Lahir di Desa Kelembunan, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, 27 tahun lalu. Lulusan SMA ini bergabung sebagai tenaga magang di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 2012. Selepas magang, Sri merintis pendidikan alternatif untuk anak-anak Suku Punan di Kampung Semeriot, Sekolah Adat Punan Semeriot. Mereka belajar bersama pohon-pohon lebat dan sungai jernih.
GLEK! Tercekat saya membaca sebuah pesan yang masuk di sebuah grup WhatsApp. “Ustad A (inisial) yang di Desa Bunau positif corona, baru saja dijemput oleh pihak Rumah Sakit Umum Tanjung Selor. Jadi tolong beri tahukan kepada keluarga agar waspada, jangan ke mana-mana dulu.”
Saat itu, pada pertengahan April 2020, malam belum begitu larut. Saya sedang membaca buku. Tiba-tiba, layar telepon seluler yang tergeletak di meja kerja menyala, tanda ada pesan masuk. Saya raih gadget buatan Korea Selatan tersebut. Mata pun langsung lebar.
Malam itu, saya tak bisa tidur. Dalam benak saya, virus mematikan ini benar-benar telah dekat dengan saya dan keluarga yang tinggal di Desa Kelembunan, Kecamatan Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara. Kabar soal virus yang selama ini hanya saya baca di internet atau tonton di televisi telah ada di depan mata. Saya pun langsung membuka-buka semua akun media sosial saya untuk mencari artikel tentang Covid-19 dan cara pencegahannya. Kebetulan saya tengah sendirian di rumah. Orang tua dan adik sedang berada di kebun di Kerempaka, wilayah adat Desa Punan Dulau, juga di Kecamatan Sekatak, sekitar 50 kilometer dari Kelembunan.
Keluarga saya memang jarang tinggal di kampung, kecuali ada acara atau keluarga jauh datang. Sudah menjadi kebiasaan dari dulu, orang tua saya tinggal di kebun. Mereka bekerja sebagai peladang dan perajin rotan. Beragam kegiatan di kebun sangat membahagiakan mereka: memanfaatkan hasil alam, berburu, meramu, mencari rotan, dan mencari obat di hutan untuk menjaga stamina selama tinggal di kebun.
Tepat pukul 03.00, saya mengirim pesan ke teman yang bekerja sebagai perawat, menanyakan kepastian kabar yang tengah beredar tersebut. Hati saya amat resah. Apalagi melihat posting-an orang-orang di Facebook yang mengatakan bahwa pasien yang terjangkit tersebut sempat melakukan kontak fisik dengan beberapa orang di masjid dan bank. Kawan saya mengkonfirmasi berita tersebut. Ia juga mengatakan tengah mencari orang-orang yang pernah ditemui penderita Covid-19 tersebut.
Ketika matahari sudah meninggi, tak seperti biasanya, Desa Kelembunan masih sepi. Pagi itu, sungai tak riuh dengan celoteh warga desa yang mandi atau mencuci pakaian. Bahkan sungai juga sepi dari orang-orang yang datang untuk sekadar memancing. Sendunya pagi itu didukung dengan mendung yang bergelayut.
Ternyata, pagi itu bukan satu-satunya pagi yang sepi. Setelah kabar adanya penderita Covid-19 di kecamatan kami, sepi terus mendera pagi kami, juga pada waktu-waktu lainnya. Masyarakat menghindari ke luar rumah. Kampung sunyi. Hanya beberapa orang yang terlihat di jalanan. Saya pun hanya ke luar rumah untuk berbelanja bahan makanan. Orang-orang yang saya temui saat belanja pun heboh akan kabar penderita Covid-19 di kecamatan kami.
“Itu loh, Bu, Pak Ustad yang baru pulang dari Gowa itu yang positif. Kan, sebelum ketahuan positif, sempat berkunjung ke masjid dan bersalaman sama orang yang di masjid,” kata salah satu dari mereka. “Oh, Pak Ustad yang sering naik motor Jupiter biru itu ya, Bu. Astaga! Bagaimanalah kita nih, Bu. Anak-anak sekolah, belum lagi anak saya masih di Jawa belum pulang.” Obrolan terdengar tiada jeda.
Selama sepekan berikutnya, kabar tersebut masih menjadi pembicaraan panas. Tak lama kemudian, ada surat edaran Bupati Bulungan yang menginstruksikan sekolah-sekolah diliburkan dan siswa belajar dengan sistem daring selama 14 hari. Kantor-kantor pun diminta tutup. Nyaris semua kegiatan lumpuh. Desa-desa diminta membentuk posko Covid-19 dan tim relawan.
Desa Kelembunan tempat saya tinggal pun membentuk tim relawan. Saya bergabung di tim tersebut. Sesuai dengan kesepakatan bersama, tim relawan desa mulai memasang portal dan membangun pos penjagaan 24 jam, serta hanya membuka akses satu jalan bagi masyarakat yang berkepentingan untuk keluar-masuk desa. Kami mulai gencar melakukan sosialisasi mengenai virus corona dan pencegahannya. Pada saat yang sama, kami juga mendistribusikan berbagai bantuan, seperti ember, sabun, vitamin C, dan masker.
Kabar perkembangan Covid-19 di Indonesia serta beragam hoaks yang mampir di layar-layar ponsel dan beredar dari mulut ke mulut membuat masyarakat kian panik. Masyarakat yang berada di wilayah adat Punan Tugung di Desa Punan Dulau memutuskan untuk menghindari kota, menjauhi ancaman penyebaran virus. Sebaliknya, banyak masyarakat adat yang tinggal di kampung dan kota “lari” kembali ke kebun di wilayah adat.
Wilayah adat Punan Tugung dibagi menjadi empat kawasan tata ruang: kawasan hutan lindung, kawasan hutan untuk berladang, hutan keramat, dan hutan yang diizinkan untuk industri yang berada di Desa Punan Dulau. Di sini terdapat perusahaan kayu PT Intracawood Manufakturing, sebuah perusahaan yang bergerak dalam usaha pengelolaan kayu yang mempekerjakan cukup banyak warga sekitar.
Tak hanya kabur beberapa hari atau pekan, sebagian “pengungsi” memilih untuk menetap di kebun di kawasan adat. Paman dan kakek saya termasuk di antara mereka. Paman dan kakek, yang biasanya tinggal di Desa Punan Dulau untuk menjaga anak-anak sekolah, kini membawa anak-anak kembali masuk ke kebun. “Kah telosok lung nyen Ikong, kah kavov virus ih jo’ kah ngeliwot ayu dengo ih koh. Nah toh ini ubaw a’ sakai deh (Jalan sembunyi dulu ke Ikong–nama daerah permukiman Punan di hulu Sungai Magong, pergi sembunyi. Virus ini semakin parah kabarnya. Baru sekarang kita ini banyak pendatang),” ujar paman.
Tak hanya takut virus. Sebagian juga kabur ke kebun di wilayah adat karena kehidupan di desa atau kota susah. Karena orang tidak ke luar rumah, ekonomi nyaris lumpuh dan bahan pangan semakin sulit didapat. Kalaupun ada, harganya meroket. Misalnya, harga gula yang dulunya Rp 17 ribu per kilogram, belakangan menjadi Rp 25 ribu per kilogram. Sementara itu, lapangan pekerjaan juga terus mengkerut. Banyak perusahaan, yang tak lagi kuat membayar gaji, terpaksa merumahkan karyawannya. Misalnya, sebuah perusahaan hutan tanaman industri, yang biasanya membutuhkan tenaga kerja lepas atau tenaga harian, kini mengurangi jumlah orang yang bekerja. Kalaupun tak dirumahkan, gaji karyawannya dipotong. Padahal kebutuhan sehari-hari tetap tak berkurang.
Sebagian masyarakat adat Punan memang telah meninggalkan lahan wilayah adat seluas sekitar 22.234 hektare yang berada di hulu Sungai Magong itu, termasuk keluarga saya. Migrasi masyarakat ini bermula dengan relokasi yang dilakukan pemerintah pada 47 tahun silam, tepatnya pada 1972. Meskipun permukiman telah pindah ke Sekatak Buji, kebun-kebun masyarakat masih berada di kampung lama di kawasan adat. Namun penyebaran masyarakat Punan tak berhenti di Sekatak Buji. Ada pula yang ke desa-desa lain atau merantau lebih jauh ke berbagai kota di Indonesia. Bahkan ada yang merantau ke luar negeri.
Untuk menghindarkan masyarakat Punan dan masyarakat Indonesia dari marabahaya, kami menggelar ritual adat tolak bala yang bertujuan untuk meminta pertolongan kepada Adu’ Lawang Aki’ Bugag (Tuhan).
Sri Tiawati
Di kebun di wilayah adat, mereka yang baru kembali tak mengalami kesulitan berarti untuk penghidupannya. Para penetap baru ini membuka lahan untuk berladang. Ada juga yang menggesek kayu untuk dijual dan dibuat bahan bangunan. Untuk makan sehari-hari, mereka menangkap ikan dan berburu di belakang ladang. Satu hal yang pasti, semua kebutuhan pokok tersedia di hutan yang dijaga dengan baik selama ini.
Sementara itu, kaum perempuan Punan bisa melakukan beragam kegiatan lain yang bisa menyokong ekonomi keluarga, seperti membuat kerajinan tangan dari rotan dan kipas dari daun opow. Para perempuan juga mengolah obat tradisional untuk diminum semua anggota keluarga guna meningkatkan daya tahan tubuh, sebuah kegiatan lama yang kini menjadi salah satu tujuan penting bagi para “pengungsi”.
Saat pandemi seperti sekarang, ramuan tradisional memang menjadi kunci ketahanan tubuh kami agar terhindar dari segala penyakit, terutama Covid-19. Ada beberapa obat tradisional yang selalu kami konsumsi, di antaranya minuman berbahan kulit kayu ketimang, jahe merah, juga akar-akar pohon, termasuk akar pasak bumi. Alhamdulillah, sampai saat ini, tidak ada warga Punan yang terkena Covid-19.
Selain itu, untuk menghindarkan masyarakat Punan dan masyarakat Indonesia dari marabahaya, kami menggelar ritual adat tolak bala yang bertujuan untuk meminta pertolongan kepada Adu’ Lawang Aki’ Bugag (Tuhan). Pelaksanaan ritual ini dilakukan di daerah keramat Batuh Nekebun di Punan Dulau saat Covid-19 mulai merebak ke berbagai daerah di Indonesia.
Para perempuan Punan bertugas khusus mempersiapkan berbagai bahan yang diperlukan dalam ritual ini, antara lain ayam hidup, kencur, beras kuning, daun bentulai, air batu, dan rokok. Air batu adalah air yang didapat dari rendaman Batu Seladon, batu yang dikeramatkan oleh masyarakat adat kami dan dipercaya sebagai penolak bala serta pengusir makhluk halus yang mengganggu.
Namun, berbeda dari biasanya, kali ini ritual adat tidak dihadiri oleh banyak orang karena kami berupaya untuk menghindari kerumunan yang terlalu besar. Hanya ketua suku dan beberapa orang yang dianggap mampu melaksanakan ritual-ritual di dalamnya yang dilibatkan dalam acara kali ini.
Setelah ritual adat selesai dilaksanakan, semua warga, baik perempuan, laki-laki, maupun anak-anak, yang terlibat diberi air yang sudah dibacakan mantra dan minum air batu yang dianggap keramat. Beberapa daun dan buah jeruk digantung di depan rumah karena dipercaya sebagai penangkal makhluk halus. Hal ini dilakukan karena sebagian masyarakat mempercayai bahwa virus corona adalah makhluk halus.
“Genong nuh kai nak unan je’uh nuh, em pekelung kai bok uvung, penekelit nuh kai tad virus ih (Tolong lihat kami anak-cucumu, janganlah kau biarkan kami terkena penyakit, jauhkanlah kami dari virus ini).”
Kalembunan, Bulungan, Kalimantan Utara, September 2020