Lapor, Covid-19

Irma adalah salah satu penggagas sekaligus co-leader LaporCovid-19, sebuah koalisi warga untuk mengumpulkan laporan warga dan data terkait dengan Covid-19. Doktor di bidang kesehatan publik dan perilaku dari Columbia University, Amerika Serikat, ini kini bekerja sebagai konsultan kesehatan masyarakat independen untuk gizi dan kesehatan ibu-anak.

Seperti orang bingung. Saat itu pertengahan Februari. Masak, sih, belum ada satu orang pun yang sakit Covid-19 di Indonesia? Saya mulai bertanya-tanya. Pada saat yang sama, pemerintah justru meneguhkan keyakinan warganya bahwa “kita bakal aman dari virus corona” melalui berbagai pembenaran yang semakin jauh dari akal sehat. Pernyataan-pernyataan yang keluar sama sekali tidak berpijak pada keilmuan penyebaran dan laju wabah baru atau emerging infectious disease.

Padahal, menurut saya, saat itu sebenarnya tinggal menutup akses. Dengan demikian, tidak ada perpindahan atau mobilitas orang dari satu wilayah ke wilayah lain. Misalnya, semua akses masuk ke wilayah Indonesia ditutup saja biar virusnya tidak terbawa oleh pelancong yang bepergian dari wilayah endemik. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan juga. Di atas kertas, kebijakan tersebut terlihat sederhana. Namun pelaksanaannya memang rumit. 

Sementara itu, satu per satu kabar orang meninggal tanpa tegaknya diagnosis pun semakin banyak. Hanya ada informasi bahwa mereka dikubur dengan protokol kesehatan Covid-19. Hingga suatu hari, salah satu kolega dikabarkan sakit dan meninggal karena sesak napas dan dikubur dengan protokol Covid-19. 

Alhasil, sepanjang awal tahun, saya cukup gelisah. Ada yang salah dengan pendeteksian kasus Covid-19 secara cepat. Tidak ada informasi yang jelas tentang hal ini. Janganjangan, diam-diam penguasa sengaja tidak mau membuka aib penanganan wabah yang lamban. Itu dugaan diam-diam saya. 

Akhirnya saya menyalurkan kegelisahan tersebut dengan membuat program diskusi pandemi berseri melalui Instagram live Ojo Keos, toko buku sekaligus kedai kopi dan ruang sederhana yang saya kelola bersama beberapa teman secara kolektif. Selama ini kami memang rutin mengadakan diskusi. Namun, sejak minggu kedua Maret, toko kami tutup. Biasanya, selepas diskusi, saya lanjutkan obrolan gibah wabah melalui japri dan berujung: “Kita harus buat sesuatu ini!” 

Akhirnya, pada awal Maret, bersama seorang sahabat lama yang merupakan wartawan senior dan memiliki wawasan mendalam terhadap isu krisis dan kebencanaan, kami putuskan membuat grup WhatsApp. Siapa saja isinya? Awalnya kami berlima. Saya, suami, kawan wartawan, dan dua kerabat akrab yang memang sehari-hari kerap berdialog merespons banyak situasi. Lalu kami mulai mengajak beberapa kawan dekat di lingkaran aktivitas kami. 

Kami putuskan untuk berfokus mengumpulkan data dan informasi mereka yang terinfeksi ataupun yang meninggal tapi tidak terdeteksi. Mengapa? Sederhana saja. Untuk melihat besarnya keparahan sebuah wabah, angka morbiditas (persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan) dan mortalitas menjadi salah satu ukuran penting. Dengan mendata semua yang sakit karena infeksi virus SARS-CoV-2 ini memudahkan pemangku kepentingan mengambil langkah terbaik dalam mengendalikan sebaran si virus. 

Maka, data dan informasi yang baik merupakan kunci menghadapi pandemi Covid-19. Sayangnya, persis di dua hal mendasar tersebut, hingga tulisan ini rampung dikerjakan, data Covid-19 di Tanah Air masih jauh dari ideal. 

Orang gaptek menyusun rencana hi-tech 

Masih pada Maret. Data resmi Covid-19 jauh lebih kecil daripada informasi, berita di media, media sosial, serta kabar dari kerabat mengenai banyaknya orang yang terkapar hingga meninggal tanpa bisa dirawat di rumah sakit rujukan Covid-19. 

Jelas ada kasus yang under-reporting. Tenaga kesehatan sepertinya memang tidak disiapkan dengan baik. Mestinya, selama Januari-Februari, saat “belum ada temuan kasus” di Indonesia, pemerintah menyiapkan semua tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan. Laksanakan saja prinsip pencegahan infeksi dengan baik. Toh, Kementerian Kesehatan sudah memiliki instrumen petunjuknya. Termasuk cara mendeteksi dan mencatat mereka yang memiliki gejala klinis Covid-19 dan meninggal karena itu.

Akhirnya kami putuskan untuk membangun semacam wadah yang bisa digunakan warga untuk menginformasikan jika ada yang sakit dan mengalami gejala mirip Covid-19, atau jika ada saudara atau kerabatnya meninggal dengan protokol pemulasaraan Covid-19. 

Jadi, kalau selama ini pemerintah mencatat jumlah kasus Covid-19 berdasarkan penelusuran mereka, sebaliknya, kami memilih pendekatan yang bersifat bottom-up. Masyarakat bisa melaporkan atau menginformasikan kejadian yang ditengarai sebagai Covid-19 dan perlu penanganan lebih lanjut di lingkungan sekitar mereka, yang jangan-jangan luput dari pantauan pemerintah. 

Lantas bagaimana caranya? Terus terang, tidak satu pun dari kami melek teknologi tinggi. Saya dan kawan-kawan kemudian berpikir, bagaimana caranya memanfaatkan WhatsApp saja, mengingat hampir semua orang memiliki aplikasi WA di telepon selulernya. 

Ide ini diterima dengan baik, tapi kurang antusiasme. Sebab, tidak satu orang pun paham bagaimana mewujudkan ide ini. Saat itu sudah pertengahan Maret. Pemerintah sudah mengumumkan beberapa kasus Covid-19. Kami berpikir terus. Mencari tahu siapakah yang bisa menolong orang-orang gaptek (gagap teknologi) dan ketinggalan teknologi seperti kami ini. Hampir setiap hari saya menelepon dan mengirimkan pesan ke kenalan kolega yang bergerak di bidang teknologi informasi. 

Saya menelepon Mas Hadi (bukan nama sebenarnya). “Wah, terlalu sulit Mbak Ir. Bikin Google Form saja,” pakar teknologi informasi ini mengusulkan. Langsung lemas dan sedikit kendor, deh… 

Pada hari yang sama, saya menghubungi seorang teman lainnya melalui pesan singkat. Tidak ada respons jelas. Lalu kami menghubungi kawan lama. Dia sepakat untuk langsung ngobrol saja. Kami pun mengadakan pertemuan virtual, tapi berujung dengan jawaban yang memilukan: “Sepertinya kita tidak bisa mengumpulkan laporan kejadian dan kematian yang datanya bukan dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah.” Pendapatnya menolak ide kami untuk mengajak warga urun data Covid-19. Kami pun menutup pertemuan dengan sunyi.

Sementara beberapa teman lain sudah mulai kendor, sekali lagi, kami dikenalkan kepada seorang ahli teknologi data dan informasi yang lain. Beliau menyanggupi untuk bergabung. “Saya bisa bantu. Kita buatkan mesin WA-nya,” begitu kirakira janjinya. “Kita butuh bergerak cepat, Mas,” pesan saya berulang-ulang menekankan urgensi WA Bot ini. 

Hampir seminggu berselang, tidak ada kemajuan yang berarti. Saya cukup sedih, kecewa, dan bercampur marah kepada diri sendiri. 

Kami tidak bisa menunggu. Sebab, ini sangat urgen. Penting sekali. Kita berkejaran dengan virus, dengan manusiamanusia yang terancam nyawanya karena kelalaian penanganan dini. Indonesia butuh data dari akar rumput untuk melengkapi data pemerintah. 

Terus terang, tidak satu pun dari kami melek teknologi tinggi.

Irma Hidayana

“Ya sudah, mungkin memang harus menggunakan Google Form,” kata seorang teman, supaya kami bisa bergerak maju. Akhirnya saya membuat formulir sesuai dengan desain pertanyaan yang tadinya kami harapkan menjadi menu di WA Bot. 

Namun, di tengah pembuatan formulir elektronik ini, suatu sore, kami bertemu secara virtual dengan sekelompok anak muda praktisi teknologi informasi yang tertarik bergabung. “Oke, dikirim saja Mbak alur pertanyaan ini. Nanti kami pindahkan dalam format two-way communication di WA. Sejauh ini respons Covid-19 dalam format WA Bot hanya berbentuk one-way communication, hanya menyampaikan informasi, tapi tidak menggali informasi,” anak-anak muda ini menjelaskan.

Saya pribadi senang atas tanggapan mereka. Namun sudah siap jika hasilnya nihil. Maka, diam-diam saya melanjutkan menyelesaikan isian Google Form. Dengan demikian, jika beberapa hari lagi tidak ada kabar dari anak-anak muda tersebut, kami tetap bisa menjalankan rencana kami. 

Sementara itu, beberapa di antara kami sudah terlihat lelah. Mulai menunjukkan respons yang kurang antusias di grup chat. Saya mencoba memotivasi sebisa mungkin. Buat saya, sebaik-baiknya ide dan rencana adalah yang terealisasi. Ada “barangnya”, konkret. Makanya mungkin ini saatnya berefleksi. Ide saya membuat WA Bot ini mungkin terlalu berlebihan bagi saya sendiri dan kami yang kurang mengikuti perkembangan teknologi informasi serta ilmu data. 

Tiba-tiba, bunyi pesan masuk di grup membuyarkan refleksi diri saya: “Mbak, Mas, silakan dicoba kirim WA dan telegram ke sini. Jika ada masukan, nanti malam kita rapat, ya.” Tanpa menunda-nunda lagi, saya langsung mencobanya. Wah, mantap! Ada perbaikan di sana-sini. Namun kami tidak menyangka ide ini terwujud! 

Tidak sampai 48 jam, akhirnya kami bisa mewujudkan angan-angan yang tertunda. Senang sekali rasanya. Para anggota grup gembira bukan main. 

Kami pun bekerja bahu-membahu. Ada yang membuat narasi siaran pers, meresmikan kelahiran bayi baru kami, wadah pelaporan warga. Ada pula yang sibuk mengatur jadwal pertemuan dengan berbagai komunitas untuk mengenalkan bot ini. Tim teknologi informasi menyiapkan website dan platform pendukung lainnya. 

Sementara itu, di grup chat, kami sibuk menamai inisiatif kami ini. Setelah berembuk lama, akhirnya kami sepakat menamai diri kami dengan ”Lapor Covid-19”. Dengan nama panjangnya: Koalisi Warga untuk Lapor Covid-19.

Hingga cerita ini ditulis, Lapor Covid-19 sudah memiliki sekitar 150 relawan dan kolaborator ahli yang bergotong royong urun data, tenaga, waktu, pikiran, komitmen, dan dedikasi untuk berkontribusi mendorong transparansi data Covid-19. Setiap hari kami memindahkan data harian Covid-19 dari semua website kabupaten dan kota di Indonesia, serta merekap jumlah total kematian terduga dan terkonfirmasi akibat Covid-19. Hampir setiap hari pula beberapa di antara kami sibuk menjalankan studi persepsi risiko, asesmen situasi stigma, dan kegiatan lainnya. 

Kami juga berjejaring dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mengadvokasi temuan Lapor Covid-19. Kami percaya, hanya dengan berkolaborasi, kita bisa melalui pandemi dengan selamat. 

Jakarta, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top