dalam pertempuran man to man combat itu mereka sangat mahir dan mahirnya itu lebih mahir daripada prajurit pria,” jelasnya lagi. 

Fakta sejarah inilah yang membawa Melissa semakin yakin, jika pengaruh matriarkal pada budaya polinesia di abad 18 dan 19 itu menjadi paradigma baru. Namun kenyataan bahwa ilustrasi, foto maupun visualisasi tentang perempuan perkasa tidak pernah ada membuat perempuan hari ini hanya mengenal citra perempuan jawa yang lemah lembut, pemalu dan penurut. 

“Bagiku, hasil riset ini seharusnya menjadi paradigma baru, namun mengapa gambaran tentang perempuan perkasa tak pernah muncul? Maksudku, bukan hanya ilustrasi, tetapi juga foto atau gambaran visual lainnya tidak pernah ada.”

Perempuan yang menyukai petualangan tersebut kemudian menjabarkan, betapa kita kerap menganggap perempuan Jawa sebagai sosok yang lemah lembut, pemalu, dan penurut. Melissa melalui keryanya ingin menciptakan sesuatu yang menimbulkan pertanyaan, bahwa sebagai perempuan Indonesia, khususnya di Jawa, bisa meragukan stereotip tersebut.

Lebih lanjut, mahasiswi Fairmont University itu memang terkenal dengan cerita-cerita di balik karyanya, ia banyak merekam sejarah dan cerita melalui visualisasinya. Methu menjadi salah satu karya yang menggaung hingga ke negeri Belanda.

Bahkan, Mbak Mel –begitu ia  akrab disapa, sempat memenuhi undangan Rijksmuseum Amsterdam pada 5 Maret 2024 lalu. Ia adalah perempuan dari Asia Tenggara pertama yang mendapat kesempatan untuk berbicara ulang mengenai sejarah perempuan di Indonesia. 

“Aku mendekonstruksi cerita-cerita yang terlupakan dan sudut pandang yang terpinggirkan tentang prajurit wanita elit kesultanan Yogyakarta dan keterlibatan mereka dalam Perang Jawa (1825-1830). Aku ingin menciptakan dialog sejarah yang lebih inklusif dengan menggunakan sumber-sumber lokal dan arsip kolonial untuk merangkai proyek-proyek desain kontemporer ku,” terang seniman pentolah Art Center di Swiss dan California ini.

Melalui hasil karya dan apa yang dikerjakannya di Butik Tulisan, Melissa berharap hal tersebut bisa menciptakan ekosistem berkarya yang lebih baik. Di mana menjadi mandiri karena karya adalah sebuah kemewahan, akan tetapi ia juga tidak terlepas dari tantangan.

Melissa mengenang saat pertama kali komitmennya untuk membuka Butik Tulisan pada 2010 silam, sebuah langkah untuk menciptakan ekosistem transparan dalam bekerja dan berkarya. Lewat wadah yang dibangunnya, Mel juga ingin menularkan semangat untuk menemukan kebebasan dalam diri penikmatnya.

“Aku ingin mengajak kita semua dapat merasakan kebebasan yang ada dalam diri.” Pungkasnya tersenyum.***

*** Reka Kajaksana/Deasy Tirayoh


PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top