“Pamanku hilang di Poso,” kata Nurlaela Lamasitudju @nurlaelalamasitudju ⠀
Ketika itu, tahun 2000, kerusuhan antar penganut agama (Muslim dan Kristen) memuncak di Poso. Sedikitnya 500 jiwa meninggal akibat kerusuhan sia-sia ini. ⠀
Ella, saat itu bekerja sebagai akuntan di dealer mobil, tertarik mendalami persoalan HAM. “Ingin melacak Paman yg hilang.”⠀
Pagi Ella bekerja di dealer mobil, sore dia merapat ke LSM Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM, Palu. “Orang tua tahunya saya kerja di dealer mobil. Lebih aman mereka tak tahu saya ngurusin korban.”⠀
Di SKP HAM, Ella berkenalan dengan korban peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka dipenjara hanya karena bergabung di organisasi Barisan Tani Indonesia. Mereka tak tahu apa pun gejolak perebutan kekuasaan di Jakarta, tapi kena getah. Sebelas tahun dipenjara, juga dijadikan pekerja paksa membangun berbagai fasilitas umum di Kota Palu seperti jalan dan gedung perkantoran.⠀
“Kaget juga saya, ternyata ada banyak korban,” Ella menelusuri satu demi satu korban 65 yg tersebar. Ada 512 korban yang dia wawancara. “Semua ada catatannya. Rapi.”⠀
Penelusuran, menurut Ella, relatif mudah. Korban saling kenal karena Palu bukanlah kota besar. Tradisi lokal, yakni “nosusah” atau susah bersama, tak boleh ada yg susah ketika ada hajatan. Semua pekerjaan ditanggung bersama, terutama memasak. Dalam berbagai acara inilah, para korban bertemu meski tak saling bicara masa lalu. Sering juga mereka disindir sebagai “orang terlibat”, tanpa tahu terlibat apa. ⠀
Pada 2006, Ella menggelar acara mempertemukan korban kerusuhan Poso, 65, dan kasus lain. Molibu atau hari berkumpul. Peserta datang dari Poso, Toli-Toli, Sigi, Donggala, Palu. “Ada yg bawa beras, minyak, ikan. Torang masak dan makan sama-sama.” Itu kali pertama para korban merasa dimanusiakan, diajak berkumpul membahas nasib mereka. Molibu kemudian digelar saban bulan, untuk menguatkan solidaritas.
Ella @nurlaelalamasitudju berjalan tanpa bekal teori HAM dan hukum. “Nekad aja. Pake perasaan, hehe.” Ella baru mendapat training HAM di 2008. Setelah training, baru dia ngeh betapa rumit situasi dan peta sosial-politiknya. “Tadinya nggak sadar, tuh.”⠀
Kehidupan korban 65 memang kompleks. Mereka dipenjara tanpa pengadilan. Sesudah bebas pun, mereka hidup dalam stigma. Apa saja kejadian yg tak beres dalam masyarakat maka tudingan mengarah ke korban 65. ⠀
“Kami ini orang yg tidak dipakai, orang sampah. Kami rindu dianggap sebagai manusia, begitu kata mereka.” Permintaan korban inilah yg menggerakkan Ella. ⠀
Perlahan Ella menjalin strategi. Satu demi satu pihak dia ajak bicara, tentara, pejabat lokal, komunitas, semua. Tak jarang dialog diselingi pertunjukan teater, baca puisi, juga napak tilas lokasi kerja paksa dgn mengajak anak-anak muda. Perbincangan tentang HAM pun menggelinding.⠀
Lalu, tercipta tonggak bersejarah pada 2012. Rusdi Mastura, Walikota Palu periode 2005-2015, membuka acara dialog dengan korban pelanggaran HAM. Tanpa diduga, di acara itu Walikota meminta maaf kepada para korban 65. ⠀
“Sebagai Pemerintah Kota Palu, saya minta maaf kepada Bapak, Ibu, saudaraku semua yg menjadi korban peristiwa 1965,” kata Rusdi. Spontan. Tanpa teks pidato.⠀
Rusdi juga mengakui, ketika peristiwa 65 terjadi, dia masih 15 tahun. Dia aktif dalam Pramuka. “Saya ikut menangkap, kami dipakai oleh tentara.”⠀
Hening sejenak. Hadirin mencerna apa yg terjadi, mungkin juga tak percaya. Lalu, heboh. Mata-mata renta para korban berlinangan air. “Kami bahagia banget. Nggak nyangka semesta menjawab doa dan upaya kami.” ⠀
Setelah peristiwa bersejarah itu, Ella terus mengawal advokasi korban pelanggaran HAM. Palu bahkan dideklarasikan sebagai Kota Sadar HAM, juga satu-satunya contoh sukses rekonsiliasi peristiwa 65 di Indonesia. ⠀
Semua berawal dari keteguhan hati Ella, yang nekad melangkahkan kakinya dari kantor dealer mobil. ⠀
⠀
#PuanIndonesia⠀
#WomenStory⠀
#CeritaPerempuan⠀
#Palu