Tuk, Tuk…Kruk Mbak Nur Terus Bergerak

Bekerja untuk The Asia Foundation (TAF, Ade mengelola Program Peduli yang mendampingi kelompok rentan dan marginal di Indonesia. Mantan jurnalis ini belajar sosiologi di Universitas Gadjah Mada dan melanjutkan pendidikan di bidang HAM, perempuan, dan studi konflik di ISS-Erasmus University of Rotterdam, Belanda.

Saya masih mengingat jelas suara itu. “Jadi kita harus hentikan semua kegiatan dengan komunitas?” Suara nyaris tercekik itu terdengar di seberang telepon. 

Saya sendiri mematung. Percakapan telepon pada awal April 2020 dengan Mbak Merlyn Sopjan, mitra kerja kami dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), terhenti sesaat. Saat itu, saya sedang menjajaki kemungkinan menghentikan semua kegiatan tatap muka karena angka kasus Covid-19 terus naik dan semakin tak terkendali. Saya tahu betapa penting kegiatan itu tetap berlangsung. Ini bukan sekadar kegiatan yang harus dilaporkan setiap bulan. Ini adalah kegembiraan, kebahagiaan, dignity bagi orang-orang yang selama ini merasa terbuang. Bagai mesin, kegiatan komunitas ini menggerakkan kehidupan. Seperti baterai yang memutar jarum jam. Tanpa kegiatan, kehidupan terasa lamban. Hilang kegembiraan. 

Begitulah Program Peduli bekerja. Bergerilya. Menggerakkan “mesin-mesin” yang terhenti. Melumaskan simpul-simpul yang berkarat. Mengunjungi sudut-sudut kampung. Menyambangi lorong-lorong dan labirin tak terjangkau. Reaching the invisible. Menemukan difabel yang disembunyikan keluarga. Memeluk simbah-simbah penyintas yang sepanjang hayat memanggul stigma “pemberontak” di punggungnya. Merengkuh kawan-kawan transpuan yang terusir dari rumah dan bertarung nyawa di jalanan. Mengetuk hati para pengambil kebijakan dan penyedia layanan untuk “menoleh” dan syukur-syukur menjadi kawan setia. 

Gelap 

Ketika wabah Covid-19 mulai memengaruhi kegiatan kami, segalanya masih gelap. Kebijakan pemerintah belum terarah. Tidak ada kepastian. Kantor kami mengeluarkan kebijakan work from home dan mengatur protokol pertemuan serta perjalanan dengan sangat ketat. Mata rantai penyebaran virus mematikan itu harus dihentikan. Tak ada pertemuan tatap muka. 

“Bagaimana mengadakan kegiatan magang secara daring, Mbak?” pertanyaan dari mitra membuat saya terenyak. Tak semua punya kemewahan memegang telepon seluler. Pun, kami tahu, justru dalam situasi pandemi ini yang dibutuhkan komunitas adalah bergandengan tangan, saling menguatkan. 

“BLK (Balai Latihan Kerja) sudah siap mendukung. Kami sudah tanda tangan MoU. Ini sangat berarti untuk teman-teman, Mbak,” Merlyn, mitra kami yang bekerja untuk komunitas transpuan, mencoba meyakinkan. Suaranya melemah. Ia tahu, saya telah mencoret usul kegiatan yang dia kirimkan. Namun bagaimana mungkin? Kegiatan magang akan diikuti oleh kader dari berbagai provinsi, sementara jadwal penerbangan pesawat sangat dibatasi. Terlalu berisiko. Kegiatan magang tak bisa dilaksanakan. 

Di sisi lain, saya paham. Dukungan dari instansi pemerintah terhadap kegiatan transpuan sangat penting. Ini adalah pengakuan. Pengakuan yang tidak datang dengan mudah. Pengakuan yang disambut dengan sukacita. 

Pertanyaan lain datang dari Lilik H. Setyowatiningsih, mitra kami yang bekerja untuk penyintas pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat masa lalu. “Bagaimana dengan komunitas kami di Sikka? Tak ada sinyal di desa-desa. Sangat sulit melakukan semua kegiatan tanpa tatap muka.” Dari layar laptop pertemuan daring kami, terlihat rahangnya mengeras. Suaranya setajam pisau, membuat saya dihantui perasaan bersalah. 

Terbayang di benak, bagaimana ina-ina (sebutan untuk ibuibu di Sikka) berkerumun di bawah pohon pala, mempelajari motif tenun baru sambil bernyanyi. Mereka baru saja menerima bantuan kacamata plus dan begitu bersemangat menenun. Lalu ini terhenti? 

Ranie Hapsari, mitra kami yang mendampingi difabel, pun mengangguk setuju. “Di kasus kami juga ada kegiatan yang sulit dilakukan secara daring, Mbak. Misalnya, kunjungan rutin untuk ODDP (orang dengan disabilitas psikososial atau sering disebut orang dengan gangguan jiwa).”

Saya tahu. Namun saya bisa apa? 

Indonesia semakin mencekam. Statistik kasus positif Covid-19 merangkak naik. Pada pertengahan Juli ini, kita telah menyalip Cina. Bukan main! Kematian demi kematian terus membayang. Tenaga medis berguguran. Saya ketakutan. Bukan hanya takut mati, tapi juga takut menjadi penyebab kematian. 

Pertanyaan-pertanyaan itu mengepung dari segala arah. Saya gugup. Memulai dari mana. Semua serba tiba-tiba. Semua rencana harus diformat ulang. 

Melalui WhatsApp Group (WAG) kami saling bertukar kabar. 

Farah Frisilia, kawan kami dari Srikandi Pasundan, Bandung, mengatakan banyak komunitas dampingan kehilangan pekerjaan. Kawan-kawan transpuan umumnya bekerja di salon. Pelanggan takut. Salon tutup. 

Sebagian yang lain menjadi perias pengantin dan dekorasi pesta. Pada masa pandemi ini, nyaris tak ada pesta pernikahan. Kalaupun ada, dilakukan secara sederhana. Masih untung mereka bisa mengandalkan dari acara akad nikah. Namun sampai kapan? Usaha rias dan dekorasi lesu. 

Ada juga yang menjadi pengamen dan penjaja makanan. Mereka tak bisa ke jalan. Nafkah hilang. Sebagian terusir dari rumah kontrakan karena tak mampu bayar sewa. Hal yang sama terjadi pada komunitas transpuan dampingan kami di 11 kabupaten/kota lainnya. Sungguh, akhir yang menyesakkan. 

Di Solo, ada Mbak Didik Dyah. Kawan kami dari Sekber 65 ini mengabarkan bahwa para penyintas tragedi 1965 yang selama ini ditopang anak-cucunya harus pasrah. Usaha anakcucu, warung wedangan, angkringan, dan sebagainya, tutup sementara. Tak ada uang masuk. 

Para penyintas sepuh yang tinggal sendirian mulai mengeluh pusing. Jika ingin bertemu kawan, harus mengenakan masker. “Tanpa masker saja napas sudah kembang-kempis, ini masih harus pakai. Tapi, bagaimana lagi, daripada cepat mati,” salah seorang dari mereka masih bisa berseloroh. Padahal, saya tahu, hatinya menjerit.

Semua yang didampingi Didik sudah masuk kategori lansia. “Kami ini tinggal menunggu ‘dipanggil’, tapi kalau bisa, ya, jangan karena corona,” Didik melapor, menirukan perkataan Mbah Sanusi. 

Sebelum pandemi, para simbah penyintas menemukan kebahagiaan dengan berkumpul bersama setiap bulan. Mereka berlatih panembromo, tembang tradisional Jawa; saling bercerita; membangun semangat; dan saling menguatkan. 

Dengan menenteng buku hijau di tangan, para simbah rutin memeriksakan kesehatan didampingi para relawan. Buku hijau adalah surat keterangan yang menyatakan pemegangnya adalah korban dari kekerasan 1965. Buku ini bisa digunakan untuk berobat gratis di rumah sakit atau puskesmas. Buku ini diperoleh melalui perjuangan panjang, dimulai dari pendataan, penelusuran, verifikasi dan validasi, hingga keluar surat keterangan korban dari Komnas HAM yang menjadi dasar dikeluarkannya buku hijau. 

Namun tak hanya di Solo. Situasi menyesakkan ini juga dialami para penyintas di Yogyakarta, Lampung, Aceh Utara, Palu, dan Sikka. 

Pandemi Covid-19 juga menghantam kawan-kawan difabel. Kawan-kawan yang umumnya bekerja di sektor informal, seperti pedagang kecil, loper koran, pemijat, penjahit, dan seniman, mengalami penurunan pendapatan signifikan akibat kebijakan pembatasan sosial. Di sisi lain, harga bahan pokok melejit naik. 

Beban semakin berat dirasakan keluarga ODDP. Mereka harus rutin meminum obat dan mengikuti terapi. Pandemi memaksa semua terhenti. Akibat pembatasan sosial ini, anakanak difabel yang selama ini mendapat layanan terapi di sanggar inklusi juga tak bisa lagi mengikutinya. Forum keluarga difabel tak bisa dilaksanakan. Padahal di situlah sesama keluarga difabel saling bertemu, saling menguatkan. 

Membaca halaman per halaman laporan itu, hati saya perih. 

Tirai pun Tersingkap 

Lalu segala sesuatu yang beberapa bulan lalu tampak mustahil, pada akhir Juli mulai tampak mungkin. Dalam kapasitasnya masing-masing, semua bergerak cepat. Kantor kami di Jakarta menyiapkan protokol kegiatan pada masa pandemi. Panduan penyelenggaraan kegiatan daring dikirimkan. Prioritas anggaran disusun ulang. Bantuan kedaruratan untuk kelompok yang terkena dampak paling rentan diperbolehkan. Para mitra di lapangan melakukan penggalangan donasi untuk komunitas yang terkena dampak. Semua berjibaku saling bantu. 

Kegiatan tetap berjalan, meski dalam situasi berbeda. 

Tak dinyana, empat bulan telah lewat, dan semua baik-baik saja. Hampir semua pertemuan, konsultasi, lokakarya, pelatihan, bahkan kegiatan kampanye dan pergelaran ketoprak dilakukan secara daring. Semua beradaptasi dengan normal baru. Tak disangka, kita telah merangkul era industri 4.0 tanpa sengaja. Blessing in disguise.

Tak berhenti di situ. Covid-19 telah mengajarkan kokohnya solidaritas. Farah di Bandung mengisahkan betapa kawan-kawan transpuan yang pandai menjahit tergerak untuk mengumpulkan kain perca dan menjahit masker kain. Mereka bekerja siang-malam menyelesaikan ribuan jahitan dan dibagikan kepada komunitas dan masyarakat sekitar, termasuk tukang becak, sopir truk, pedagang asongan, dan anak jalanan. Ia membalas pelecehan oleh YouTuber Ferdian Paleka yang membagikan sembako berisi sampah kepada tiga transpuan dengan cara ini: berbagi masker gratis yang dijahit dengan tangan sendiri. 

Untuk membangun ketahanan pangan, komunitas transpuan di lima wilayah menanam sayuran dalam pot, dari kangkung, sawi, tomat, hingga bawang merah. Kini mereka juga merambah membuat budi daya ikan dalam ember (Budikdamber). Saat ini setiap komunitas sudah berhasil memanen lele dan sayuran. Tak hanya untuk kebutuhan komunitas transpuan, tapi juga dimanfaatkan tetangga kirikanan yang membutuhkan.

Di Yogya, kawan-kawan transpuan yang dipimpin Mami Rully mendirikan dapur umum dan menggalang donasi untuk komunitas lansia. Cerita sejenis juga saya dengar dari Banjarmasin, Palangka Raya, dan Palembang. 

“Tanpa masker saja napas sudah kembangkempis, ini masih harus pakai. Tapi, bagaimana lagi, daripada cepat mati.”

Ade Siti Barokah

Di Sukoharjo, organisasi difabel Sehati terlibat aktif dalam Rumah Sehat Covid-19 untuk memastikan adanya pelayanan yang inklusif bagi difabel yang dirawat. Mereka juga mendirikan Posko Lansia, Disabilitas, dan Rentan lainnya yang bertugas melakukan verifikasi dan validasi data, menyalurkan bantuan sembako, memberikan pelatihan kepada petugas Covid-19 tentang tata cara berinteraksi dengan pasien difabel netra, dan lain-lain. Selain itu, Sehati mendirikan posko aduan dan melakukan peer counseling serta pendampingan kepada difabel dan keluarganya yang harus melakukan isolasi dan karantina. 

Di Situbondo, Ketua Kelompok Difabel Desa (KDD) Nur Rahmatillah aktif mendirikan dapur umum dan menggalakkan ketahanan pangan melalui program “menanam sayuran di pekarangan”. 

Di Solo, para penyintas lansia yang tergabung dalam Ketoprak Srawung Bersama (KSB) berhasil menggelar ketoprak dari rumah berjudul Pagebluk, yang disiarkan secara langsung melalui YouTube. Simbah-simbah, yang pada awal masa pandemi merasa sedih karena kesepian, kembali beraktivitas. Dengan pendampingan Sekber 65, mereka aktif berkebun, menulis cerita, dan mengikuti forum diskusi kelompok lansia secara daring yang memungkinkannya “bertatap muka” dengan sesama lansia dari berbagai kota. 

Di Yogya, ada Bu Sri Muhayati, penyintas 65 yang merelakan rumahnya dijadikan posko pembuatan nasi bungkus dan jamu empon-empon. “Jalan saya sudah tidak normal, namun saya bulatkan tekad untuk mendatangi mereka membagikan bantuan ini.” 

Mendengar cerita-cerita itu, hati saya terasa hangat. Rasanya saya dapat mencium harum nasi hangat dengan telur rebus dan bacem tempe yang dibagikan Mami Rully dan kawan-kawannya di Pesantren Transpuan Al Fattah. Saya bayangkan tangan keriput Bu Sri menyeduh jamu emponempon dan membagikannya ke teman dan tetangga. Terbayang senyum merekah di balik masker para simbah ketika mengikuti pertemuan virtual lansia se-Indonesia. Tuk, tuk, tuk. Saya seperti mendengar bunyi kruk yang setia menyangga kaki polio Mbak Nur, mengajak ibu-ibu di desanya terus bergerak. 

Indah. Sungguh indah. 

Jakarta, Agustus 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top