Senyum, dan Kuseruput Kopiku, Perlahan…

Perempuan yang biasa disapa Baby ini adalah founder kopi ketjil. Indonesian specialty coffee yang ia dirikan di Yogyakarta ini beroperasi di Indonesia dan Uni Emirat Arab sebagai kafe dan roaster Indonesia pertama di negeri Timur Tengah itu. Ia juga dosen di School of Design Bina Nusantara (Binus) University. Baby lulus dari program studi Arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung, dan CUA (The Catholic University of America) di Washington, DC, Amerika Serikat.

“Dua hari lagi KL lockdown, Mbak.” Sebuah berita via WhatsApp aku terima dari kawan di Kuala Lumpur pada 17 Maret 2020. Pemerintah Malaysia bersiap melakukan Movement Control Order untuk menghindari penyebaran virus corona yang tengah merebak di berbagai belahan dunia. 

Itu berarti rencana ke Kuala Lumpur, tempat aku menjalani studi S-3 di University of Malaya, harus kubatalkan. Saat itu, di otakku langsung tebersit berbagai pertanyaan: apakah kawan-kawan di sana baik-baik saja, bagaimana dengan suplai makanan mereka, dan lain-lain. Sama sekali belum terpikir bahwa kondisi kota tempat aku berada, Jakarta, justru akan lebih buruk. 

Tak lama setelah mendapat kabar itu, panggilan telepon yang juga mengejutkan datang dari Mr. Ahmed, mitra bisnis kopi ketjil Café and Roasters di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. “Octaviana, can Jupiter fly tonight to Abu Dhabi instead of the end of March?” 

Tonight? Tentu aku jawab tidak bisa. Melepas barista warga negara Indonesia untuk bekerja di kopi ketjil Abu Dhabi tidaklah mudah. Membayangkan dia akan bekerja selama dua tahun di sana tanpa bisa kembali ke Indonesia, meninggalkan istri, anak, seluruh keluarganya. “Abu Dhabi will be closed for all visitors,” kata Mr. Ahmed lagi. 

Aku terhenyak. Di benakku saat itu berkecamuk pertanyaan, apa yang akan terjadi pada tim kopi ketjil di Abu Dhabi yang 90 persen adalah WNI? Aku bergegas menelepon timku di sana untuk memastikan mereka baik-baik saja. “Ryo (supervisor kopi ketjil Abu Dhabi), tolong siapkan masker dan hand sanitizer, serta cek dengan detail peraturan di mal.” 

Saat itu, Mal Marina, tempat kopi ketjil berada, masih buka dengan protokol yang sangat ketat. Beberapa hari kemudian, baru Kota Abu Dhabi dikarantina. Kegiatan kopi ketjil di Mal Marina dan Musaffah berhenti total. 

Tak lama berselang, di Jakarta, pemerintah mengimbau masyarakat untuk work from home (WFH), yang kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pekerjaanku sebagai dosen di School of Design Bina Nusantara harus dilakukan secara daring. Belum terbayang di pikiranku saat itu bagaimana caranya menghidupkan kuliah daring karena biasanya aku banyak memberi contoh-contoh lewat cerita dan studio yang berisi konsep dan gambar-gambar kerja. 

Beberapa hari aku diam dengan semua indraku bekerja. Pada 21 Maret, aku harus membuat keputusan: menutup kopi ketjil Jogja (Yogyakarta). Kami termasuk yang pertama di Yogya yang berani mengambil keputusan ini. Timku, yang kebanyakan anak-anak kuliahan yang berasal dari luar Yogya, harus pulang ke kota masing-masing. Aku mengunggah kegiatan bebersih di akun Instagram, dan banyak yang mengirim pesan lewat Instagram dan WhatsApp menanyakan apakah aku baikbaik saja. 

Di benakku saat itu berkecamuk pertanyaan, apa yang akan terjadi pada tim kopi ketjil di Abu Dhabi yang 90 persen adalah WNI?

Octaviana Rombe

Lockdown kopi ketjil Yogya dilanjutkan dengan menyederhanakan semua kegiatan kopi ketjil Jakarta yang ada di Karang Tengah, Kota Tangerang, secara drastis. Kami tidak menerima tamu, hanya menerima order online dan take away. Semua terasa terburu-buru, tanpa persiapan sama sekali. 

Aku meminta tim Jakarta menyiapkan “tameng” untuk lapak kopi ketjil Jakarta. “Vi, tolong beli alkohol 70 persen, masker wajah, face shield, dan sarung tangan. Satu lagi, tolong barang-barang tersebut dikirim di hari yang sama.” Vivi adalah adikku yang membantu pengelolaan kopi ketjil Jakarta. 

“Rafi, Peter, Je, dan Ike, mohon masukkan semua peralatan kita ke dalam gudang.” Mereka adalah ujung tombak kk Jakarta. Aku menjelaskan bahwa aku hanya ingin peralatan brewing hemat listrik, yang digunakan untuk penghematan besarbesaran selama “penyederhanaan”, mengingat penjualan akan berkurang drastis. 

“Sri, mohon tidak usah masuk karena rumahmu jauh di Tangerang. Kamu bekerja saja dari rumah. Hentikan langganan Wi-Fi kk dan tawarkan semua produk online,” ujarku kepada Sri, staf administrasi dan pemasaran yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun untukku. Aku ingin mereka bekerja dalam kondisi aman. 

Semua bangku kami naikkan agar tidak ada tamu yang nekat masuk dan duduk. Ya! Aku khawatir sekali. Aku tidak mengenal baik apa dan siapa musuh yang kuhadapi. Kk Yogya dan kk Abu Dhabi kututup. Hanya kk Jakarta yang buka dengan skala sangat terbatas. 

Aku mengumpulkan semua informasi protokol secara daring. Aku perlu tahu, bersiap, dan siaga. Protokol dua negara yang berbeda, Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA), harus aku pelajari dengan detail. Terlihat sekali perbedaan mencolok. UEA terlihat cepat, lugas, dan tegas dalam bertindak. Sementara itu, di Indonesia, aku melihat kehati-hatian, kegelisahan, ketakutan, dan kebimbangan dalam menjalankan protokol. Dari situ, aku sadar bahwa timku di Abu Dhabi akan baik-baik saja. 

Hari-hariku berlalu dengan senyap. Aku seolah-olah bersembunyi di halaman rumahku. Dulu aku sering heran kenapa Papi dan almarhumah Mami membangun rumah dengan halaman super-luas ini. Sungguh perlu energi yang luar biasa untuk merawat rumah dan “hutan” ini. Tapi kali ini aku mensyukurinya sebagai ide yang luar biasa. Mami, sungguh aku rindu pemikiranmu yang selalu bijak. Ditemani Emma, sahabat berbulu putihku, aku dan Ge, suamiku, menyemarakkan “hutan” kecil ini. 

Walaupun suasana lockdown, semua indraku tetap berjaga. Selama masa PSBB, aku memanfaatkan waktu untuk memantau pekerjaan murid-murid secara daring, juga melanjutkan risetrisetku secara daring. Aku juga rajin mengikuti berbagai seminar online. Aku melahap semua kegiatan tersebut seperti orang kelaparan. Tapi, aku tetap rindu bertemu dan bercakap-cakap dengan murid-muridku. 

Bertemu daring dengan dua pembimbingku di KL, yang sangat rajin memantau kemajuanku semenjak PSBB, menjadi agenda yang sering kutunggu-tunggu. Alangkah senang bisa bercakap-cakap dengan dua puan serumpun ini. 

Pada saat yang sama, aku menyimak dengan kritis semua percakapan di grup-grup kopiku. Beberapa kali aku menerima pesan dan telepon dari kawan-kawan petani rekanan kopi ketjil. Seorang petani dari pegunungan di Garut mengirim pesan lewat WhatsApp: “Mbak, sudah hampir panen. Kira-kira mau disiapkan berapa banyak untuk kopi ketjil tahun ini?” Ada lagi pesan lain dari seorang adik, pengelola kopi terbaik di Toraja. “Kak, kalau mau membantu petani, ini saatnya untuk membeli.” 

Pesan lain datang dari seorang suster pengelola kopi di Ruteng, Nusa Tenggara Timur. “Beb, aku telepon ya? Aku mau bercerita bahwa petani-petani yang biasanya menjual ke tempat lain, kali ini berduyun-duyun ke tempat kami untuk menyetor hasil panennya. Padahal, stok kemarin saja belum habis. Bagaimana ini, Beb? Kira-kira kopi ketjil bisa ambil berapa banyak untuk kali ini?” 

Dari dusun Musara Gayo di Aceh, sebuah pesan meluncur: “Bu, kawan-kawan petani menyetorkan kopinya ke pengumpul dengan harga murah sekali.” Aku sedih, diam, dan tidak bisa menjanjikan apa-apa. 

Kk Jakarta satu-satunya yang aku biarkan tetap berjalan sebagai pengingat bahwa kami harus tetap berjaga. Kk Jakarta beroperasi dengan negosiasi dan pengertian, serta dukungan yang luar biasa dari seluruh tim. 

Hingga pada suatu hari di akhir Mei, aku bersiap dengan perlengkapan perangku: ikat rambut, masker, dan face shield. Aku menghangatkan mesin yang dingin. Aku kembali roasting untuk kk Jakarta. Kali ini aku harus lebih menajamkan indra keenamku, passion

Harum kopi menyeruak dari ruang roasting, menyelinap masuk lewat sela maskerku. Aku ingat harum inilah cinta pertamaku pada kopi. Pesanan pelanggan setia datang mengalir. Salah satunya Aji, pelukis semua wanita cantik di pouch-pouch kopiku dan kawan-kawan lama, peminum kopi specialty fanatik yang menyetok untuk ransum hariannya. 

Kk Jakarta tetap buka dengan bangku-bangku kosong. Kakak Yanet, kakakku, dan Caleb, keponakanku, sekali-kali mampir. Namun, ada yang tak pernah absen hadir setiap sore, seorang bapak tua lengkap dengan masker dan face shield. Ia menyeberang dari halaman belakang rumahnya yang tembus ke kopi ketjil, duduk di kursi, melipat tangannya, memejamkan mata, dan bercakap dengan sahabat sejatinya tentang anak dan kopinya. Setelah itu, dia menghampiri kasir dengan senyum lebar. “Satu hot latte dan pisang goreng untuk saya. Seperti biasa, ya.” Dia papiku, sahabatku. 

Tak terasa, nyaris empat bulan berlalu. Kopi ketjil Yogya yang berada di deretan penjual kunci di depan SMA Kolese De Britto masih diam. Tetapi, kopi ketjil di Abu Dhabi sudah kembali beroperasi secara “new normal”. Ada optimisme yang aku lihat dari mitra dan tim di sana. Rencana untuk mengembangkan kopi ketjil di beberapa gas station serta di head office perusahaan minyak dan investasi terbesar di Abu Dhabi, Mubadala, berjalan lambat. Suatu kali, di tengah meeting, aku berkata: “Corona hits Indonesia pretty hard, you know.” Mitraku sigap merespons: “Corona hits the world, Octaviana.” 

Aku sadar, ini adalah prolog perjalanan panjang yang baru saja dimulai. Pagi itu, kubuka grup WA kopi ketjil Yogya. “Selamat pagi, semua! Kopi ketjil Yogya akan buka kembali minggu depan di tanggal 15 Juli. Yang bertugas cukup satu orang di setiap shift. Siapa yang bersedia bertugas, mohon isi list di bawah ini.” 

Terlihat di layar WhatsApp ada yang sedang mengetik. Agnesh, Della, Toro…. Aku tersenyum. “Matur nuwun, ya! Kita berteduh bersama di kedai dan roaster kecil kita ini. Badai pasti berlalu.” Aku menjawab sembari menyeruput kopiku,… perlahan… 

Jakarta, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top