Bermula dari Masker Kasih

Aktif dalam proyek-proyek yang memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia. Dia melakukan pendampingan penulisan kreatif bagi pemuda dan penyintas, serta menginisiasi pelatihan kepemimpinan dan perdamaian di sekolah. Kini ia melakukan kampanye kedaulatan tubuh dan kelestarian lingkungan melalui pendekatan fesyen berkelanjutan.

“Alhamdulillah, Dik… Dari hasil penjualan masker dan beberapa dompet kemarin, kita dapat membelikan sepatu untuk komunitas ibu jamu gendong dan tambahan alat pelindung diri (APD) kloter terakhir. Thanks, ya.” Pesan singkat masuk dari Koordinator EMPU, Leya Cattleya, pada petang, 12 Juli 2020. 

Tentu saya turut bersyukur, dampak masker premium terus berkembang. Bila sebelumnya masker tersebut telah menjadi bagian dalam rintisan awal paket benih EMPU, sebanyak 150 keluarga miskin kota, hingga menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia. 

Masker kreatif Empu JalinkarsA (EJK) dikerjakan secara pro bono dari kain perca dan tenun pewarna alam. Bermula dari sumbangan tim inti EMPU–Leya Cattleya, Chandra Kirana, dan saya–berkembang menjadi kain kemanusiaan dari para sahabat, kolega, handai tolan, dan anggota EMPU lainnya di beberapa daerah. 

Sebagai modal awal, produksi kain telah melahirkan ribuan masker gratis dan masker Basmi Covid-19 (BC-19) bagi tenaga medis di beberapa pelosok Indonesia. Produksi itu juga menjadi bagian dari kolaborasi dengan beberapa lembaga untuk pengadaan APD dan pelindung wajah (face shield). 

Dua Empu Satu Masker 

Pada awal gerakan ini, beberapa orang sempat bingung. Ada EMPU, ada Empu JalinkarsA (EJK). Sama-sama bergerak di isu mode wastra Nusantara, yang juga sama-sama menuju kelestarian lingkungan. Seorang kolega mengkonfirmasi, “Kami mau menyumbang kain untuk gerakanmu dan kawan-kawan. Bingung ada dua nama. Apakah EMPU itu maksudnya Empu JalinkarsA?” Banyak pertanyaan senada yang muncul. Saya pun menjelaskan komitmen gerakan ini. 

Bagi saya, dalam situasi darurat dan kerja-kerja kemanusiaan apa pun, yang paling dibutuhkan adalah gerak cepat, bersama, dan satu. Karena itu, EJK memutuskan untuk melebur dan mendukung penuh komunitas EMPU untuk sama-sama bersinergi menanggulangi wabah. Praktis, sejak pertengahan Maret 2020, EJK secara sukarela, serius, dan total mendesain aneka masker dan produk lainnya. Kami mengerahkan 20 perempuan penjahit dengan memperhatikan protokol kesehatan. Dimulai dengan membuatkan contoh pola dan jahitan 10 model masker premium. Kami menjadi model pertama masker-masker yang diperjualbelikan untuk penggalangan dana bagi EMPU. Selain itu, EJK sendiri adalah bagian dari proses kelahiran EMPU. 

Sebagai rumah mode, EJK didirikan pada Desember 2019. Komunitas ini mendedikasikan sebagian karyanya untuk upaya pemulihan korban kekerasan, serta mendukung Pundi Perempuan dan Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa). Berkolaborasi dengan IKa, EJK diluncurkan di KeKini Ruang Bersama, Jakarta. Sebuah kerja sama yang berkesinambungan. Sebelumnya, hasil penjualan buku saya tentang perjuangan penyintas kekerasan telah diserahkan sebagai penggalangan dana untuk Pundi Perempuan. Meski belum seberapa, penghimpunan dukungan perlu dilakukan dari segala pintu. 

Dalam ketidakpastian ini, kami mengupayakan sesuatu yang pasti: bergotong royong menanggulangi wabah.

Zubaidah Djohar

Ini sejalan dengan misi EJK: memperjuangkan kedaulatan tubuh, melawan kekerasan. Juga berbicara soal inklusivitas, keberagaman, keberdayaan, keampuan, ramah lingkungan, dan jalinan daya perempuan. Karena itu, ia bernama Empu JalinkarsA. Adapun tema perdananya adalah “Nuansa Kemben Balutanmu Kini”, tentang kemerdekaan perempuan memperlakukan tubuhnya sendiri, tanpa doktrin dan dogmatisme. Memulai karyanya dengan memanfaatkan kain-kain bagus yang tersimpan begitu saja di lemari. 

Sejak EMPU dirancang pada Januari lalu, EJK diajak membincangkan konsep kelahirannya. Baik itu menyangkut akar, filosofi, arah kerja, pemilihan nama, maupun desain-desain produk yang dikeluarkan EMPU. 

“Aku tertarik dengan kata empu karena mengandung arti: yang perempuan, yang utama. Nama komunitas, sepertinya cocok ini,” ujar Mbak Leya dalam rapat berdua sore itu. Meski tidak jauh berbeda dengan kerja dan nama Empu JalinkarsA sendiri–yang berbeda hanya di keanggotaan, EJK tetap mendukung. Sejak awal, tujuan EJK memang untuk menjalin karsa perempuan dalam memperjuangkan keadilan bagi mereka sendiri dan kelompok rentan, keunikan Nusantara, dan kelestarian alam. Begitu pun ketika pandemi mendera. 

Karena Kasih Adalah Berbagi 

Mendesain, mengerahkan penjahit, dan melakukan quality control dalam keterbatasan jangkauan pada masa karantina pandemi adalah kegiatan utama yang saya lakukan. Saya juga turut memasarkan, menggalang donasi, dan membangun jaringan untuk dukungan gerakan bersama di EMPU. 

Bukan pekerjaan mudah, bukan pula sebuah beban, apalagi untuk dihindari. Bagi saya, inilah sumber kekuatan sekaligus jalan menuju pulih bersama. Dalam ketidakpastian ini, kami mengupayakan sesuatu yang pasti: bergotong royong menanggulangi wabah. 

“Jangan ngeyel!” seloroh Mbak Leya ketika mengetahui saya masih ke luar rumah menemui ibu-ibu penjahit. 

Saya menjawab, “Insyaallah tidak apa, Mbak. Bila tidak dikawal, hasil jahitan nanti keliru, prosesnya juga lambat, kualitasnya bisa merosot. Bila dikunjungi dengan gembira, ibu penjahit pun senang. Koordinasi terbangun, kebingungan mereka pun terlerai cepat bila desain dianggap sulit.” 

Pernah suatu ketika, beberapa hasil jahitan masker meleset, dan saya tidak sempat melakukan double check karena harus segera dikirimkan ke pembeli yang sudah menanti. Meski sebelumnya sudah mengingatkan para penjahit agar masker sudah rapi sebelum dikantongi, tetap saja ada yang lolos. Sebagai konsekuensi, masker kurang rapi yang ditemukan pembeli langsung diganti dengan yang baru. 

Keterbatasan personel inti dalam pengadaan masker donasi dan ragam kombinasinya tidak menyurutkan langkah kami untuk terus berproduksi. Sesekali tersandung, tapi kami jadikan itu sebagai pembelajaran menuju perbaikan. 

Bersamaan dengan itu, banyak pula teman yang mengirim pesan dan dukungan serupa. “Aku tertarik dengan produk yang kamu pamerkan. Bolehkah kupesan beberapa paket?” Atau bentuk dukungan lainnya, “Aku ingin pesan masker lagi. Produknya nyaman.” Semua pembelian saya arahkan ke koordinator EMPU agar lewat satu pintu saja. Sistem ini saya pegang teguh agar ritme kerja kami dinamis serta saling dukung dan saling kawal. ‘

Dalam kesempatan lain, seorang teman mengirim pesan, “Aku sedang bantu media center gugus tugas Covid-19. Kemarin, aku cerita soal Kakak dan teman-teman yang membuat masker dari kain perca Nusantara. Mereka tertarik mengundang Kakak dan kawan-kawan untuk tampil. Mereka akan menghubungi. Aku kasih nomor Kakak, ya?” 

“Tentu, dengan senang hati! Bila berkenan, saya kirimkan nomor kontak koordinator EMPU, ya… Karena yang lebih tepat berbicara dengan media adalah beliau. Terima kasih banyak, Re!” 

Dalam rentang kerja ini, tetap saya berpatokan bahwa masing-masing kita punya porsi dan penghormatan. Urusan keluar adalah peran koordinator. Urusan produksi masker dan ragam karya lainnya adalah saya, sementara Mbak Kiki program pamong benih. 

Suatu ketika, Mbak Leya pilu. “Dik, masker anggota sebenarnya bagus-bagus, tetapi beberapa banyak yang tidak laku, enggak apa-apa ya aku satukan dalam paket produk yang kamu buat. Kita bantu ya, Dik?” Tentu saja saya setuju karena begitu seharusnya kerja sebuah komunitas. 

Fondasi Gerakan 

Bagi saya, pengadaan masker donasi tidak hanya mengurangi dampak penyebaran virus, tetapi juga pembelajaran penting tentang kerja tim. Memperkuat anggota dan tetap profesional, meski dilakukan secara sukarela dan keterbatasan situasi. 

Dari masker kasih, ia menjalar menjadi fondasi sebuah gerakan. Basis perjalanan kemanusiaan dalam tanggap Covid-19 di komunitas EMPU. 

Perjalanan ini bukannya tanpa problem. Saya sendiri juga mengalami dilema. Peluncuran desain kedua mode pakaian Empu JalinkarsA mengalami pembatalan. Bahan-bahan yang sudah dipersiapkan terbengkalai. Secara pribadi, semua pekerjaan konsultasi saya dibatalkan. Tidak sesiapa yang tidak terkena dampak. Besar maupun kecil. 

Saya berpikir cepat. Apa yang paling mungkin saya lakukan. Kain perca saya bongkar, yang batal diproduksi saya alihkan untuk pembuatan masker donasi. Mbak Leya Cattleya, Koordinator EMPU, menelepon, apa yang bisa dikoordinasikan. Bertiga, bersama Mbak Chandra Kirana, pendiri Sekar Kawung, yang juga tim inti EMPU, sepakat bahwa kita semua bekerja saling membahu di komunitas EMPU. Masker premium- -menjadi tanggung jawab saya–diproduksi dan dijual bersama. Hasilnya disiapkan untuk pengadaan masker gratis untuk paramedis. Dan kembali disepakati, yang bertanggung jawab dalam pengadaan adalah saya. 

Namun, ketika peraturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlaku, kain sulit didapat. Akses ke pasar terbatas, bahkan tertutup. Pedagang online tidak bisa dihubungi. Pengadaan masker bagi paramedis terancam. Penjahit yang sudah siap mendahulukan pelanggan lain yang sudah tersedia kainnya. Jelas, mereka tidak mungkin menunggu.

Mbak Leya menelepon beberapa kali, menanyakan soal ketersediaan. Saya tak berhenti seharian berselancar di toko online dan menelepon pedagang kain. Ada yang diangkat, ada yang mengatakan kain habis. Berhari-hari seperti itu. Saya tetap menelepon. Mbak Leya pun masih mengirim pesan serupa, dan mulai terdengar galau. Berita di luar semakin simpang siur, mengerikan. Saya pun menghimpun kekuatan diri. Bukan pasrah, melainkan berharap di tengah ketiadaan pilihan. 

“Mami harus keluar, Nak. Kain kosong, sama sekali. Mami harus mencarinya ke pasar. Mana tahu ada satu-dua yang buka.” Kedua lelaki remaja itu setuju dan mengingatkan saya untuk tetap berhati-hati. 

“Nanti biar Abang yang masak nasi. Telur juga masih ada untuk diolah.” Ucapan tenang itu mengalir saat melihat wajah ibunya ragu, antara memasak atau bersegera ke pasar. “Yang penting Mami tenang, tidak usah panik,” dia mengimbuhkan ketika saya bersiap melingkarkan masker ke wajah, memastikan baju lengan panjang terkancing, menyarungkan topi, dan memasukkan sebotol hand sanitizer ke dalam tas kecil. Saya tatap kembali mereka erat, tanpa bisa memeluk. “Terima kasih, Nak. Hati kalian sungguh baik.” Bergegas saya menuju langganan ojek online yang telah menanti. Dari ekor mata, di pengkolan jalan, saya masih melihat tatapan kedua remajaku mengiringi. 

Setiba di pasar dan sedikit berkeliling, kain ditemukan. Tak sia-sia! Akhirnya, ribuan masker gelombang pertama untuk paramedis dapat diolah. Tentu dengan tetap memastikan keselamatan ibu jahit, seperti memakai masker dan sarung tangan serta berjarak 1 meter. Lalu saya tambahkan sabun pencuci tangan dan madu untuk stamina sebagai bentuk dukungan moral bahwa kita semua satu dan mengalami situasi yang sama. 

“Baru kali ini saya mendapatkan bos yang peduli seperti ini, Bu. Mana pernah selama ini,” ujar ibu jahit semringah. “Kita sama-sama bos, jadi harus saling peduli,” saya pun berseloroh.

Tidak Sekadar Masker 

Bagi saya, masker lebih dari sekadar penutup wajah. Selain memastikan lapisannya cukup sesuai dengan standar kesehatan (terdiri atas tiga lapis dan tersedia ruang untuk meletakkan tisu), desain-desain yang saya buat juga memiliki makna filosofis. Ada yang berupa wajah binatang, seperti burung. Ada juga daun-daunan, garis tegas, dan lainnya. Fungsinya, tidak hanya dapat mencegah penularan virus, tetapi juga memiliki pesan kemanusiaan untuk menjaga keseimbangan alam dan semua makhluk hidup. 

“Tidak bisa, Bu. Model seperti ini memakan waktu dan ribet!” Ibu penjahit mulai keberatan. Gerakan donasi mulai terancam karena masker premium tidak bisa dijahit. Situasi ini saya hadapi dengan pendekatan persuasif. Ibu penjahit berhak mendapat ongkos dua kali lipat dari harga biasa, berimbang dengan tingkat kesulitan. 

Sekali-dua masker pun tuntas. Namun, terbentur lagi oleh corak kain yang dianggap susah. “Ini tidak bisa, Bu. Terlalu kecil.” Saya pun menyarankan dengan memberi contoh agar kain itu dikombinasikan untuk tetap bermanfaat. Ibu penjahit lega. Selang seminggu kemudian, ada lagi benturan. “Kalau yang ini kainnya terlalu tipis, Bu. Susah!” Lalu saya buatkan contoh untuk lapisannya sehingga sedikit lebih tebal. Ibu penjahit pun dapat kembali melanjutkan pekerjaannya. Semua kain donasi pun dapat dimanfaatkan. 

Masker Beranak di Tengah Penolakan 

Belum selesai perdebatan soal masker hanya diperuntukkan bagi orang sehat, muncul lagi isu baru. Kain untuk masker harus dari katun atau sejenisnya. Kain tenun dianggap tidak layak. Sementara itu, kain dari EMPU lebih banyak menggunakan kain tenun pewarna alam dan ragam kekhasan wastra Nusantara. 

Saya bersama EMPU memilih tetap jalan. Tujuan kami jelas: mengupayakan pencegahan wabah. Paling tidak, masker yang ada dapat membantu mengurangi penyebaran. Sepanjang lapisan kainnya menggunakan katun yang lembut. 

Beruntungnya, keputusan ini telah memberikan dampak signifikan. Sekitar 90 puskesmas terisolasi dan RSUD terbantu. Ribuan warga rentan juga mendapatkan masker gratis. Selain itu, lenturnya kohesi sosial kian terlihat. Donasi kain terus bertambah. EJK dalam payung EMPU terus memproduksi ragam karya untuk menggalang dana, dari dompet yang bisa dicuci ulang, syal, tas, hingga topi. Hasil penjualannya juga digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan EMPU lainnya. 

Tak kalah menggembirakan, banyak teman yang mulai membangun gerakan masker. Beberapa di antaranya berkonsultasi dengan EJK soal masker yang mendekati syarat kesehatan. Misalnya, Dewi Nova dkk yang menginisiasi masker untuk perempuan narapidana. EMPU ikut berdonasi 700 masker di sana. Teman lain juga berkonsultasi, seperti Yenti Nurhidayat yang ikut membuat masker yang digagas Dewi dkk. Begitu pun dengan teman lain di daerah. 

Yang juga menggugah adalah ketika teman-teman muda dengan sindrom down dari Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI) tertarik belajar membuat masker. Kelas online diisi oleh tim EJK. Selain membuat masker, di kelas diajarkan menari dan menulis puisi. 

Moral Masker Kemanusiaan 

Kreativitas perempuan di tengah keterbatasan dapat menumbuhkan pengetahuan baru dan solidaritas yang tidak mengenal batas. Dalam keterbatasan, perempuan memiliki cara untuk berbagi. Dalam ketakutan, mereka memiliki strategi untuk memulai, menggali yang paling dekat dalam diri, yang paling dikuasai diri. Mempersembahkan apa yang paling mungkin adalah ruang pulih di tengah situasi darurat. Begitu penting, perempuan menuliskan sejarahnya sendiri.

Apakah kita akan membiarkan rasa takut dan masa bodoh? Semua bergantung pada pilihan kita. Pandemi memang belum selesai, begitu pun dengan kesadaran di sekitar. Akankah itu bagian dari upaya mengolahnya menjadi kehidupan dan keselamatan? Lagi-lagi jawabnya, ada pada kita. Alam tidak pernah meminta.

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top