Penasihat senior bidang gender dan anak muda di kantor pusat World Health Organization (WHO) di Jenewa, Swiss. Mantan Staf Khusus Menteri Kesehatan RI ini mendirikan lembaga think tank kesehatan, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Ia menginisiasi program Pencerah Nusantara untuk memperkuat layanan kesehatan primer di daerah periferi Indonesia. Inisiatif ini diadopsi oleh Kementerian Kesehatan menjadi program Nusantara Sehat, hingga kini di masa pandemi.
Perjumpaan tak sengaja itu hanya berlangsung tidak lebih dari lima menit. Langkah saya bergegas menghampiri laki-laki yang baru saja selesai diambil fotonya di halaman depan kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO): Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO. Selain karena ingin menanyakan kabarnya di tengah situasi genting setelah wabah di Wuhan meluas, saya ingin mengambil kesempatan untuk memberi laporan singkat tentang pekerjaan.
“How are you, Diah?” beliau mendahului saya bertanya, dengan senyum lebarnya dan intonasi yang penuh perhatian– seperti biasanya. “I’m good, DG,” saya menjawab. Saya memang terbiasa memanggil beliau dengan sebutan DG (baca: Diji), sementara banyak rekan lain lebih senang memanggil beliau Dr Tedros.
Tidak mau kehilangan kesempatan, saya segera berbicara untuk melaporkan pekerjaan sekaligus bertanya, “How are you, DG? I have been following the situation and I was thinking about how you’re doing.” Lalu beliau menjawab seperti ini, “I am well, insyaallah. Please think of how you can make something big for youth, especially. Do your best.” Sangat mengesankan bahwa itu diucapkan beliau dengan perhatian penuh kepada saya–sebagaimana beliau biasanya, tidak tampak sama sekali bahwa beliau hanya sambil lalu atau sekadar basa-basi.
Pekerjaan saya di WHO memang berhubungan langsung dengan beliau. Sebagai penasihatnya dalam bidang pemuda dan gender, saya dituntut untuk bisa memberikan saran strategi pelibatan pemuda dan kesetaraan gender dalam kebijakan kesehatan langsung kepada direktur jenderal. Saya bayangkan saat itu, langkah transformatif apa yang harus diambil agar strategi pemuda dan gender mampu merespons merebaknya wabah dengan cepat.
Percakapan singkat ini terjadi pada awal minggu keempat saat wabah mulai merebak di Wuhan, akhir Januari 2020. Saat itu, kasus sudah menyebar ke 18 negara dengan akumulasi jumlah kasus sebanyak 7.818 orang, sebagian besar di Tiongkok. Hanya 82 kasus yang berada di luar Tiongkok.
Melihat perkembangan wabah yang sudah melintasi beberapa perbatasan negara, alarm internal saya mulai berdering keras. Pakem health emergency menyebutkan bahwa menyebarnya virus secara cepat bisa tidak terbendung dan inilah sesungguhnya saat negara-negara mulai bersiaga “menyambut” masuknya virus. Apalagi perpindahan manusia antar-batas negara juga saat itu belum dibatasi.
Waktu Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) diumumkan Direktur Jenderal WHO pada 30 Januari 2020, segenap adrenalin bekerja. Setelah PHEIC, hanya tersisa satu opsi: pandemi.
Dari kejauhan, saya memantau Tanah Air. Ada keluarga dan orang-orang tersayang yang saya rindukan. Bagaimana kalau pembatasan penerbangan membuat saya tidak bisa ke Indonesia? Namun saya tidak punya pilihan selain meneruskan tanggung jawab saya di markas besar WHO di Jenewa, Swiss.
Yang lebih membuat gelisah, minggu demi minggu pada tiga bulan pertama 2020, kabar yang saya terima dari Tanah Air isinya denial. “Tidak ada kasus novel coronavirus di Indonesia”, “Indonesia aman dari wabah karena masyarakatnya taat beribadah dan selalu minum jamu”, dan “Pariwisata harus digalakkan agar semakin banyak wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia.” Apakah pemahaman saya mengenai wabah yang salah? Bukankah virus tidak mengenal batas negara? Kalau virus telah berada di Singapura, Thailand, Australia, dan Malaysia, tidakkah sebuah keniscayaan virus itu sudah ada di Indonesia juga tapi belum diketahui karena kurang kuatnya sistem surveilans? Hati dan pikiran saya berkecamuk.
Kawan-kawan dari Indonesia tak sedikit yang menghubungi saya. Mereka bertanya, apa yang bisa dilakukan bersama untuk mendorong penanganan Covid di Indonesia jadi lebih baik? Namun bagaimana mau menangani bila belum ada kasus wabah satu pun di Indonesia? Berbagai jalur komunikasi ditempuh: resmi, tidak resmi, jalur diplomasi, jalur masyarakat sipil, semuanya.
Akhirnya pengumuman resmi itu dibuat: Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sebuah pengumuman yang disambut publik dan media dengan kehebohan. Pasien 01 dan 02 bahkan mengetahui statusnya positif Covid-19 dari media. Situasi ini tidak ideal, tentu.
Saya, terus terang tidak tahu harus senang atau sedih. Senang karena dengan ditemukannya kasus berarti seharusnya langkah penanganan wabah bisa segera berjalan. Sedih, karena ini akan jadi ujian terberat untuk bangsa. Selain Indonesia, jumlah negara yang mengumumkan terjadinya wabah berlipat ganda. Jumlah kasus bergerak naik secara eksponensial dan kita semua mulai menyiapkan mental untuk keadaan terburuk: pandemi.
Di sini, hari-hari sejak pengumuman di Indonesia hingga hari diumumkannya pandemi pada 11 Maret 2020 jadi terasa jauh lebih panjang. Direktur Jenderal WHO akhirnya mengirim surat kepada Presiden Jokowi, menyatakan dukungannya kepada pemerintah Indonesia dalam penanganan wabah. Surat tersebut mendahului pengumuman yang mengubah sejarah kemanusiaan abad ini: dunia dalam pandemi.
Rabu pagi, 11 Maret 2020, tidak akan saya lupakan seumur hidup. Deretan kursi-kursi kosong di depan warung kopi di lobi utama gedung WHO. Suasana yang lengang, tidak lebih dari sepuluh orang lalu-lalang pada pagi itu. Itulah hari terakhir kami berkumpul di kantor dan dimulainya hari-hari panjang bekerja dari rumah.
Di satu sisi, sebagai orang Indonesia yang ada di panggung lembaga dunia paling penting dalam situasi pandemi global, ini merupakan saat paling tepat sebagai pembelajar. Tak ada momen lain yang bisa menggantikan peristiwa bersejarah ini. Tapi, di sisi lain, saya gelisah. Pandemi artinya pembatasan penerbangan lintas batas negara hanya tinggal menunggu waktu. Ketakutan saya tidak bisa pulang ke Indonesia terjadi.
Sementara itu, komunikasi dan koordinasi dengan temanteman di Indonesia makin intens. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), organisasi masyarakat sipil bidang kesehatan yang saya dirikan enam tahun lalu, cepat memutuskan bertransformasi dengan melakukan respons tanggap Covid-19. Kelas online rutin untuk tenaga kesehatan digelar. Bekerja sama dengan filantropis, CISDI juga bergerak membangun jejaring dengan laboratorium dan berbagai rumah sakit, menyediakan tes RT-PCR (rapid test-polymerase chain reaction) gratis untuk tenaga kesehatan. Dokter, perawat, dan semua tenaga kesehatan perlu dibantu dengan bekal pengetahuan tentang penanganan wabah dan virus SARS-CoV-2 yang cukup. Tercatat, 7.000 tenaga kesehatan mengikuti berbagai kelas online, sementara RT-PCR diberikan kepada 2.000 tenaga kesehatan di Jabodetabek.
Yang lebih membuat gelisah, minggu demi minggu pada tiga bulan pertama 2020, kabar yang saya terima dari Tanah Air isinya denial.
Diah Saminarsih
Kadek Wardana, Kepala Puskesmas Peninjauan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, adalah salah satu peserta kelas online. Kesan yang dia sampaikan sungguh membesarkan hati, “Kelas online CISDI sangat membantu untuk pekerjaan saya, baik itu pengetahuan maupun informasinya tentang Covid-19. Dari beberapa kali kelas online yang saya ikuti, informasinya sangat update dan relevan.”
Pencerah Nusantara, metode intervensi penguatan layanan kesehatan primer yang diinisiasi serta diimplementasikan sejak 2012 dan diasuh oleh CISDI sejak 2014, disiapkan sebagai cara memperkuat peran puskesmas dalam respons Covid-19. Awalnya, tebersit keraguan tahun ini Pencerah Nusantara bisa meluncur. Namun situasi emergensi jadi pendorong yang menguatkan. Pencerah Nusantara harus ada. Segera. Walaupun sedikit gentar, pesan mentor saya, Prof Dr Nila Moeloek, menenangkan hati. Beliau mengatakan, “Peran tim Pencerah Nusantara dalam membantu pemetaan masalah di puskesmas merupakan sebuah tugas mulia. Tim Pencerah Nusantara dan puskesmas dapat bersama-sama melacak kasus, menemukan pasien positif Covid-19, serta memastikan penanganan dan tindak lanjutnya. Dalam pelaksanaannya, tim Pencerah Nusantara juga harus ingat bahwa ada kearifan lokal yang perlu dijadikan bekal dalam melakukan intervensi kesehatan.”
Akhirnya, pada 21 Juni 2020, 13 pemuda anggota Pencerah Nusantara Covid-19 resmi berangkat bertugas, setelah sebelumnya ikut pembekalan online selama delapan hari. Mereka diterjunkan ke garis depan; berada di tengah komunitas; serta memberikan jiwa, raga, dan pemikirannya bersama para tenaga kesehatan lain di delapan puskesmas.
Menyikapi tugasnya menghadapi wabah, Putri Handayani, salah seorang dokter anggota tim Pencerah Nusantara Covid-19, mengatakan, “Perasaan khawatir tentu ada. Namun keinginan saya untuk berkontribusi secara langsung demi terwujudnya perubahan di tengah masyarakat jauh lebih besar dibandingkan dengan rasa khawatir itu.”
Memasuki bulan keenam pandemi, hari-hari saya semakin padat. Brief pengarusutamaan gender dalam strategi penanganan kegawatdaruratan kesehatan di tingkat global sudah keluar pada Juni 2020. Rancangan keterlibatan pemuda secara global dalam berinovasi dan memerangi pandemi sedang dalam proses pematangan. Pencerah Nusantara, harapan dan kebanggaan saya, sedang berjibaku melawan wabah di Kota Jakarta dan Bandung. Covid-19 seperti tali penghubung seluruh dunia, menghubungkan kantor WHO di Jenewa, saya, dan sudut-sudut Tanah Air–Tanjung Priok, Cicendo, Andir, dan Bandung Kulon.
Saat duduk di bangku depan gedung WHO pada suatu siang. Kenangan saya kembali ke usia 12 tahun waktu pertama kali diajak menemani almarhum Bapak rapat ke Zurich, Swiss. Tidak pernah terlintas di kepala saya, suatu hari, puluhan tahun kemudian, saya mencicipi menjadi penduduk negeri ini, di Kota Jenewa, pada masa pandemi. Hidup memang selalu penuh kejutan.
—This one is for you, Pak Sam.—
Jenewa, September 2020