Dansa Catatan Florence Nightingale

Alumnus Magister Keperawatan dan Spesialisasi Keperawatan Anak Universitas Indonesia ini bergabung dengan RS Kanker Dharmais sejak 2001. Noor Siti aktif meneliti dan menulis, terutama karya ilmiah tentang keperawatan onkologi anak. Ia bergabung dengan kelompok Perawat Perempuan Menulis. Ia tengah berupaya menyelesaikan buku panduan keperawatan pada anak dengan kanker bagi perawat dan orang tua.

“Kakak, sudah dengar belum?” Berliana mengambil kursi dan duduk di dekatku. “Teman kita, Kak Fitri Saras, dirujuk ke Wisma Atlet untuk karantina karena hasil tesnya positif Covid-19.”

Deg! Hati ini terasa seolah-olah terpukul batu yang begitu berat. Perasaan campur aduk, antara percaya dan tidak, ini terjadi pada teman kami. Sedih, takut, dan beragam rupa rasa negatif lainnya berkelindan di kepala maupun hati. Akhirnya, hal yang kami, para perawat, takutkan, terjadi. Teman kami terjangkit Covid-19 pada 23 April 2020, sehari menjelang Ramadan. 

Pembahasan belum berhenti. Saat preconference (rapat kecil setiap menjelang pergantian tim jaga) pagi itu, 24 April, di meja bundar Ruang Anak Rumah Sakit Kanker Dharmais, masalah kawan yang positif Covid-19 kembali kami bahas. Pak Hari, Kepala Ruang Anak, memberi tahu kami tentang Fitri Saras. Beliau meminta kami berdoa dan memberikan dukungan agar Fitri bisa segera kembali bekerja bersama kami dan keluarganya kuat menghadapinya. 

“Ayo teman-teman, tetap melakukan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19. Ingat, selalu gunakan masker dan cuci tangan dengan benar setiap saat, juga jaga jarak,” ujar Pak Hari. 

Bagi kami, bekerja pada masa pandemi memang tantangan luar biasa. Ancaman Covid-19 cukup dekat dengan kami yang sehari-hari berkutat di rumah sakit dan selalu berdekatan dengan orang-orang sakit. Protokol kerja kami pun menjadi “berat”. Bayangkan, seharian kami harus mengenakan masker, sejak keluar dari rumah sampai kembali ke rumah. Saat di rumah sakit, wajah kami masih ditambah “penghalang” lain: face shield

“Aduh, saya sudah tak tahan lagi,” kata teman perawat, Dona. “Masker ini membuat pengap, sesak napas. Rasanya berkunang-kunang mata saya.” Ia mencoba tenang, duduk nyaman di kursi dekat meja bundar di ruang perawat. Dona baru saja mengganti balutan luka kanker Galuh, pasien anak dengan osteosarcoma atau kanker tulang. Lukanya besar dan sangat basah, sehingga perlu waktu lama untuk membersihkannya. 

Sesaknya masker Dona belum seberapa bila dibandingkan dengan saat kami menghadapi pasien anak dengan kanker yang memiliki gejala Covid-19. Kami harus mengenakan masker yang lebih tebal, masker N95. Mengenakan masker ini rasanya tidak nyaman, pengap, dan keras di wajah. Apabila dipakai lama, akan memberikan bekas garis merah di sekitar hidung dan pipi. 

Masalah masker ini tentu bukan masalah sepele, baik bagi kami maupun pasien. Masker dan face shield merupakan tameng utama penghadang virus corona, yang hingga tulisan ini dibuat, belum ditemukan obatnya. 

Dulu, sebelum masa pandemi, kami sebenarnya sudah biasa memakai masker, terutama saat melakukan kemoterapi, mengganti balutan luka kanker, atau tindakan medis yang berhubungan dengan saluran pernapasan, seperti melakukan suction (membantu membuang dahak di saluran pernapasan dengan alat penyedot) berkala pada pasien. 

Tapi, setelah selesai tindakan, kami bisa mengobrol dan tertawa bebas, tanpa masker, juga tak perlu pusing menjaga jarak. Kini, masker dan face shield merupakan pelindung wajib selama tugas. 

Kesesakan bertambah karena kami juga harus mengenakan baju pelapis, baraskot. Biasanya baju ini dikenakan saat kami melakukan tindakan kemoterapi. Namun, pada masa pandemi, baraskot harus tetap membalut tubuh kami sepanjang waktu kerja. 

Bahkan, bila kami berhadapan dengan pasien yang memiliki imunitas rendah dan rentan terinfeksi Covid-19, kebijakan penggunaan pakaian level dua diberlakukan. Semakin hari semakin banyak orang yang terjangkit virus corona. Kami mesti berhati-hati. Kami, perawat dan petugas lain di rumah sakit kanker ini, memiliki risiko tinggi terjangkit.

Berbagai upaya kami lakukan untuk menghindari penyebaran virus corona di rumah sakit, tapi tetap melakukan pelayanan kesehatan. 

Pada awal masa pandemi, kami masih terbata-bata dan berjuang beradaptasi dengan protokol baru. Apalagi saat itu persediaan masker terbatas. Kami mencari cara agar kebutuhan masker terus terpenuhi sehingga semua “aman”. Kami pun patungan untuk membeli masker bedah, walaupun saat itu harganya berlipat-lipat dari harga normal. Alhamdulillah, akhirnya masalah krisis masker dapat terlewati. 

Selain dengan alat pelindung diri, semua petugas dibekali ilmu menghadapi pasukan Covid-19 ini. Ditambah lagi setiap bulan semua pegawai, termasuk perawat, harus menjalani rapid test, setidaknya sekali. 

Kami berusaha, tapi tetap saja kebobolan. Beberapa dari kami terjangkit virus corona. “Tak perlu disesali dan jangan berpikir macam-macam,” kata Rita Dona, perawat yang pernah terjangkit Covid-19 dan menjalani karantina di Wisma Atlet pada Juni lalu. 

Namun, tantangan kami bukan hanya masalah di rumah sakit. Selama beberapa bulan pada awal masa pandemi, kami juga menanggung tambahan beban pikiran, urusan transportasi. Pemerintah DKI Jakarta dan sekitarnya mengambil kebijakan bekerja dan belajar dari rumah agar tidak terjadi penyebaran virus corona pada pertengahan Maret lalu, disambung dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Transportasi umum dibatasi hingga lini yang terkecil. Dampaknya, banyak perawat yang memang tidak bisa work from home terpaksa memutar otak. 

“Ongkos kita jadi bertambah, lebih mahal. Buat pulangpergi tidak ada transportasi yang biasa kita gunakan, seperti kereta, bus, atau ojek online. Jadi, kita pakai taksi, sepeda motor, atau bahkan mobil kalau punya,” kata Sari, salah seorang perawat di Ruang Anak saat preconference. “Tapi, harus bagaimana lagi? Kalau tidak masuk, nanti tidak ada perawat yang dinas dan kurang orang,” ia menambahkan, pasrah.

Para perawat, termasuk saya, memang harus mengatur strategi agar bisa tetap bekerja, tapi juga bisa aman dari paparan corona. Seorang teman pramuhusada, Dinda, mengaku memangkas anggaran kebutuhan lain, terkadang uang makan, untuk memenuhi biaya transportasi ini. “Semoga corona cepat berlalu,” ujar Dinda. Walau ada nada galau dan khawatir dalam obrolan-obrolan kami, kami semua tetap bekerja dengan semangat. 

Bukan hanya kami yang menghadapi tantangan luar biasa. Para pasien mungil pun menghadapi masalah beragam. Ada yang bisa dikatakan ringan, misalnya anak-anak yang ketakutan melihat kami dengan kostum baru, seperti Mikaela. Ia terusmenerus menangis saat perawat mendatanginya. 

“Dia masih kecil, baru 2 tahun kurang usianya. Apalagi kita pakai baju astronaut seperti ini, jadi takut,” ujar Rosa. 

Kami memang terlihat seperti manusia tak berbentuk dan tak berwajah. Tak ada sentuhan lembut, juga senyum. Semua tertutup lembaran masker, face shield, baraskot, dan sarung tangan. 

Ruang Anak kehilangan keriangan. Ditambah tak ada lagi kunjungan guru atau teman-teman sekolah. Tak ada kunjungan kerabat. Tak ada lagi hiburan cerita atau dongeng dari kakakkakak pencerita. Sunyi. Aturan baru rumah sakit sejak Covid-19 melanda: tak boleh ada kunjungan buat pasien. Ini diberlakukan demi keselamatan bersama, terutama pasien yang memang masuk kategori berisiko tinggi terhadap paparan virus corona. Anak-anak pun kesepian. 

Akan tetapi, itu masih belum seberapa dibanding masalah yang dialami Fadgham. “Kak, tahu pasien anak, Fadgham?” Chitra bertanya kepadaku pada pertengahan April lalu. “Dia ke rumah sakit naik sepeda motor. Ayahnya yang bawa. Kalau tidak salah, rumahnya di sekitar Puncak, Sukabumi. Sedih, Kak, kasihan.” 

Chitra kemudian menyamankan duduknya di kursi di dekatku di ruang perawat. “Fadgham,” kata Chitra. “Seharusnya melakukan kemoterapi awal April lalu. Tapi, karena tidak ada bus atau kendaraan umum yang dapat atau mau membawanya hingga ke rumah sakit, ditambah semua takut tidak bisa masuk ke Jakarta, Fadgham tidak menjalani kemoterapi.” Pada masa PSBB, kendaraan memang tak leluasa keluar-masuk Jakarta.

Setelah dua minggu, Chitra melanjutkan, ayah Fadgham mulai khawatir akan pengobatan anaknya. “Terpaksa ayahnya mengantarkan Fadgham ke Dharmais dengan sepeda motor. Sedih, ya. Padahal ayah Fadgham juga sakit, sering pucat. Ia sakit autoimun.” 

Aku pun segera menemui Mbak Netty, sekretaris tim dokter anak yang juga pegiat yayasan yang membantu anak-anak dengan kanker. Ia pun menyatakan kesediaannya mencarikan bantuan untuk Fadgham dan pasien anak lainnya yang rumahnya jauh dan perlu bantuan transportasi mobil untuk berobat. 

Namun, hingga beberapa waktu kemudian, Fadgham tak datang lagi. Baru sekitar dua bulan, tepatnya Juni lalu, bocah ganteng itu datang kembali untuk kemoterapi. Kali itu, ia tak diantar ayahnya, tetapi ibu dan tantenya. “Maaf, Fadhgam telat kemoterapi lagi bulan ini. Waktu itu ayahnya sakit dan dirawat. Tapi, ia tidak mau transfusi, jadi dibawa pulang,” kata sang Ibu, sedikit terbata-bata dan matanya mulai berkaca-kaca. 

Ia terdiam sejenak, kemudian meneruskan kisahnya, yang membuat kami kehilangan kata-kata. “Saat ini saya masih berduka, Suster. Baru seminggu lalu ayahnya Fadhgam meninggal. Beliau jatuh sakit beberapa hari setelah pulang mengantar kemoterapi Fadgham sebelumnya.” 

Tak terasa air mata menetes di ujung mataku. Masker dan face shield sedikit menutupi kesedihanku yang begitu dalam. Aku pun mengelus pundak ibu Fadgham, mencoba menguatkannya.

Menjadi perawat di Ruang Anak dengan kanker memang harus “kuat”. Kami kerap mendengarkan masalah, curhat, atau bahkan tangisan para ibu atau anggota keluarga lain yang menemani pasien anak. Bisikan dari hati selalu memompa semangatku: “Semangat membantu harus tetap dinyalakan pada masa pandemi ini. Tetap menjadi perawat yang membantu mereka yang terkena dampak Covid-19 ini.” Saya yakin, temanteman juga demikian. 

Sudah berbulan-bulan lewat. Pandemi belum juga hengkang. Bahkan tanda berkurang pun belum kelihatan. Kami masih harus menghadapi kondisi berat ini. Tak tahu sampai kapan. Kami masih harus mengenakan masker sepanjang hari, juga jubah, yang terkadang harus rangkap. Pengap, gerah. Namun, kami tetap bersemangat menyongsong hari demi hari, demi anak-anak kecil pelawan kanker. 

Ancaman Covid-19 cukup dekat dengan kami yang sehari-hari berkutat di rumah sakit dan selalu berdekatan dengan orang-orang sakit.

Noor Siti Noviani Indah Sari

Beragam upaya kami ikhtiarkan untuk mengurangi berbagai masalah yang cukup pelik, terutama untuk membantu para pasien mungil kami. Misalnya, untuk membuat anak-anak tidak ketakutan dan tersenyum, kami mengupayakan penutup kepala (topi) dengan gambar karakter kartun atau film kesukaan anak-anak. Ada penutup kepala bergambar Superman, Elmo, Mickey Mouse, Teddy Bear, Doraemon, dan sebagainya. 

Saat ini, kami juga tengah berusaha membuat jubah atau baraskot bergambar karakter. Namun, sayang, dana kami terbatas, sehingga sampai saat ini belum terwujud semua. 

Di sisi lain, seiring dengan berjalannya waktu, anak-anak mulai terbiasa. Senyum telah kembali menghiasi wajah-wajah imut mereka. Semangat kembali tumbuh. Untuk mengenali kami, biasanya kami meletakkan foto dan nama kami di name tag besar. Foto pun kami pilih dengan wajah yang tersenyum lebar. Seolah-olah kami ingin menunjukkan, di balik masker dan face shield, ada senyum kami. Ke depannya, kami berencana membuat sesuatu yang lebih cantik dari name tag ini.

“Kak, sekarang Asyifa sudah mau mencium tangan aku. Lucu sekali. Dia sudah tak takut aku lagi,” kata seorang perawat junior, Tyas, sembari tersenyum lebar. “Sekarang topi kita yang Elmo ini jadi kesukaannya.” 

“Ayo semangat berjuang para pejuang kecil kami!” teriak hati dalam diamku. 

Di benak tak henti berdansa coretan Florence Nightingale, pelopor keperawatan modern, dalam buku hariannya pada 1870: “It will take 150 years for the world to see the kind of nursing I envision.” 

Jakarta, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top